Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Aktualisasi PMP Produk Orba, Lawan ‘’Guru Radikal’’ di Media Sosial

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 28 Nov 2018 20:18 WIB

Aktualisasi PMP Produk Orba, Lawan ‘’Guru Radikal’’ di Media Sosial

Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Anda berdua sama-sama sudah punya anak yang usianya milenial. Anda Capres Jokowi, malah telah menikahkan dua dari tiga orang anak. Sedangkan Anda Capres Prabowo, memiliki satu anak hasil pernikahan dengan Titiek Soeharto. Anak Anda Capres Prabowo, bernama Ragowo Didiet Hediprasetyo. Saat ini, Didiet, sudah berusia 33 tahun dan belum menikah. Didiet, tidak memilih karir politik, tetapi desainer. Maklum, pendidikan formal pria kelahiran 1984 ini merampungkan perguruan tinggi perancang busana, Parsons School of Design, New York dan École Parsons à Paris selama 4 tahun. Seperti dikutip dari BBC, Jean Twenge, seorang psikolog asal Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian mengenai generasi zaman sekarang (now) atau milenial. Jean Twenge mengatakan generasi milenial cenderung individualistis dan memiliki sifat narsisisme. Ini berakar pada perubahan budaya, khususnya meningkatnya fokus individualisme beberapa dekade terakhir. Contoh dari individualisme generasi milenial bisa terlihat dari para orang tua dan masyarakat yang umumnya menghargai prestasi individual seorang anak daripada prestasi dalam tugasnya sebagai warga negara. Contoh lain, saat orang-orang milenial lebih sering menceritakan tentang keinginannya, rencananya dan mimpinya dibandingkan dengan mendengarkan cerita orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa orang milenial tersebut menganggap dirinya sebagai pusat perhatian, sehingga cenderung lebih egois. Penelitian Jean Twenge mengambil tema Narcissistic Personality Inventory. Respondennya merupakan mahasiswa dari berbagai universitas di Amerika Serikat. Jean mengajukan 40 pernyataan narsistik tentang gambaran diri. Salah satunya adalah Saya akan menjadi orang sukses dan saya tidak terlalu peduli dengan kesuksesan. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok responden tahun 2009 cenderung lebih narsis dibandingkan dengan kelompok responden tahun 1982. Psikolog ini juga mengatakan bahwa fakta ini didukung dengan munculnya lagu-lagu pop zaman sekarang yang mengandung lirik berkaitan dengan fokus diri. Selain itu, lirik lain juga banyak yang menyampaikan frase-frase individualistik seperti misalnya aku spesial. Hal inilah yang dipercaya berakibat pada generasi millennials umumnya memiliki tingkat percaya diri yang tinggi serta merasa diri mereka spesial dan dicintai. Maklum, Millenials merupakan istilah yang ditujukan kepada orang-orang yang lahir setelah tahun 1980-an. Banyak yang mengatakan bahwa generasi millennial ini cenderung lebih narsis dibandingkan generasi sebelumnya Nah, sebagai orang tua, Anda berdua, apakah tidak galau punya anak yang berkecenderungan narsis dan individualistis Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Saya tak tahu alasan pasti mengapa Kemendikbud berencana mengembalikan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Kata teman saya yang guru PMP era Orba, mata pelajaran zaman Orde Baru dulu dianggap masih relevan untuk penguatan nilai Pancasila pada anak anak SD, SMP, SMA dan mahasiswa. Maklum, saat saya mengikuti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dikalangan wartawan PWI pada tahun 1984, diajarkan bahwa Pancasila adalah ideologi digunakan untuk memfilter pengaruh asing. Saat P4, saya malah diyakinkan oleh penatar bahwa Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia. Saya masih ingat bahwa kata Pancasila sendiri merupakan serapan dari bahasa sansakerta. Kata pertama yang menyusun kata Pancasila adalah panca yang berarti lima. Sedangkan kata sila memiliki arti sebagai prinsip atau asas. Sehingga pengertian Pancasila secara bahasa adalah lima prinsip atau lima asas. Namun Pancasila secara istilah berarti pedoman dan rumusan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara untuk seluruh warga negara Indonesia di manapun berada. Saya sendiri, tidak pernah menempuh PMP, tetapi P4 saat sudah menjadi wartawan. Jadi saya tidak tahu pelajaran PMP yang sebenarnya saat Orde Baru. Saya punya kenalan seorang guru SMA Negeri di Surabaya yang kini sudah pensiun. Guru kenalan saya ini mengatakan dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Padahal, nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis. Sifat generasi milenial yang narsis dan individualistik dengan nilai-nilai dalam Pancasila seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama, kini saya amati merosot. Ini saya peroleh dari beberapa Media Sosial yang saya menjadi anggota grupnya. Kontens sebaran radikalisme berhamburan dalam hitungan menit. Sebaran radikalisme bahkan disampaikan dengan bahasa yang simpel, sederhana dan tidak menggurui. Berbeda dengan P4, yang disosialisasikan dalam bentuk indoktrinasi. Tak salah bila penyebaran paham radikalisme semakin dimudahkan di era digital dan globalisasi. Maklum, media sosial sudah seperti jalan tol untuk mempercepat penyebaran paham radikalisme. Sementara saat Orde Baru dulu, kata guru yang saya kenali, pelajaran Kewarganegaraan lebih menekankan pada aspek wacana dan hafalan serta penambahan pengetahuan. Tetapi sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak. Nah, ini persoalannya. Mana yang lebih menyebarkan virus ke generasi milenial? Apakahkah Guru di Media Sosial yang mengajarkan paham radikalisme dengan persuasi, simple dan sederhana? Atau guru di dalam kelas yang mengajarkan nilai Pancasila dengan pendekatan hafalan dan indoktrinasi,? Akal sehat saya mengatakan ini tantangan Kemendikbud era Anda Capres Jokowi? Apakah tim di Kemendikbud mampu mengalahkan guru-guru di Media sosial yang piawai mengambil hati generasi milenial? PMP untuk generasi milenial menurut akal sehat saya minimal ada dua yang harus direvitalisasi dan aktualisasikan. Pertama, harus ada modifikasi terhadap mata pelajaran PMP. Kedua, metode pembelajaran juga perlu disesuaikan, agar bisa bersaing atau syukur mengalahkan pelajaran intoleransi beragama oleh guru-guru radikal di media sosial?. Apalagi bila PMP diajarkan ke generasi milenial seperti metode guru Orba yaitu doktrinasi telanjang yang menutup diri terhadap perbedaan pendapat, bisa jadi pengaruh guru radikalisme di media sosial akan lebih mengena. Inilah persoalan Anda berdua yaitu bagaimana Nilai-nilai Pancasila yang telah tumbuh sejak tahun 1945 bisa dimaknai dan dimengerti oleh generasi milenial dengan lebih efektif, bukan indoktrinasi. Tentu tanpa mengubah jati diri. Maklum, saya sendiri kadang miris membaca pesan di Media sosial berbentuk video dan potongan ayat-ayat suci tanpa diruntun filosofi dan latarbelakangnya. Berbeda bila ayat-ayat suci diajarkan di kelas yaitu selalu ada pembimbing ilmu agama yang kredibel sekelas kiai dan ulama. Siapa pun presiden pilihan rakyat tahun 2019, tantangan Anda sama, yaitu mencegah penyebaran pesan radikalisme ke ruang publik secara bebas sampai memasuki ranah privat. Anda berdua harus konsisten bahwa sekarang dan ke depan merupakan era digitalisasi. Sekarang dan ke depan generasi milenial, yang lebih banyak mengisi kemerdekaan NKRI tahun ke 73 dan seterusnya. Akal sehat saya mengatakan aktualisasi Pancasila, artinya bagaimana Anda berdua dapat melakukan penjabaran nilai-nilai pancasila dalam bentuk norma-norma, serta merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus tingkah laku Anda dan semua pejabat Negara agar PMP bukan sekedar wacana yang nyaring untuk dihafalkan saja. Maka itu, akal sehat saya mengingatkan Anda berdua bahwa tantangan presiden dengan jumlah generasi milenial lebih 50% dari jumlah rakyat yang memiliki hak pilih yaitu 191 juta, bukan sekedar obral janji semata. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU