Home / Pilgub2018 : Siapa Gubernur Jatim yang bisa mensejahterakan dan

Gubernur era Milenial harus Ulet, Siap APBDnya Dipangkas untuk Utang Rp 400

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 19 Mar 2018 06:24 WIB

Gubernur era Milenial harus Ulet, Siap APBDnya Dipangkas untuk Utang Rp 400

Minggu (18/03/2018) sore kemarin, sudah ada keterangan pershasil survei Poltracking Indonesia di Jakarta. Dipublikasikan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elistianto Dardak, sampai menjelang akhir Maret 2018 (masih ada waktu tiga bulan) lebih unggul dibandingkan pasangan Saifullah Yusuf atau Gus Ipul dan Puti Guntur Soekarno. Keunggulannya yang semula tipis tidak sampai 1 % (satu persen), kali ini melesat berbeda hampir 7 (tujuh) persen. Dalam simulasi elektabilitas terhadap cagub/cawagub menggunakan kertas suara, dicatat bahwa elektabilitas Khofifah-Emil 42,4 persen dan Gus Ipul-Puti 35,8 persen. Trend survei sebelum-sebelumnya dari semua lembaga survei nasional independen, tren perolehan suara Khofifah-Emil, cenderung naik. Apakah ini indikasi Khofifah, yang sudah memperkenalkan atribut Bude benar-benar menjadi penerus Pak De Karwo? kita lihat hasil Pilkada 27 Juni 2018 mendatang. Siapapapun penerus Gubernur Dr. Soekarwo, ia tidak bisa mengabaikan amanat Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan cita-cita Indonesia merdeka. Cita-bita itu yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; Mewujudkan ketertiban dunia dan keadilan sosial ( alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945). Pak De Karwo, Gubernur Jatim sekarang telah diakui secara Nasional berhasil membangun ekonomi, sekaligus stabilitas politik dan keamanan sehingga Jatim ditahbiskan sebagai provinsi paling baik se-Indonesia. Salah satu cirinya, Pak De Karwo, menerima penghargaan Samkarya Nugraha Parasamya Purnakarya Nugraha, pada tahun 2014 dan 2017. Sementara tanggungan menjelang akhir jabatannya, hanya menekan angka kemiskinan saja. Tahun ini, Pak De Karwo bertekad menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 10,1 persen pada Maret 2018 dan 9,44 persen pada September 2018. Target ini merupakan penurunan sebesar 1,76 persen, dari kondisi periode September 2017 sebesar 11,20 persen. Dengan target ini Pak De berharap, kemiskinan di Jatim akan berada di bawah rata-rata kemiskinan nasional sebesar 9,62%, sehingga Gubernur penerus nya bisa menekan angka kemiskinan sampai lebih kecil lagi.? Nah, belajar dari kemenangan figur Joko Widodo dalam kontestasi pemilihan presiden yang lalu yang berasal dari seorang Gubernur, ini menjadi bukti bahwa pilkada langsung tingkat Provinsi juga dapat menjadi kancah audisi kepemimpinan bagi elit-elit lokal untuk mengembangkan kecakapannya memimpin negara. Lalu siapa yang secara obyektif dan terukur dari dua Paslon ( pasangan calon) yang kini berkompetisi, yang layak kita pilih untuk meneruskan cita-cita Kemerdekaan NKRI yang telah diukir Pak De Karwo selama dua kali menjabat? Apakah Khofifah atau Gus Ipul? Berikut analisis politik Wartawan Surabaya Pagi, Dr. H. Tatang Istiawan, yang pertama dari beberapa analisis nya. Calon Pemilih Gubernur Jatim Juni 2018 Mendatang, Secara obyektif, Memilih seorang Gubernur harus tidak boleh serampangan, karena tergiur pencitraan semata. Apalagi era sekarang, dimana negara telah berutang ke negara donor lebih Rp 4000 triliun lebih. Indikasi utang yang sebagian besar untuk pembangunan infrastruktur ini, suka atau tidak suka, dituntut untuk turut memacu seorang Gubernur harus memikirkan pengembalian utang (bunga, jatuh tempo dan pokoknya). Tugas Gubernur ditengah tugas menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD, Menyusun RAPBD dan Rancangan Perubahan APBD, Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Perda; Melaksanakan fungsi Bendahara umum daerah, dan menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Semua tugas ini untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyatnya secara berkeadilan sosial. Siapa diantara Khofifah dan Gus Ipul, yang mampu mengelola APBD terkait dengan utang Negara? Sebelum prediksi kemungkinan APBD provinsi bahkan Kabupaten dan kota turut dipangkas untuk membayar utang pemerintah pusat, sebelum ini, Presiden Jokowi, untuk membuat stabil postur APBN dilakukan pemangkasan APBD. Hampir semua Gubernur kaget dan berharap kebijakan pemotongan anggaran ini tak terulang di kemudian hari. emerintah Joko Widodo (Jokowi) memutuskan memotong anggaran Rp 133 triliun dan, sebanyak Rp 68,8 triliun berasal dari anggaran transfer ke daerah. Calon Pemilih Gubernur Jatim Juni 2018 Mendatang, Menghadapi tantangan seperti itu, logika berpikirnya, Gubernur Jatim periode 2018-2023 harus bisa lebih menjadi negarawan yang mengerti ekonomi, budaya dan politik, ketimbang Gubernur yang hanya jago berpolitik praktis ( pencitraan dan membangun network dengan aktor-aktor politik lokal dan nasional) saja. Apa syarat sebagai Gubernur yang negarawan? Ini bisa dipantau saat kampanye sekarang ini. Siapa diantara Khofifah dan Gus Ipul, yang mencerminkan sikap dan perilaku sebagai negarawan minimal di tingkat lokal Provinsi Jawa Timur. Sikap yang bukan dari visi, misi dan program yang disusul, tetapi track record dan kemampuan Khofifah dan Gus Ipul, yang harus ditelisik. Siapa diantara keduanya, yang berpengalaman sebagai teknokrat dan siapa yang Cuma pendamping Gubernur? Ini yang perlu Anda ketahui, agar sebagai pemilih Gubernur Jatim pada bulan Juni 2018, Anda tidak memilih kucing dalam karung. Calon Pemilih Gubernur Jatim Juni 2018 Mendatang, Sekarang ini, zaman sudah memasuki era milenial. Ini artinya, ada perubahan zaman dibanding era Gubernur Dr. Soekarwo, Imam Utomo, Basofi Sudirman hingga M. Noer. Nah, dengan perubahan zaman, siapapun Gubernur jatim mendatang pun dituntut untuk menyesuaikan dengan segala perubahannya. Siapa diantara Khofifah dan Gus Ipul, yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan zaman?, sejarah yang mencatat. Paling tidak dalam kampanye sampai Juni 2018 akan terbaca, siapa diantara keduanya yang mampu memunculkan ide dan gagasan serta program yang dibutuhkan generasi milenial atau generasi tua yang masih produktif di era now sekarang ini. Apalagi, Pilkada serentak sekarang ini ibarat akan menjadi pemanasan menuju Pilpres 2019. Logikanya, dalam Pilkada serentak, diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang mampu menjunjung tinggi dan menyatukan segala macam perbedaan. Tentu dengan frame work cita-cita NKRI yang ada dalam pembukaan UUD 1945. Saya mencatat dalam urusan dukung-mendukung, jumlah Parpol yang mensuport Khofifah lebih banyak dari Parpol pendukung Gus Ipul. Berpikir negarawan, Parpol-parpol ini sebagai salah satu tiang demokrasi, semoga sama-sama bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dalam berdemokrasi. Artinya, sekiranya hajat besar Pilkada serentak di jatim saat ini sampai tidak dilaksanakan dengan baik, yakni sesuai dengan kaidah tata kelola demokrasi, dan taat pada regulasi aturan perundang-undangan, maka Pilkada serentak ini dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia dari Jatim. Paling tidak kekhawatiran seperti Pilkada DKI 2017, yang memunculkan politik identitas dengan frame yang terkesan mendikotomikan konsep kebangsaan dengan agama. Bisa jadi ada kreativitas dalam kecurangan. Artinya, tidak hanya dilakukan oleh para kontestan dan tim sukses paslon, namun melibatkan oknum KPU daerah . Praktik seperti ini saya khawatir tak pernah lepas dari iklim demokrasi Indonesia yang menganut politik transaksional. Maklum, yang saya amati, hampir setiap pesta rakyat digelar, kecurangan tersebut selalu terjadi. Modusnya masih sama, yakni semata-mata memenuhi kepuasaan semu dalam bentuk bagi-bagi kaos, uang dan sembako kepada Anda yang punya hak pilih. Motifnya klasik, bertujuan demi menyukseskan salah satu paslon. Tindakan ini disadari oleh tim sukses masing-masing paslon yaitu melanggar asas pemilu dan etika demokrasi. Apalagi, pada masa tenang nanti, seperti kejadian dalam Pilkada di Jakarta tahun 2017 yaitu masih terdapat tangan-tangan usil yang menyerang sesama calon. Padahal seharusnya momen-momen ini menjadi bahan renungan dan pertimbangan rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu menyelesaikan problem Indonesia di Jatim Pada Pilkada Serentak 2017 Calon Pemilih Gubernur Jatim Juni 2018 Mendatang, Jujur, ada keuntungan bahwa dlam sistem presidensial mengenal rezim penyelenggaraan pilkada serentak. Contoh, Brazil telah membuktikan pilkada langsung bahkan bisa menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan. Tak heran, dalam kurun 15 tahun sejak menerapkan pilkada langsung, Brasil bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Bukan tak mungkin Indonesia bisa menyusul Brazil sebagai bagian dari kekuatan ekonomi dunia jika penyelenggaraan pilkada dilaksanakan serentak. Jujur, bangsa indonesia yang sudah 72 tahun merdeka memiliki ancaman dan tantangan untuk memiliki pemimpin nasional dan daerah yang sesuai akan zaman sakarang milenial dan akan datang. Alhamdulillah telah banyak survei yang menyebutkan bangsa indonesia sudah ada pada jalur yang benar, terutama yang menyentuh pada lapisan-lapisan pemimpin pada pemerintahan daerah. Di mana banyak pemimpin-pemimpin daerah yang muncul bukan karena kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Khofifah dan Gus Ipul, contohnya. Meski demikian, masih banyak pemimpin-pemimpin daerah yang muncul dan membanggakan setta mampu membawa perubahan pada daerah yang dipimpinnya, seperti yang dilakukan Gubernur Jatim yang sekarang, Dr. Soekarwo. Kelebihan Pak De adalah menjiwai sebagai pemimpin dalam pemerintahan berkarakter abdi rakyat yang berindikasi mengelola kesejahteraan umum. Indikasi ini mencirikan gubernur yang mengayomi rakyat, sekaligus abdi rakyat dan abdi negara. Jabatan publik diposisikan Pak De Karwo, bukan profesi, melainkan vokasi. Nah, paada akhirnya pemerintahan daerah yang efektif akan terwujud apabila para pemimpin daerah di republik ini memenuhi kualifikasi-kualifikasi sebagai pemimpin yang kredibel, mempunyai kemampuan, intelektual, dan visi yang jauh kedepan. Sekaligus memiliki integritas, kejujuran, kesetiaan pada kepentingan rakyat. Pengamatan saya, Pak De Karwo, tipologi pemimpin daerah yang mengakui telah selesai urusan terhadap dirinya sendiri. Dia termasuk pemimpin yang tidak mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, maupun partai. Semua partai di Jatim dirangkul dalam konsep duluran. Berdasarkan informasi dan data yang saya kumpulkan sampai Minggu kemarin (18/03/2018), menjadi Gubernur Jatim penerus Pak De Karwo dalam moment Negara mengambil utang Rp 4000 triliun, harus ulet. Dan tidak bisa hanya bermodal nekad (bonek) tanpa memiliki kemampuan pengelolaan ekonomi, politik dan budaya. Maka itu, sosok seperti Gus Ipul, yang menurut informasi belum memiliki pengalaman sebagai teknokrat dan ekonom seperti Pak De Karwo, rasanya akan menghadapi problem berat dalam kelola APBD Jatim, manakala kelak anggaran APBD Jatim dipotong oleh Pemerintah pusat untuk bayar utang. Apalagi dikaitkan tengan tanggungjawab mewujudkan cita-cita NKRI yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Berbeda dengan Khofifah, yang pernah menjadi macan wanita di gedung DPR-RI, setelah reformasi, latarbelakang pendidikan formalnya sampai S-2 di dalam dan luar negeri, kemampuan mengelola Ormas besar seperti Muslimat dan menjadi menteri dua kali. Pengalaman seperti ini secara akal sehat memberi catatan positif tentang integritas, kredibilitas dan kemampuannya dalam mewujudkan cita-cita NKRI yaitu membangun ekonomi Jatim secara berkeadilan dan menekan angka kemiskinan serta mensejahterakan rakyat Jatim yang berperikemanusiaan. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU