Gaptek, Orangtua malah WA Gurunya

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 03 Apr 2020 22:58 WIB

Gaptek, Orangtua malah WA Gurunya

Kisah Orang Tua Dampingi Anaknya, Belajar Online di Rumah Imbuan pemerintah agar lembaga pendidikan menerapkan kebijakan belajar di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 disambut platform penyedia layanan belajar daring dengan menyediakan berbagai metode pembelajaran untuk siswa. Setidaknya ada sejumlah aplikasi yang menawarkan berbagi metode, mulai dari mata pelajaran matematika hingga pelajaran menggambar. Namun, yang menjadi kendala, untuk siswa TK dan SD, yang mengharuskan orang tua juga ikut peran aktif mendampingi menggunakan teknologi belajar secara online. Itu yang diceritakan beberapa orang tua. Ikuti liputan wartawan Surabaya Pagi, Julian Romadona. === Namun, pembelajaran secara online bagi siswa-siswi, yang diharapkan menjadi solusi, masih menyisakan catatan dan perlu adanya evaluasi. Para orang tua pun terkadang masih kepontal-pontal mendampingi anaknya untuk belajar secara online. Salah satunya, yakni soal teknologi dan waktu pembelajaran online itu. Hal ini yang dirasakan Wiwik Wulan, wali murid seorang anak yang duduk di kelas 5 SD salah satu sekolah dasar di Surabaya. Ia harus menyiasatinya untuk mendampingi anaknya yang menyelesaikan tugas-tugas dari sekolahannya disela-sela pekerjaan kantornya. Pasalnya, belajar online, pihak siswa harus menggunakan aplikasi semacam Google Class, Zoom, Skype, serta aplikasi-aplikasi lain tak bisa diandalkannya. Masih ada yang Gaptek "Anak saya kelas 5 SD. Ada meeting (pertemuan) pakai Zoom. Tapi, enggak semua anak bisa akses karena ada yang orang tuanya masih kerja. Ada juga orang tua yang gagap teknologi. Tidak fasih menggunakan aplikasi. Ini yang masih terlihat selama saya mendampingi anak saya belajar online. Jadi terlihat wali murid lain juga kepontal-pontal," kata Wiwik, pada Surabaya Pagi, Jumat (3/4/2020). Alhasil, jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan, orang tua murid kami bergegas menghubungi guru yang bersangkutan, secara pribadi, melalui pesan WhatsApp. "Ini membantu untuk penilaian harian kah?" tanya Wiwik. Sama halnya juga dialami oleh Putri Rintawati, orang tua siswa yang masih duduk di TK B, sebuah sekolah TK dan Playgroup di daerah Lontar, Surabaya Barat. Putri, bahkan harus mengatur dengan jadwal kerja dengan jadwal belajar online yang sudah dijadwalkan. Jadwal tatap muka online, setiap pagi jam 10:00. Saya pun harus menyesuaikan, dampingi anak. Terkadang yah itu pun masih belum semua siswa bisa online bersama, cerita Putri. Kerja Dua Kali Lain halnya dengan Sita, guru kelas 3 SD di sebuah sekolah Dasar di kawasan Dukuh Kupang Surabaya. Di sekolah tempat Sita bekerja, guru diwajibkan memberikan materi pelajaran dan tugas melalui alamat surat elektronik milik orang tua. Namun, cara ini dinilai Sita tak berjalan dengan efektif. Betapa tidak, fakta di lapangan memperlihatkan masih banyaknya orang tua yang bingung cara mengirimkan lampiran hasil tugas, mengunduh materi, dan mempelajari instruksi tugas. "Kami mengirim dokumen materi berupa Power Point, dilampirkan juga worksheet-nya. Anak bisa mengerjakan di laptop, dicetak, lalu tulis tangan. Lalu difoto, diunggah lagi. Hanya satu dua orang yang gaptek. Jadi ditulis, foto, terus kirim lewat WhatsApp. Jadi kerja dua kali," kata Sita saat dihubungi melalui WhatsApp. Cara ini membuat Sita harus menyisir kotak surat elektroniknya satu per satu. Karena menggunakan akun milik orang tua otomatis dia harus lebih teliti dengan membuka semua email. Belum lagi proses pengecekan tugas yang harus membuat Sita mengunduh semua dokumen. Tak selesai sampai di situ, ponselnya juga terus berdering karena dicecar aneka pertanyaan dari orang tua siswa. Apa mau dikata, sekolah pun terpaksa melanggar imbauan work from home demi memberikan pelatihan aplikasi Seesaw. Rencananya, aplikasi ini akan diterapkan untuk media pembelajaran berikutnya. Efektif, Belajar Tatap Muka Akan tetapi, di balik poin-poin positif di atas, keduanya kompak tetap memilih konsep pembelajaran langsung di kelas dan di rumah. Konsep belajar tatap muka dinilai jauh lebih efektif. Pembelajaran di kelas membuat guru maupun murid bisa berinteraksi sekaligus mendapatkan umpan balik. Kalau ada hal yang tak dimengerti, murid bisa langsung bertanya dan sang guru langsung menjawab. "Kalau kelas online, ada yang enggak ngerti, ada yang terganggu konsentrasinya karena adiknya jadi buyar, sinyal enggak bagus, materi tidak sampai," ucap Wiwik. Sita pun sepakat dengan pendapat Wiwik. Dia menambahkan, anak-anak sekolah dasar cenderung mendengarkan daripada membaca. Saat di kelas, murid terbiasa mendengarkan dan menjalankan instruksi dari apa yang dikatakan guru, bukan yang tertulis di papan tulis. Ekspektasi Masih Terlalu Tinggi Sementara itu, instruksi pembelajaran online banyak berupa tulisan. Hal tersebut sangat mungkin membuat anak menjadi bingung. Di luar itu, konsep home learning seperti ini juga dinilai membuat pengajar harus menurunkan standar pembelajaran. "Ekspektasinya enggak bisa tinggi. Kami harus menurunkan standar tugas, nilai," kata Sita. Pembelajaran online mau tak mau banyak melibatkan orang tua. Sita sadar, konsephome learning memungkinkan distraksi bermunculan yang bisa mengganggu fokus anak. Dengan demikian, orang tua perlu menyadari kondisi tersebut. Orang tua, katanya, harus bersikap tegas pada anak dengan memberikan jadwal-jadwal tertentu. Sita juga berharap agar orang tua membiarkan sang anak untuk belajar memahami pelajaran dan mengerjakan tugasnya sendiri. Bukan berarti orang tua tidak boleh membantu. Boleh saja, asal dalam batas wajar, seperti tidak mengerjakan tugas sekolah anak sepenuhnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU