Home / Pilpres 2019 : ANALISIS HUKUM TATA NEGARA

Gejala Makar sejak Ada #2019GantiPresiden

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 21 Mei 2019 09:24 WIB

Gejala Makar sejak Ada #2019GantiPresiden

Rangga Putra, Wartawan Surabaya Pagi Paslon capres-cawapres 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, menyampaikan bakal menolak hasil rekapitulasi nasional yang sedianya bakal diumumkan KPU RI pada tanggal 22 Mei. Selain itu, kubu 02 juga tidak akan menempuh jalur hukum melalui perselisihan hasil pemilu di MK. Menurut mereka, sudah tidak ada gunanya mempercayai KPU dan MK. Pasalnya, mereka menduga telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif plus brutal dalam pelaksanaan pemilu. Hal itu, direspon oleh pakar hukum Tata Negara dari Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Eko Sugitario dan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr. Hananto Widodo. Pakar hukum tata negara Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Eko Sugitario menilai sikap tidak mempercayai lembaga negara adalah sikap yang tidak patut bagi seorang warga negara. Soalnya, lembaga negara adalah lembaga yang diberi kekuasaan dan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu. Dalam hal ini, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu, serta Mahkamah Konstitusi sebagai pemutus sengketa perselisihan hasil pemilu. "Terus yang mau dipercaya siapa? Lalu, penyelesaiannya bagaimana? Makar?" tanya Prof Eko kepada Surabaya Pagi, Senin (20/5/2019). Mestinya, guru besar ilmu hukum Ubaya ini menambahkan, pihak yang mendalilkan kecurangan TSM harus membuktikannya melalui jalur hukum yang tersedia. Kalau kecurangan itu dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maka bisa dilaporkan ke Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kalau memenuhi unsur pidana, diselesaikan ke sentra Gakkumdu. Dan yang terakhir adalah melalui jalur perselisihan hasil pemilu di MK. "Kalau semua jalur itu tidak dipercayai, lalu mau apa? Kudeta?" tukas Prof Eko Gejala Makar Menurut Prof Eko, narasi tidak mempercayai lembaga negara yang terus diulang, sejatinya juga merupakan salah satu gejala makar. Oleh sebab itu, sambung Prof Eko, tidak salah jika sebagian orang menyebut penetapan tersangka makar terhadap Eggy Sudjana dan Kivlan Zein, beberapa waktu lalu adalah tindakan yang tepat. "Makar yang direncanakan saja, itu sudah ada niat. Perkara tidak terlaksananya makar itu, adalah karena digagalkan atau dihentikan oleh penguasa," jelas Prof Eko. "Amien Rais tidak ditangkap karena dia sekali ngomong terus diem. Itu dinilai sebagai bentuk mengeluarkan pendapat. Lha, yang lain kan berkali-kali." Selain itu, mengaku sebagai presiden juga bisa disebut upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Presiden sendiri adalah pemenang pemilu yang ditetapkan serta disahkan oleh KPU dan dilantik oleh MPR. "Kalau mengaku presiden itu pemilunya mana? Kapan? Dari siapa, yang mengesahkan siapa?" Walau demikian, menurut Prof Eko, people power bisa saja muncul dari peserta yang kalah pemilu. Narasi kecurangan TSM yang terus didengung-dengungkan dan secara konsisten diekspose, sejatinya memiliki tujuan untuk mencari pendukung gerakan massa. "Diulang-ulang supaya dapat pengikut. Hanya saja, boleh juga dong, people power muncul dari yang menang pemilu," sindir Prof Eko. DIberi Waktu Tiga Hari Terpisah, pakar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Hananto Widodo menyebut, apabila terdapat satu pihak yang tidak bersedia mengakui hasil rekapitulasi berjenjang hingga tingkat nasional oleh KPU RI dan enggan membawa perselisihan hasil pemilu ke MK, maka tidak ada lagi upaya untuk menggugat. Menurut Hananto, setelah KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu, maka peserta pemilu diberi waktu tiga hari untuk mengajukan gugatan ke MK. Di MK, pendalil kecurangan TSM harus membuktikan dalilnya. "Tapi kalau tidak mau ke MK, ya selesai sudah. Pemenangnya kubu sebelah," ungkap pria yang juga menjabat sebagai Pusat Studi Dan Layanan Hukum Unesa itu. "Tapi sebaiknya kita menunggu pengumuman penetapan hasil pemilu oleh KPU." Sejak #2019GantiPresiden Walaupun Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) itu merupakan aksi yang dijamin undang-undang, lanjut Hananto, tetap saja KPU tidak boleh ditekan oleh massa demi mempengaruhi penetapan hasil pemilu. Hanya saja, aksi people power ini sebelumnya dihiasi dengan penetapan tersangka makar terhadap Eggy Sudjana dan Kivlan Zein. Menurut Hananto, gerakan massanya bukanlah makar, tetapi ucapan yang menyebut, "#2019ganti presiden sebelum Oktober," itulah yang menjadi soal. Selain itu, potensi konflik di lapangan juga terbuka. Soalnya, boleh jadi yang datang ke kantor Bawaslu RI dan KPU RI tidak hanya datang dari kubu 02, tetapi juga dari kubu 01. Oleh sebab itu, Hananto menghimbau pihak kepolisian untuk bisa mengeliminasi segala potensi konflik. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU