Harga Gabah Anjlok, Petani Padi Mengeluh

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 27 Feb 2018 18:48 WIB

Harga Gabah Anjlok, Petani Padi Mengeluh

SURABAYAPAGI.com, Kediri - Musim panen raya tanaman padi mulai berlangsung. Diperkirakan, puncak panen raya berlangsung pada kisaran Febuari akhir hingga Maret mendatang. Meskipun stok barang mulai melimpah, namun disisi lain harga jual gabah di kalangan petani justru menurun. Menurunnya harga jual dan produktifitas padi ini disinyalir adanya serangan hama dan faktor cuaca yang dinilai kurang bersahabat. Elvi Budi Wiyono, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kota Kediri mengatakan, harga jual gabah saat ini cenderung menurun disaat jumlah barang dipasaran mulai melimpah. Tercatat hingga saat ini harga gabah kering sawah (GKS) yang sudah bersih hanya mencapai sekitar Rp 4.400 per kilogram. Sementara untuk harga GKS yang belum bersih atau menyisakan serabut dan kotoran bertahan Rp 4.100 per kilogramnya. Jadi ada dua. Yang bersih atau hanya bulir padinya saja dijual Rp 4.400 per kilogramnya dan yang belum bersih atau istilahnya di panen dengan cara di gabyok dijual Rp 4.100 per kilogramnya, jelasnya, Selasa (27/2/2018). Padahal sebelumnya, awal Januari lalu harga jual gabah kering panen (GKP) mencapai Rp 5.700 perkilogram. Sementara untuk gabah kering giling (GKG) mencapai Rp 7.000 per kilogramnya. Elvi menyebut, untuk awal Febuari ini, harga jual gabah dikalangan petani terus merosot drastis hingga mencapai Rp 5.200 per kilogramnya. Saat ini terus menurun. Saat ini untuk Jatim hanya Rp 4.400 dan Rp 4.100 per kilogramnya. Itu untuk harga yang dibeli oleh tengkulak. Bagaimana jika dibeli oleh Perum Bulog yang harga pembeliannya jauh di bawahnya. Oleh sebab itu kami meminta pemerintah untuk menaikan harga pembelian pemeritah (HPP), ujarnya. Selain serangan hama yang merajarela, kondisi ini dipengaruhi oleh sarana dan prasarana di kalangan petani yang kurang memadai. Pasalnya menjelang panen raya ini, mereka dihadapkan dengan kondisi alam yang kurang menentu. Sebab mayoritas di kalangan petani tidak mempunyai driying (pengering) sehingga harga penjualan semakin jeblok. "Karena terdesak kebutuhan mereka akan menjual seadanya. Kalau bagi kami (kalangan petani) harga itu sebetulnya belumnya ideal untuk mencukupi kebutuhan meliputi harga pupuk, tenaga kerja dan lain sebagainya. Namun memang harga itu (tengkulak) jauh lebih besar ketimbang harga beli dari Perum Bulog sehingga kami memilih menjual di sana. Kalau di prosentase hampir 75 persen dan 25 persen," pungkasnya. Can

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU