Dari Kerusuhan Rasial’98, Ide Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Bermula

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 06 Nov 2019 16:24 WIB

Dari Kerusuhan Rasial’98, Ide Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Bermula

SURABAYAPAGI.COM - Kawasan Golden Road, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten terdapat rumah-kantor yang bertuliskan aksara emas dengan terpahat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Terpampang dari depan rumah-kantor berlantai dua itu ada sebuah papan merah dan ini menjadi pembeda dengan bangunan tetangga-tetangganya yang bergelut dibidang bisnis asuransi dan jasa keuangan. Tak terlihat seperti museum jika ditengok dari luar gedung ini. Namun, saat memasuki dalam ruangan, pengunjung disambut dengan deretan buku beraksara latin serta Mandarin dari berbagai penjuru. Warna kertas yang kecokelatan dan berlubang juga menjadi pemandangan lazim. Pun, puluhan ribu buku tua dan catatan-catatan kuno itu tersimpan rapi di rak-rak kaca. Ditambah lagi berbagai jenis artefak dan karya-karya fotografi. Selain itu, di sana bahkan ada akta kelahiran seorang warga keturunan Cina tahun 1940 yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda di Semarang. Disela-sela itu, Azmi Abubakar, merupakan laki-laki beradarah Gayo, Aceh, yang lahir dan besar di Jakarta itu menyoroti keberadaan manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang di Surakarta pada 1891 yang menceritakan kembali kisah roman klasik Cina, Sie Djin Kwie diantara tumpukan dokumen. "Itu bentuk akulturasi yang paling istimewa menurut saya," kata Azmi, yang berasal dari keluarga Aceh. Kemudian, ada sebuah papan kayu hitam yang tersembunyi di antara deretan kursi itu. Tak disangka, papan kayu beraksara Mandarin itu tadinya bagian dari sekolah yang didirikan Tiong Hoa Hwee Kwan, sebuah organisasi yang didirikan pada 1900 oleh beberapa tokoh keturunan Cina di Batavia. Papan itu makin istimewa lantaran menjadi penanda sekolah swasta modern pertama, bukan saja di Batavia, tetapi juga di Hindia-Belanda. "Memang hanya satu-satunya itu," cetus Azmi. Senada dengan Azmi, Li Fong Koo seorang petugas pemandu museum menceritakan sejarah di balik sebuah papan hitam yang digantung di pinggir dinding. Awalnya papan bertulis delapan aksara Mandarin itu sempat diduga papan rumah penyimpanan abu. Namun ternyata papan itu merupakan barang bersejarah dan bernilai tinggi. Papan ini merupakan bagian dari sekolah yang didirikan Tiong Hoa Hwee Kwan tahun 1900. Sekolah itu sekarang sudah berubah nama menjadi Pahoa. "Pemilik museum ini bukan orang Tionghoa, jadi tidak bisa bahasa Mandarin. Papan ini awalnya ditaruh di atas pintu. Pas ada pengunjung datang, kebetulan bisa bahasa Mandarin, baru kaget dan langsung dipindahkan ke bagian dalam museum karena ini berharga. Kalau sekarang dijual mungkin harganya sudah miliaran rupiah, ujar Li Fong. Bukan hanya papan hitam itu, museum juga punya koleksi sebuah buku yang terbilang unik. Buku ini berisi cerita ksatria zaman Dinasti Tang di China yang justru ditulis dalam aksara Jawa, Hanacaraka. Menurut keterangan, buku tersebut dibuat oleh seorang etnis Tionghoa pada 1891. Rupanya gedung yang bertempat di Banten itu masih ada yang tidak tahu, menurut salah satu pengunjung Vienna, warga asal Alam Sutera, kota Tangerang saat berkunjung ke museum itu, ia sebelumnya belum pernah tahu ada tempat itu dan pasalnya ia gemar mengoleksi buku-buku sejarah jadi mampir melihat museum itu. Saya baru pertama kali berkunjung dan baru tahu ada tempat seperti ini, tutur Vienna, keturunan Tionghoa. Di sisi lain, ada alasan primordial yang banyak orang pertanyakan kepada sang pemilik museum ini. Dengan latar belakang laki-laki beradarah Gayo, Aceh dan tidak bisa berbahasa Mandarin. Tak ada juga darah Tionghoa yang mengalir di tubuhnya. Banyak orang bertanya, mengapa menyibukkan diri dengan persoalan etnis Tionghoa?. Jawaban itu rupanya bermula dari kerusuhan rasial yang terjadi pada Mei 1998. Dengan mata kepalanya sendiri, Azmi menyaksikan peristiwa sadis yang menimpa keluarga Tionghoa. Saat itu Azmi sedang menuntut ilmu di Institut Teknologi Indonesia, Serpong. Waktu kerusuhan meletup, Azmi dan kawan-kawan bergotong royong membantu mengamankan kawasan sekitar BSD dan Pamulang, kawasan yang banyak ditinggali oleh etnis Tionghoa, dari penjarah. Saya sangat terpukul kenapa itu sampai bisa terjadi. Kenapa etnis Tionghoa yang jadi sasaran kerusuhan, ungkap Azmi mengenang kejadian pahit itu. Masa Orde Baru merupakan momen berdarah bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak kejadian itu, Azmi berinsiatif mencari alasan atas tuduhan yang kerap dialamatkan kepada etnis Tionghoa. Salah satunya dengan membaca segala literatur mengenai etnis Tionghoa. Perlahan, dia menemukan banyak fakta bahwa banyak orang dari etnis Tionghoa yang juga ikut berkontribusi, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Salah satunya melalui peristiwa Geger Pecinan, yang terjadi pada 1740. Dalam peristiwa itu, ribuan orang Tionghoa tewas dibantai tentara Belanda. Saya mempercayai itu akibat kurangnya informasi. Seandainya orang tahu jasa orang Tionghoa untuk republik ini, boleh jadi peristiwa itu tidak akan terjadi. Makanya selalu timbul, kalau ada apa-apa, selalu mengemuka orang Tionghoa sebagai pendatanglah, yang menciptakan keadaan seperti inilah, kesenjangan sosial, menguasai ekonomi, kaset lama yang selalu diputar-putar dan tidak ada perlawanan yang cukup, ungkap pria yang juga bekerja sebagai pengusaha properti ini. Azmi juga mencontohkan Laksamana John Lie, bagaimana pahlawan nasional Indonesia yang mengabdi di Angkatan Laut. Dia juga menyebut Souw Phan Ciang alias Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang, salah satu pemimpin Tionghoa yang bersatu dengan pasukan Jawa untuk melawan pasukan VOC pada 1740-1743. "Harusnya kita tahu, harusnya itu disampaikan ketika SD atau SMP. Kalau kita menerima asupan informasi itu, tentu paradigma berbeda, tentu akan mencoret stigma di kepala kita bahwa orang Tionghoa itu hanya pedagang, cari untung," papar Azmi. Dari situ, Azmi merogoh koceknya sendiri mengumpulkan buku dari toko loak. Kegiatan itu dimulai sejak 2005, rasanya hampir seluruh toko loak di Pulau Jawa sudah ia kunjungi, terutama kota-kota yang jadi pusat permukiman kaum Tionghoa. Bukan hanya di Indonesia, Azmi juga menjelajah sampai Eropa. Pria yang kini berusia 47 tahun itu mengumpulkan buku, dokumen, dan berbagai bukti tertulis tentang peranakan Tionghoa di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, banyak periset yang ingin menelusuri koleksi-koleksi yang dipunyai Azmi. Mereka sengaja menyambangi ke rumahnya untuk meminta bantuan. Akhirnya saya putuskan buka museum pada 2011 supaya jangkauannya lebih luas. Saya menginginkan dan mencita-citakan bagaimana sejarah Tionghoa ini bagian besar dari sejarah bangsa Indonesia. Sayang sekali kalau masyarakat umum tidak mengetahui sejarah ini, akunya. Karena merogoh kantong sendiri untuk biaya museum sangat besar. Tak jarang koleganya yang merupakan keturunan Tionghoa menawarkan bantuan dalam bentuk materi. Orang Tionghoa selalu jadi kambing hitam dan saya ingin membantu apa yang mereka lakukan untuk bumi pertiwi ini tersampaikan. Niat saya di sini untuk membantu mereka, bukan dibantu, tuturnya. Ia kukuh tidak mau menerima donasi atau sumbangan dalam bentuk apa pun dari orang Tionghoa untuk mengelola Museum. Pun, sejak mendirikan museum dan mengoperasikannya, Azmi mengaku tidak mau menerima sepeser pun bantuan dari kalangan keturunan etnis Tionghoa. "Mereka nggak boleh bantu, ini kan kita yang mau bantu. Saya tahu betul jiwa sosial mereka tinggi, berkali-kali ditawarkan bantuan uang, tapi berkali-kali pula saya menolak. Saya masih kuat menolak sampai hari ini," tegasnya "Museum ini adalah balas jasa bagi orang Tionghoa yang banyak berjasa dari sebelum Indonesia merdeka sampai setelah merdeka," imbuhnya. Penolakan Azmi tidak terbatas pada tawaran bantuan, tapi juga tawaran pembelian dari koleksinya. Dia mengaku ada seorang tokoh terpandang yang beberapa kali berupaya membeli sejumlah koleksi di museumnya. Namun, dia tetap pada pendiriannya. "Saya katakan kepada dia, ketika ini ada di museum, ini akan bisa diakses lebh banyak orang. Kalau dia yang memiliki, siapa yang berani datang ke rumahnya? Apakah dia punya waktu untuk melayani pengunjung? Tentu barang itu akan dia perlakukan seperti emas berlian. Jangan pegang, jangan colek,"papar Azmi. Azmi berharap kegiatannya ini dapat menjadi contoh positif yang dapat ditiru oleh etnis dan suku lain di Indonesia. Sudah saatnya Indonesia dibangun dengan saling memperhatikan. Nanti museum orang Aceh biar Madura yang bikin. Segala hal tentang orang Jawa biarkan orang Bugis yang cerita. Orang Papua ya Tionghoa yang cerita. Kalau hanya memperhatikan diri sendiri, buat apa kita jadi satu bangsa, pungkasnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU