Home / Peristiwa Nusantara : Sinyal Jokowi, Lokasi Baru di Kalimatan. Nantinya,

Ibu Kota Dipindah, Butuh Rp 466 Triliun

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 30 Apr 2019 08:39 WIB

Ibu Kota Dipindah, Butuh Rp 466 Triliun

Rangga Putra-Jaka Sutrisna, Tim Wartawan Surabaya Pagi Presiden Jokowi kembali melontarkan rencana pemindahan ibu kota negara ke luar pulau Jawa. Rencana ini disebut bukan wacana lagi, tetapi sudah menjadi isu strategis karena dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, Senin (29/4/2019). Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya, mengingat suhu politik masih memanas. Tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 belum tuntas, bahkan dihembuskan masalah kecurangan Pemilu. Sehingga apa yang dilontarkan Jokowi terkesan politis. Di sisi lain, DKI Jakarta pun dikuasai kubu Prabowo-Sandiaga Uno dengan terpilihnya Anies Baswedan sebagai Gubernur. Benarkah demikian? ----------------- Mengawali rapat, Jokowi mengatakan gagasan pemindahan ibu kota negara sudah ada dari masa Presiden Soekarno, dan terus menjadi wacana setiap era pemetintahan. Tapi, sampai sekarang, wacana itu belum terwujud. Menurut Jokowi, rencana pemindahan ibu kota negara itu antara lain bertujuan mempersiapkan Indonesia menghadapi kompetisi global, dan pembangunan lebih Indonesiasentris, tidak terpusat di Jakarta atau Pulau Jawa. "Saat ini kita tidak boleh berpikir jangka pendek, tapi harus bicara kepentingan lebih besar bagi bangsa dan negara, visioner dalam jangka panjang sebagai negara besar menyongsong kompetisi global. Begitu kita sepakat menuju negara maju, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apakah di masa yang akan datang DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mampu memikul dua beban sekaligus yaitu sebagai pusat pemerintahan dan pelayanan publik sekaligus pusat bisnis?" papar Jokowi. Nantinya, ibu kota negara yang baru diproyeksikan cuma menjadi pusat pemerintahan, pelayanan publik, legislatif (DPR RI), yudikatif (peradilan), dan aparat keamanan (TNI dan Polri). Sedangkan untuk perekonomian dan bisnis seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rencananya akan tetap berpusat di Jakarta. Lebih lanjut, Jokowi menyebut beberapa negara sudah memindahkan pusat pemerintahannya, antara lain Korea Selatan, Brasil dan Kazakhstan. Presiden juga sadar, memindahkan ibu kota negara membutuhkan persiapan yang matang, detail, baik dari sisi pemilihan lokasi yang tepat. Termasuk memperhitungkan aspek geopolitik, geostrategis, infrastruktur pendukung serta pembiayaannya. Tapi, mantan Gubernur Provinsi DKI Jakarta itu yakin kalau persiapannya sudah baik sejak awal, maka rencana itu bisa diwujudkan. Sinyal di Kalimantan Presiden Jokowi juga memberikan sinyal pemindahan ibu kota berada di luar Pulau Jawa, yakni di Kalimantan. Alasannya, jumlah penduduk di Pulau Jawa sudah terlampau padat. Sementara, jumlah penduduk di Kalimantan masih sangat rendah. Berdasarkan data yang dikantonginya menyebut jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total populasi di Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk di Pulau Sumatra tembus 21 persen. Sementara jumlah penduduk di Pulau Kalimantan cuma sekitar 6 persen, Sulawesi 7 persen, dan Maluku serta Papua hanya tiga persen. "Di Kalimantan 6 persen, nah ini masih 6 persen, baru 6 persen. Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57 persen. Ada yang 6 persen, 7 persen, dan 3 persen," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4). Sinyal dari Jokowi ini sekaligus mengubur dua alternatif kota yang sempat disebut-sebut akan menjadi calon ibu kota baru, yakni, di sekitaran Monas, Jakarta, atau di kota-kota sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Alternatif ketiga berada di luar Pulau Jawa. "Kalau masih berpikir tiga alternatif tadi, saya sih alternatif satu dan dua sudah tidak," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Butuh Rp 466 Triliun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut masalah kemacetan dan banjir menjadi alasan rencana pemindahan dari Ibu Kota Jakarta ke daerah lain. Bambang menuturkan faktor kemacetan yang terjadi berdampak pada kerugian perekonomian yang sudah mencapai Rp 100 triliun pertahun. "Kerugian perekonomian dari kemacetan ini data tahun 2013 ini Rp 65 triliun per tahun dan sekarang angkanya mendekati Rp 100 triliun dengan semakin beratnya kemacetan di wilayah DKI Jakarta," ujar Bambang usai menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (29/4). Meski begitu, pemindahan ibukota juga membutuhkan anggaran besar, hingga hingga Rp 466 triliun. Ini untuk membangun ibu kota baru seluas 40 ribu hektare dengan jumlah penduduk 1,5 juta orang. Opsi lain, dibutuhkan Rp 323 triliun untuk membangun ibu kota seluas 30 ribu hektare dengan 900 ribu penduduk. Bambang juga menjelaskan kajian kementerian menunjukkan pemindahan ibu kota setidaknya membutuhkan waktu sekitar 5-10 tahun. Estimasi ini merujuk pada pengalaman pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan di sejumlah negara di dunia. Salah satu yang teranyar yaitu Korea Selatan. Negara yang terkenal dengan budaya K-Pop itu memindahkan pusat pemerintahannya dari Seoul ke Sejong. Pemerintah Korea Selatan sebenarnya sudah mengumumkan pemindahan ibu Skenario Pemindahan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menambahkan, anggaran yang disebutkan di atas bukan masalah besar karena masih ada sumber pembiayaan non-APBN. Apalagi, katanya, proses pemindahan pun bukan dalam kurun waktu singkat. "Proyeksinya dengan bangun ulang, permukiman, area pemerintahan. Kalau dulu saya ngobrol dengan presiden 4-5 tahun, sampai pembangunan selesai. Kalau pindahnya tidak harus sekaligus, bertahap," kata Basuki. Sesuai perencanaan pemerintah, pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa dibagi dalam dua skema. Skema pertama adalah memindahkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Jakarta ke kota yang baru. Skenario itu akan membutuhkan 40 ribu hektare lahan dan memindahkan 1,5 juta jiwa. Skema kedua, tidak seluruh ASN pindah ke kota yang baru, dengan jumlah penduduk 900 ribu jiwa di atas 30 ribu hektare lahan. Respon Anies Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, pemindahan Ibu Kota tak lantas mengurangi sejumlah permasalahan di Jakarta. Misalnya, masalah kemacetan disumbang oleh kegiatan rumah tangga dan swasta. "Jadi perpindahan ibu kota tidak otomatis mengurangi kemacetan, karena kontributor kemacetan di Jakarta adalah kegiatan rumah tangga dan kegiatan swasta, bukan kegiatan pemerintah," ujar Anies di Pasar Kenari, Jakarta Pusat, Senin (29/4). Menurut dia, komponen kegiatan pemerintahan sangat kecil dalam hal menyumbang kemacetan. Karena itu, jika Ibu Kota dipindahkan maka jumlah kendaraan dinas yang berkurang sedikit. Berdasarkan catatannya, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta sekitar 17 juta sedangkan kendaraan kedinasan 141 ribu. "Kemudian kalaupun dihitung PNS menggunakan kendaraan pribadi. Maka dalam hitungan kita pegawai pemerintah itu sampai 8-9 persen," papar Anies. Sehingga, lanjut dia, tantangan kemacetan masih tetap tinggi yang harus dituntakan Pemprov DKI. Menurut Anies, alasan utama pemindahan Ibu Kota ialah pemerataan penduduk serta pemerataan perekonomian. Hal itu juga termasuk masalah penurunan tanah di Jakarta yang harus tetap diselesaikan meski Ibu Kota dipindahkan. Anies mengatakan, tetap berkomitmen membangun DKI Jakarta 10 tahun ke depan. Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengatakan, wacana pemindahan Ibu Kota Negara harus dikaji dengan matang. Menurut dia, dengan kajian matang, maka ibu kota yang baru tak akan "berwajah" sama dengan Jakarta. "Keputusan memindah ibu kota pemerintahan harus dibarengi dengan kajian mendalam termasuk menyiapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak mengulang kesalahan Jakarta," ujar Baidowi ketika dihubungi terpisah. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU