Gaji Pas-pasan, tapi Belanjanya Barang Branded

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 02 Mar 2018 22:32 WIB

Gaji Pas-pasan, tapi Belanjanya Barang Branded

SURABAYAPAGI.COM, - Surabaya, Coba amati berbagai penjuru kota Surabaya akhir-akhir ini. Banyak gedung pencakar langit bediri di mana-mana. Entah itu apartemen, hotel, mall maupun gedung komersial lainnya. Namun, apakah dengan tumbuhnya gedung-gedung tinggi itu bisa dibilang kondisi perekonomian warga Kota Surabaya mengalami peningkatan? Fenomena yang terjadi justru gaya hidup hedon dan konsumerisme. Lantas, indikasi apa ini? -------- Laporan : Ibnu F Wibowo -------- Dari sisi makro, Kepala Bapekko Surabaya Agus Imam Sonhaji di kuartal pertama tahun 2017 pernah mengungkapkan bahwa ekonomi Surabaya mengalami pertumbuhan 6 persen. Melebihi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur di tahun 2017 yang hanya 5,03 persen dan nasional yang menyentuh titik 5,01 persen saja. Sedang kondisi mikro, secara kasat mata, Kota Surabaya memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Di balik pertumbuhan ekonomi makro, selalu saja ada ketimpangan ekonomi yang terjadi. Jurang antara si kaya dan si miskin selalu terasa nyata. Di tengah gedung pencakar langit, masih ada warga yang menjadi pengemis, gelandangan, pedagang asongan hingga pedagang kaki lima (PKL) yang kerap diobrak Satpol PP. Lihatlah di balik gedung-gedung tinggi di sepanjang Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Di balik barisan gedung itu, juga tampak pemukiman yang dihuni warga menengah ke bawah di gang-gang kecil. Umumnya mereka memiliki pendapatan hanya di kisaran batasan upah minimum kota (UMK). Sedang mereka yang menempati gedung bertingkat itu, pemasukannya bisa 5 kali lipat bahkan lebih. Ironisnya, gaya hidup hedon orang kaya itu ternyata menular kepada mereka yang ekonominya pas-pasan. Sinta, sebut saja demikian, pelayan di salah satu kedai kopi franchise internasional yang terletak di Tunjungan Plaza misalnya. Seusai jam kerjanya di Jumat (2/3/2018) sore, secara blak-blakan mengakui bahwa gajinya yang pas-pasan selalu habis untuk menunjang gaya hidupnya. Ya gimana lagi coba, setiap hari yang kita lihat barang-barang branded pas lagi kerja. Pengunjung di café juga orang-orang kaya yang dandanannya keren. Kan ya jadi pengen juga begitu itu. Kalau dihitung-hitung memang duit habisnya ya ke nongkrong sama belanja baju atau kosmetik sih. Oh iya sama beli handphone kalau ada yang baru keluar, ucap wanita yang selalu bergaya modis itu. Sayangnya, dandanan modis dan barang branded serta tempat hangout keren yang identik dengan Sinta sudah sangat jelas berotolak belakang dengan neraca ekonominya. Dara berusia 20-an akhir yang kos di gang sekitar Tunjungan Plaza itu sampai harus memiliki sampingan online shop untuk menutupi seluruh kebutuhannya. Jangankan tabungan, tiap bulanja pasti ngepres. Jadi punya OL Shop bukan untuk investasi, tapi kalau nggak gitu bisa-bisa nggak makan, jelasnya sembari tersenyum kecut. Keuangan Boros Tidak jauh berbeda, Abdul yang merupakan mahasiswa salah satu PTN di Surabaya ini memiliki kondisi yang bisa dibilang sama. Mahasiswa perantauan asal Ponorogo itu mengaku sangat boros. Maklum saja, kawasan barat Kota Surabaya tempat Ia kos memang identik dengan kawasan elite. Tempat nongkrong di sekitar sini kan bagus-bagus. Nggak kesana itu kesannya kok gimana. Ya yang murah memang ada, tapi nggak gaul aja kesannya, kata mahasiswa semester akhir itu. Nasib Abdul memang lebih beruntung daripada Sinta. Sebab, meskipun tidak bekerja namun kiriman uang saku dari orang tuanya masih bisa dibilang cukup untuk membiayai gaya hidup Abdul yang boleh dikatakan hedon. Ya kalau kurang kadang ambil sampingan dari temen. Entah event, atau nggambar desain, jelasnya. Ya kadang mikir sih, gimana nanti kalau sudah harus mandiri sementara gaya hidup terlanjur begini. Tapi, daripada pusing, mending dinikmati dulu lah ya yang ada sekarang. Nanti siapa tahu ada jalannya dapat kerjaan yang gajinya gede, tambah pria berambut gondrong itu sembari terbahak. Budaya Hedon Dimintai pendapatnya, Guru Besar FEB Unair Tjiptohadi Sawarjuwono meminta agar budaya konsumerisme yang tengah merebak disikapi dengan penuh hati-hati. Terlebih lagi, bagi mereka yang memiliki neraca ekonomi pas-pasan. Kalau mereka punya budget untuk itu ya nggak masalah. Asalkan alokasi dana mereka memang ada yang dikhususkan untuk hangout ya nggak masalah," ujar Tjiptohadi Budaya hedon atau konsumerismea, menurut pria yang juga Ketua IAI Jatim itu akan menjadi tidak sehat dari kacamata ilmu ekonomi apabila dipaksakan oleh mereka yang berada di kalangan menengah atau bahkan menengah ke bawah. "Mereka, yang katakanlah hanya punya seratus ribu lalu semuanya digunakan untuk hangout, itu tidak baik. Secara ilmu ekonomi, apa yang mereka lakukan itu sangat tidak sehat. Justru bisa menjadi boomerang bagi mereka," tegasnya. Untuk itu, menurut Tjiptohadi perlu adanya edukasi yang diberikan kepada masyarakat. Pendidikan pengelolaan keuangan tersebut, dipandang Tjiptohadi penting agar masyarakat bisa menghitung potensi keuangan yang mereka miliki. "Itu sangat penting. Memahami potensi ekonomi itu bisa berdampak pada perbaikan taraf hidup mereka. Kalau terus menerus memaksakan diri untuk mengikuti arus sosial, maka itu bisa berdampak buruk," pungkas Tjiptohadi. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU