Harga Minyak Dunia Bisa Melejit, Iran dan AS Belum Beradamai

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 21 Jul 2019 20:19 WIB

Harga Minyak Dunia Bisa Melejit, Iran dan AS Belum Beradamai

SURABAYAPAGI.com Perseteruan Amerika Serikat dan Iran kian memanas, Situasi terkini, menahan sebuah kapal tanker milik Inggris atas dugaan pelanggaran wilayah laut. Ini menambah rentetan peristiwa yang sudah tegang antara Amerika Serikat dan Iran, kemudian dengan sekarang Inggris. Sentimen ini memicu kenaikan harga minyak dunia pada perdagangan Jumat (18/7/2019) ke level US$ 55,63 per barel, menguat 0,60%. Adapun harga minyak mentah Brent naik 0,87% ke level US$ 62,47 per barel. Analis di Capital Economics menyatakan, jika perang pecah antara AS dan Iran di Teluk Persia, hal ini akan berimbas pada melonjaknya harga minyak ke level US$ 150 per barel. "Konflik tersebut dapat mendorong penutupan Selat Hormuz," dilansir dari CNBC International, Minggu (21/7/2019). Apalagi sebelumnya, Amerika Serikat (AS) pada Kamis (18/7/2019) waktu setempat mengabarkan bahwa Angkatan Laut AS (US Navy) telah menghancurkan pesawat nirawak (drone) milik Iran di perairan Selat Hormuz. Menurut AS, aksi tersebut dilakukan karena drone Iran telah mengancam kapal perang US Navy. Akan tetapi pihak Iran menampik kabar tersebut. "Kami tidak menerima informasi perihal kehilangan drone hari ini," ujar Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif. Washington bersikukuh telah menembak jatuh sebuah drone milik Iran. "Kami sudah mengkaji, itu adalah drone Iran," kata juru bicara Pentagon, Rebecca Rebarich. Konflik di Selat Hormuz dapat mengancam distribusi pasokan minyak global. Selat tersebut merupakan jalur pengiriman untuk seperlima konsumsi minyak dunia. Kala konflik semakin memanas, aliran pasokan bisa terhambat dan mengakibatkan pasar menjadi ketat. Namun demikian, para analis menyatakan kemungkinan terjadinya perang di Teluk Persia masih jauh panggang dari api, apalagi, Presiden Trump, dalam kampanyenya menyerukan mengakhiri perang di Timur Tengah. "Untuk AS, saya pikir itu semua tergantung pada pertimbangan politik domestik Trump," Richard Nephew, pakar sanksi dan direktur program di Pusat Kebijakan Energi Global di Universitas Columbia.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU