Gijzeling-kan Gus Li

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 05 Jul 2018 22:05 WIB

Gijzeling-kan Gus Li

Reaksi Akademisi, Advokat dan Kurator, Pejabat Kementerian Koperasi, Praktisi Bisnis, Pengusaha UKM dan Pejabat OJK Terhadap ulah Agus Liantono alias Gus Li, Pengusaha Keturunan Tionghoa Mojokerto, yang bobol 6 Bank Surabaya Sebesar Rp 181 miliar, kemudian mengajukan Pailit Sendiri Laporan: Alqomar, Ainul Yaqin, Maratus Sholehah, Iskandar; Editor: Raditya M.K SURABAYA PAGI, Surabaya - Mudahnya Agus Liantono alias Gus Li, pengusaha keturunan Tionghoa, asal Mojokerto, menjadi pembicaraan sejumlah pengusaha UKM (usaha Kecil Menengah) di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto dan Lamongan. Apalagi, Gus Li, 35 tahun, mengajukan pailit terhadap dirinya sendiri, setelah tak mampu membayar utangnya di 6 (enam) bank. Kemudahan yang diberikan kepada Gus Li, dipersoalkan oleh sejumlah UKM. Dengan kebijakan Pemerintah Jokowi dan Gubernur Pak De Karwo, tentang pemberdayaan UKM, seharusnya kredit untuk pelaku bisnis spekulan seperti Gus Li, harus ditiadakan. Perolehan kredit Gus Li, harus diusut, karena tak masuk akal. Gus Li, harus dikenakan gijzeling (paksa badan). Selain kurator yang ditunjuk Pengadilan, Polda Jatim harus turun tangan. Meski belum ada laporan formal. Mengingat, pemberitaan harian Surabaya Pagi, sudah layak dijadikan acuan. Apalagi ajuan pailit Gus Li, sudah diputus oleh Pengadilan Niaga Negeri Surabaya. Demikian rangkuman pendapat dari advokat dan kurator Sumarso, SH.,MH., Guru besar Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Unair, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, Ketua Perbanas Surabaya, Dr. lutfi, SE., M.Fin, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Choirul Djamhari, Muhammad Ita pengusaha home indutri konveksi Surabaya dan Putri Pengusaha kuliner Surabaya serta Kholilur Rohman, seorang pengusaha kopiah di Tempat Wisata Religi Sunan Ampel. Mereka dihubungi secara terpisah, Kamis (5/7/2018) oleh tim wartawan Surabaya Pagi, terkait perbuatan Agus Liantono alias Gus Li, pengusaha muda Mojokerto yang bobol 6 Bank Surabaya sebesar Rp 181 miliar kemudian mengajukan pailit sendiri di Pengadilan Niaga Negeri Surabaya. Pebisnis Spekulan Dr. lutfi, SE., M.Fin, Ketua STIE Perbanas Surabaya mengamati, penyaluran perkreditan pelaku bisnis UMKM di Jawa Timur dinilai belum maksimal. Berbeda dengan penyaluran kredit terhadap corporate yang sering dilakukan oleh pebisnis spekulan, yang diantaranya dilakukan pebisnis keturunan Tionghoa. Kesenjangan terjadi pada penerima kredit antara pelaku bisnis UMKM dan spekulan yang masih marak. Ditemukan, para pelaku bisnis UMKM masih mengeluhkan untuk berkredit, berbeda dengan pebisnis spekulan yang sangat mudah memanfaatkan permasalahan ini. Dr. lutfi, menjelaskan, kesenjangan penerimaan kredit di Jawa Timur terjadi mayoritas di daerah-daerah. Sedangkan untuk kota mungkin tidak begitu banyak. Saya rasa kesenjangan penerimaan perkreditan yang tidak sesuai mencapai 50 persen di Jawa Timur. Hal ini menyebabkan memperlambat pertumbuhan UMKM di Jawa Timur, kata dia saat ditemui di STIE Perbanas Surabaya, Kamis (5/7/2018). Selain itu, Lutfi menilai Kesenjangan penerimaan kredit antara pelaku UKM dan pebisnis spekulan merupakan kesalahan pada pihak perbankan. Antara lain indikasi kelengahan. Perbankan sangat lengah karena masih terdapat kesalahan dalam meminjamkan perkreditan. Perlu adanya penambahan tenaga ahli perkreditan yang masih belum maksimal, pungkas dia. Pem-back Up Gus Li Advokat profesional, Sumarso meyakini betul dibelakang Gus Li ada orang yang back up. Hal tersebut dikarenakan bagaimana semudah itu seorang Gus Li mengajukan kredit begitu besarnya sedangkan jaminannya tidak jelas. "Kalau tidak ada kerjasama dengan orang dalam bank, mana mungkin kredit itu bisa cair? Saya menduga kok ada kerja sama. Gak mungkin itu kok tau-tau cair," ungkapnya, sambil bersedih. Sumarso yang juga kurator, mengaku keheranan dengan lincahnya Gus Li dalam memainkan dana kredit dan di 6 (enam) bank. Dan makin menjadi aneh ketika ditengah kewajiban membayar utang ke bank macet, Gus Li mengajukan pailit atas namanya sendiri. "Yang namanya appraisal itu biasanya ada beberapa kepentingan. Pertama kalau berkredit, appraisal itu naik tinggi. Kalau kepentingan yang lain itu bisa berubah, begitu penilaiannya. Saya menduga kok ada sesuatu di penilaian itu," tambahnya. Sumarso meminta kurator dari kepailitan kasus tersebut untuk di gijzeling. Karena secara normatif memang tidak masuk akal. "Masak pailit kabur berarti ada indikasi, menurut saya kuratornya harus minta paksa badan pada Gus Li dan istrinya. Ingat, Undang-undang Kepailitan khan membolehkan. Kalau nggak dilaporkan pidana, pastilah ada sesuatu, Sumarso, yang juga penasihat hukum Gereja Bethany, menduga. **foto** Terlalu Percaya dan Terlalu Pintar Sedangkan, pakar keuangan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono menyoroti kasus serupa sejak lama. Baginya, secara sistem seharusnya itu tidak bisa. Tapi karena semua dilakukan dengan uang menjadi lancar. Pengalaman yang saya alami, ini salahnya bangsa Indonesia. Mereka terlalu percaya terhadap orang (tionghoa). Jadi mereka (tionghoa) terlalu pintar untuk meyakinkan seseorang, kata Prof. Tjiptohadi, yang juga konsultan keuangan beberapa bank di Surabaya. Padahal, kata Tjipto, ia menemukan ada data yang disodorkan beberapa pengusaha keturunan Tionghoa dalam ajuan kredit ke bank, sering dianggap selalu dianggap benar. Berbeda dengan pengusaha UKM. Dengan kejadian seperti Gus Li, Guru besar Keuangan Unair itu bertanya, siapa yang mau disalahkan?. "Data yang diberikan oleh mereka seolah-olah dianggap benar. Tapi kalau bangsa kita (Indonesia) yang maju itu sulit dipercaya. Saya rasa itu yang paling mendasar," katanya bersedih. Pengusaha Pribumi Sulit Ajukan Kredit Sulitnya pengajuan kredit modal ke bank kerap kali dirasakan oleh Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang umumnya pribumi. Berbeda dengan pengusahan keturunan Tionhoa. Umumnya mendapat kemudahan dalam mengajukan kredit ke Bank. Seperti kasus Gus Li, akhirnya dana enam Bank terkuras oleh pengusaha muda asal Mojokerto dan kemudian malah mengajukan pailit atas permohonannya sendiri. Kesulitan mengajukan kredit UKM seperti ini dirasakan oleh Muhammad Ita, pengusaha home indutri konveksi. Ita mengaku sangat merasakan sulitnya untuk mencari tambahan modal ke Bank. Saya sudah beberapa kali mengajukan ke beberapa bank plat merah dan swasta, tapi tetap sulit untuk mendapatkan pinjaman kredit. Bahkan untuk menambah mesin jahit, pernah saya ajukan ke Bank pemerintah dan Pemda. Hasilnya juga masih sulit direalisasi. Bank isinya cuma survey-survei thok, tapi gak cair-cair. Apakah ini fair dan adil, ungkap Ita, kepada Surabaya Pagi, Kamis kemarin. OJK dan BI harus Transparan Sama halnya juga dialami Putri, pengusaha kuliner di Surabaya Barat yang mengakui, akses ke Bank pemerintah termasuk di Bank Jatim, bertele-tele. Aneh, saat saya ajukan, ada pejabat Bank yang minta dicarikan nasabah Tionghoa, ungkap wanita lulusan Universitas Surabaya (Ubaya). Menurut wanita yang kini kuliah S-2 ekonomi di sebuah PTS, saatnya ada regulasi yang tegas dalam penyaluran kredit ke pelaku UKM. Sampai kini pengusaha UKM masih dijadikan obyek politik. Sedangkan pengusaha Tionghoa, karena kelihaian dan kelicikannya bisa bermain dengan pejabat Bank. Saya perhatikan di media, seperti Gus Li, yang bobol 6 bank sampai Rp 181 miliar dan bos Sipoa yang namanya belum terkenal bisa dikucuri kredit konstruksi Rp 500 miliar lebih, jelasnya. Ia berharap, OJK dan BI (Bank Indonesia) harus transparan dalam penyaluran dana ke masyarakat yaitu berapa kredit bulanan ke perusahaan (corporasi) dan berapa ke pelaku bisnis ritail UKMM. Pengusaha China Diistimewakan Hal yang sama dirasakan Kholilur Rohman, seorang pengusaha kopiah di Tempat Wisata Religi Sunan Ampel. Pria 40 tahun tersebut mengaku sudah beberapa kali mengajukan kredit ke Bank plat merah untuk menambah modal Saya itu sudah lima kali mengajukan kredit ke bank, baru satu satu kali bisa d acc (setujui, red) mas, itu pun cuma Rp 10 juta, sedangkan kebutuhan saya Rp 35 juta mas, bahkan usaha saya ini sudah 13 tahun, ungkap Kholilur. Yang diherankan, Kholilur, berbeda dengan pengusahan china seakan mendapatkan keistimewaan dalam pinjaman bank. Saya itu tidak tahu kenapa kalau orang pribumi sulit banget, beda kalau orang china sangat mudah kalau pinjeman ke bank, katanya keheranan. Pengakuan dari Kementerian Koperasi Sementara itu, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Choirul Djamhari, mengakui masih banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang kesulitan mengajukan kredit perbankan. Setidaknya, ada tiga hal yang menghambat UMKM untuk mendapatkan akses kredit perbankan. Pertama, financial inclusion (inklusi keuangan). Kedua, financial literacy (literasi keuangan) dan ketiga, financial deepening (pendalaman pasar keuangan). Menurut Choirul, minimnya masyarakat kelas menengah bawah memperoleh akses keuangan, membuat inklusi keuangan harus ditingkatkan. "Financial inclusion (memiliki) indeks rendah belum seperti yang kita inginkan," katanya. Diakuinya, literasi keuangan atau melek keuangan yang masih rendah juga menghambat UMKM. Hal ini disebabkan oleh banyaknya istilah perbankan yang rumit. "Problem literasi financial serius, apalagi segmen UMKM, karena banyak istilah sulit (di perbankan)," katanya. Selain itu, Choirul menilai pendalaman pasar keuangan juga perlu diperluas. Untuk itu, dia menilai perlu skema yang tepat untuk menjembatani gap yang ada di antar pelaku UMKM dengan penyedia kredit pembiayaan. Mestinya Permudah UMKM Terpisah, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono mengungkapkan, sampai kini masih ada kebiasaan masyarakat kelas menengah bawah mengakses kredit kepada lembaga keuangan nonformal. Masalahnya, aturan administrasi perbankan masih sulit dipenuhi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurutnya, lembaga keungan formal, mestinya lebih mempermudah bagi pelaku UMKM mengakses modal. Saat ini, upaya yang bisa dilakukan OJK, yaitu memberi edukasi kepada masyarakat tentang kredit. Pemberian pemahaman tersebut, diharapkan dapat mengalihkan kebiasaan masyarakat mengakses pembiayaan nonformal ke lembaga keuangan formal, ujarnya. Kusumaningtuti, menyatakan, seharusnya BI bisa menekan bunga kredit yaitu menyerukan kepada dunia perbankan untuk melakukan efisiensi. Sedangkan untuk UMKM, BI seharusnya menerbitkan aturan agar perbankan transparan mengenai besaran bunga kreditnya yang berbeda dengan kredit korpirasi. Konfirmasi Gus Li Terpisah, Kamis (5/7/2018) kemarin, Surabaya Pagi mencoba konfirmasi dan klarifikasi terkait mudahnya Gus Li dikucuri 6 bank sampai Rp 181 Miliar. Namun, saat Surabaya Pagi menghubungi di nomor 081333360608, pukul 14:18 WIB dan pukul 16:30 WIB, nomor tersebut tidak tersambung. Sedangkan, saat Surabaya Pagi mencoba mengirim pesan singkat melalui WhatsApp dan pesan SMS, hingga Kamis malam pukul 21:00 WIB, tidak ada balasan. Selamat sore pak Agus. Saya komeng, wartawan harian Surabaya Pagi. Mau konfirmasi dan klarifikasi beberapa hal pak. 1) terkait perkara lelang yang dilakukan Central Asia Balai Lelang yg menyangkut bapak sbgi penilik jaminan debitur UD Surya Jaya Plastindo. 2) terkait dugaan bisnis hotel pak Agus yang diduga menjadi praktik seks terselubung. Mohon waktunya pak Agus. Terima kasih, tulis pesan SMS yang dikirim pukul 18:19 WIB. alq/qin/tus/isa/fir

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU