Dibayangi Pemakzulan, Jokowi Disebut Gundah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 06 Okt 2019 23:52 WIB

Dibayangi Pemakzulan, Jokowi Disebut Gundah

Jaka Sutrisna-Teja Sumantri, Wartawan Surabaya Pagi Gelombang dukungan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU KPK hasil revisi, terus bermunculan. Bahkan, hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa, mayoritas masyarakat akan berada di belakang Presiden berkenaan dengan penerbitan Perppu tersebut. Namun Jokowi dinilai tengah gundah. Pasalnya, ada penolakan dari parpol pendukungnya hingga menteri di kabinetnya terkait penerbitan perppu tersebut. Apalagi beredar narasi pemakzulan apabila presiden menerbitkan Perppu. ----- Survei LSI itu berangkat dari demonstrasi mahasiswa yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan. Hasil survei menunjukan 59,7 persen masyarakat tahu tentang demonstrasi mahasiswa. Hanya 40,3 persen saja yang tidak mengikuti berita tentang aksi unjuk rasa tersebut. Berpaku pada hasil survei, sebesar 86,6 persen responden mengetahui bahwa, demonstrasi itu dilakukan salah satunya guna menentang revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dari hasil tersebut, sebanyak 60,7 persen mengaku mendukung aksi unjuk rasa yang telah dilakukan itu. Dari 86,6 persen yang mengetahui demo berkenaan dengan revisi UU KPK, sebesar 76,3 persen setuju agar presiden mengeluarkan perppu. Sikap publik itu dikeluarkan setelah menilai jika revisi UU KPK telah melemahkan upaya penanggulangan korupsi oleh lembaga antirasuah tersebut. Sebanyak 70,9 persen dari mereka menyebut jika revisi UU telah melemahkan KPK. "Dengan kata lain ada aspirasi publik yang kuat bahwa karena UU KPK hasil revisi itu melemahkan KPK maka akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ditektur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan di Jakarta, Minggu (6/10/2019). Survei dilakukan melalui wawancara telepon secara acak dari data responden yang dimiliki LSI. Dari total responden sebanyak 23.760 dipilih 17.425 yang memiliki telepon. Survei dilakukan pada 4 hingga 5 Oktober tahun ini. Toleransi kesalahan survei diperkirakan 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei dibiayai sepenuhnya oleh LSI. "Pengalaman Pilpres 2019 menunjukan kalau metode ini bisa diandalkan untuk memeperkirakan sikap politik pemilih," tandas Djayadi. Presiden Dilema Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai Presiden Jokowi saat ini masih gundah, menyikapi desakan publik terkait penerbitan Perppu KPK. "Setelah ada beberapa komentar dari petinggi partai politik, maupun dari lingkungan menteri di kabinet sendiri, yang menyatakan menolak (Perppu UU KPK, red), ada kegundahan sepertinya, ada ketidakpercayaan diri dari presiden apalagi setelah ada ancaman sangat tidak beralasan bahwa ketika perppu diterbitkan nanti dibilang inkonstitusional apalagi berakhir kepada anggapan bisa dimakzulkan. Nah ini yang harus diluruskan kepada publik," papar Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK, Fajri Nursyamsi di LBH Jakarta, Minggu (6/10/2019). Fajri meluruskan soal kekhawatiran adanya pemakzulan jika Jokowi menerbitkan perppu. Dia mengungkapkan, pandangan tersebut salah kaprah. Fajri menjelaskan penerbitan perppu UU KPK tak akan berdampak pada pemakzulan presiden. "Kami menyayangkan komentar-komentar seperti itu karena justru itu akan membelokkan persepsi dan pemahaman publik terkait apa itu pemakzulan. Penerbitan perppu itukan sama sekali tidak berdampak pada pemakzulan, karena pemakzulan terhadap presiden itu dilihat dari adanya tindak pidana yang dilakukan presiden," tuturnya. Menurut Fajri, penerbitan perppu justru merupakan langkah koreksi dari presiden terhadap kesalahan yang dibuat oleh DPR dalam melahirkan UU. Apalagi, jika proses penerbitan UU KPK cacat formil dan justru malah berakibat pada pelemahan KPK. "Sekarang ketika presiden mengeluarkan kebijakan apakah bisa kemudian dia dinyatakan melanggar uu atau melakukan tindak pidana? Saya pikir jauh dari itu," ujar Fajri. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menambahkan pihaknya menyayangkan adanya penolakan dari kalangan internal pemerintah. Menurut Kurnia, seharusnya setiap unsur pemerintahan mendukung segala kebijakan Jokowi sebagai pemimpin negara. "Harus dipahami presiden bukan hanya kepala pemerintah tapi juga sebagai kepala negara, dia yang memimpin kabinet pemerintah harusnya setiapnya bagian pemerintah itu mendukung setiap langkah presiden tanpa harus mendahulu sikap dan padangan presiden dan juga kegaduhan di kabinet," terang Kurnia. Ia mencatat penolakan itu berasal dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jaksa Agung HM Prasetyo hingga sejumlah menteri kabinet Jokowi. Menurut Kurnia, Jokowi seharusnya berhak memberikan teguran kepada pihak internal yang menolak penerbitan Perppu. "Harusnya presiden bisa tegur yang bersangkutan agar ke depan, pemerintahan punya visi yang sama terkaitdengan produk regulasi dan nggak usah mengomentari yang bukan tugasnya," beber dia. Momentum Kabinet Lalu, bagaimana soal waktu yang pas bagi Presiden Jokowi untuk menerbitkan perppu KPK? Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, titik tolaknya adalah 17 Oktober 2019. "Sebab itu satu bulan sesudah 17 September, di mana disepakati DPR dan Pemerintah UU KPK hasil revisi. Pilihan yamg baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober, perppu bisa dilakukan setelahnya. Nah setelahnya itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," papar Syamsuddin. Meski demikian, Syamsuddin menilai momen yang pas adalah setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Sebab, jika perppu KPK diterbitkan sebelum pelantikan, bisa menimbulkan potensi gejolak yang berisiko mengganggu pelantikan. "Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas, setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden dan sebelum pelantikan kabinet," terang dia. Syamsuddin memandang, Presiden Jokowi bisa memanfaatkan momen pembentukan kabinet sebagai alat tawar dengan partai politik agar mereka mendukung penerbitan perppu KPK. Koalisi Tolak Perppu Wasekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ade Irfan Pulungan mengungkapkan, partai politik yang pernah tergabung di Koalisi Indonesia Kerja (KIK) sepakat meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu revisi UU KPK yang telah disahkan DPR. "Ya sepertinya begitu (sudah ada kesepakatan)," kata Ade di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ade menjelaskan, kesepakatan itu terbentuk lantaran KIK intens berkomunikasi dengan Jokowi, termasuk meminta pertimbangan rencana penerbitan Perppu. "KIK memberikan pendapat atau saran belum waktunya dikeluarkan Perppu," sambung Irfan. Menurut Ade, pihaknya tegas menyatakan sikap bahwa Perppu belum diperlukan untuk membatalkan UU KPK. Kendati demikian, lanjutnya, terkait Perppu sepenuhnya diserahkan kepada Presiden Jokowi. "Perppu ini prerogratif Pesiden di bidang legislasi. Ya kita serahkan kepada presiden yang punya otoritas," cetus Ade. Lebih lanjut, Ade menilai dinamika yang terjadi selama ini belum seluruhnya terakomodir dalam UU KPK yang lama. Karena itu, sudah semestinya direvisi. "Kita juga tidak bisa mengatakan UU KPK tidak boleh diubah. Lucu juga kalau kita puja-puja," tandasnya. Respon Istana Sementara itu, Presiden Jokowi mempertimbangkan opsi uji materi di tingkat legislatif (legislative review) untuk mengatasi polemik Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru disahkan. Ini jadi opsi kedua selain penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). "Legislatif review bukan suatu proses yang sulit dan lama. Presiden melakukan komunikasi politik dengan DPR terkait kemungkinan diambil langkah legislative review," kata tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim, Minggu (6/10/ 2019). Ia mengatakan presiden tengah melakukan kalkulasi politik dua opsi tersebut. Terkait Perppu, menurut Ifdhal, kewenangan itu baru bisa dilakukan setelah UU KPK berlaku. Jokowi memang bisa menerbitkan Perppu dengan alasan subjektif presiden sebagai kewenangan konstitusionalnya. Namun, masalahnya UU KP hasil revisi hingga saat ini belum diundangkan. "Perppu belum bisa diterbitkan sebelum UU tersebut diundangkan dan memiliki nomor registrasi lembaran negara," imbuhnya. UU KPK hasil revisi belum berlaku karena belum diundangkan. Hingga saat ini, presiden juga belum meneken UU KPK baru yang merupakan inisiatif DPR tersebut. Meski tidak diteken presiden, UU baru KPK otomatis berlaku setelah 30 hari sejak disahkan di DPR, yakni 17 Oktober mendatang. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU