Ingin Tutupi Borok-borok Kekuasaan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 19 Nov 2019 06:03 WIB

Ingin Tutupi Borok-borok Kekuasaan

ANALISIS Politik dinasti yang akan dibangung Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dengan mengusung anaknya Amir Aslichin (Mas Iin), dikaji kalangan akademisi. Apalagi, Iin yang sekarang duduk sebagai anggota DPRD Jatim ini sudah masuk dalam bursa bakal calon Bupati Sidoarjo pada Pilkada Sidoarjo 2020. Nah, di balik motif politik dinasti, diduga terdapatabuse of power. Borok-borok kekuasaan yang hendak ditutupi. Pengamat politik Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Umar Sholahudin mengungkapkan, salah satu motif politik dinasti dibangun adalah untuk menutupi kelemahan-kelemahan pemerintahan. Dalam hal pilkada, petahana pada umumnya mengusung orang terdekat seperti keluarga maupun kerabat untuk maju menggantikannya. "Prinsip politik dinasti itu kan, jangan sampai kekuasaan itu jatuh ke orang lain," cetus Umar Sholahudin kepada Surabaya Pagi, Senin (18/11). "Di balik motif politik dinasti, terdapat abuse of power, borok-borok kekuasaan yang hendak ditutupi," tandasnya. Menurut Umar, politik dinasti benar-benar mengancam demokrasi Jawa Timur. Soalnya, parpol sebagai salah satu wadah demokrasi, malah terpapar politik dinasti yang menciptakan politik instan. Akibatnya, figur kepala daerah hanya sebatas popularitas yang tidak ditunjang dengan kualitas. "Parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai wadah kaderisasi untuk memunculkan tokoh yang berintegritas," sebut Umar Sholahudin. Direktur Parlemen Watch Jatim ini menambahkan, dalam proses pilkada, calon yang mengantongi dukungan dari petahana, diduga kuat bakal menggunakan berbagai sumber daya dari sang incumbent untuk memenangkan pilkada. Hal ini jelas menimbulkan kompetisi yang tidak adil bagi calon lainnya. "Terciptalah persaingan yang tidak sehat karena calon yang bersangkutan menggunakan resources dari petahana. Parpol mestinya lebih obyektif dan rasional karena lama-lama, praktik kotor politik dinasti bakal terbongkar juga," Umar Sholahudin mewanti-wanti. **foto** Terpisah, pakar hukum tata negara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Hananto Widodo mengungkapkan, Mahkamah Konstitusi secara resmi telah membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menyebutkan bahwa syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. "Dengan begitu, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan," ungkap Hananto. Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan UNESA ini menambahkan, dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan larangan konflik kepentingan dengan petahana, memuat diskriminasi perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. "Jadi, MK tidak melihat undang-undang itu baik atau buruk. Tetapi, MK melihat ada undang-undang yang telah melanggar hak konstitusi seseorang untuk dipilih," papar Hananto. Menurut Hananto, politik dinasti adalah wujud dari kegagalan proses kaderisasi partai politik. Soalnya, karena kekurangan kader berkualitas, maka orang dekat penguasa menjadi jalan pintas untuk melanggengkan kekuasaan. "Politik dinasti itu soal moral dan etika," papar Hananto.n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU