Home / Pilpres 2019 : Jelang 2 Minggu Coblosan 17 April, Faham Khilafah

Isu Khilafah Digoreng Lagi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 04 Apr 2019 08:56 WIB

Isu Khilafah Digoreng Lagi

Rangga Putra-Hermi, Tim Wartawan Surabaya Pagi Isu pertarungan ideologi Pancasila melawan Khilafah pada Pemilu 2019 kembali mencuat. Ini seiring dengan beredarnya ajakan tidak golput pada hari pencoblosan 17 April nanti, yang beredar di media sosial. Tingginya angka golput atau mereka yang tak menggunakan hak memilih, dikhawatirkan menguntung parpol pendukung khilafah. Sementara berdasar hasil survei, golput merugikan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Maruf Amin, karena suaranya akan tergerus di Pilpres 2019. Sedang pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak terdampak isu golput. Diduga ada pihak yang sengaja menggoreng isu yang mengaitkan golput dan khilafah di sisa 13 hari jelang hari H pencoblosan. -------- Demikian kesimpulan analisis dari pakar politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Abdul Chalik, dosen senior Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Aribowo, Direktur Parlemen Watch Umar Sholahudin, Direktur Parlemen Watch Umar Sholahudin, guru besar Fakultas Syariah dan Hukum UINSA Prof Dr H. Sahid HM dan Ketua Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama (PCNU) Surabaya Muhibbin Zuhri. Mereka dihubungi terpisah oleh Surabaya Pagi, Rabu (3/4/2019). Abdul Chalik mengaku telah mengetahui beredarnya isu yang berisi ajakan mencoblos dengan cara yang tidak lazim. "Jadi, jangan seolah-olah kalau golput terus jadi khilafah," cetus Chalik. Pernyataan Chalik ini menanggapi pesan yang beredar di media sosial, terkait Pemilu di Belgia. Partai Islam, salah satu peserta Pemilu Belgia ini, ingin mengubah negara liberal ini menjadi khilafah 100 persen. BELGIA akan segera berubah menjadi negara KHILAFAH sejak Partai Islam memenangkan PEMILU, akibat banyaknya rakyat yang GOLPUT... Sekarang mayoritas rakyat BELGIA kebakaran jenggot, tapi tidak bisa bertindak apa-apa, karena mereka salah sendiri tidak memberikan Hak Suara nya... Mau terjadi di Indonesia...? Demikian bunyi pesan yang beredar di media sosial, kemarin. Ini menjadi polemik, mengingat umat Islam di Belgia hanya 780 orang atau 6 persen dari populasi. Sedang Belgia sendiri berpenduduk 10 juta jiwa. Menurut Chalik, beredarnya isu itu tak lepas dari pertarungan ideologi Pancasila versus Khilafah. Ada dua hal terkait hal itu. Pertama, boleh jadi isu itu dibuat oleh pendukung calon tertentu. Kedua adalah oleh pihak yang sengaja ingin menciptakan situasi jelang hari-H pencoblosan, agar tidak kondusif. Seperti yang sudah diketahui, kedua paslon capres-cawapres telah menegaskan, ideologi Pancasila tidak bisa diganggu gugat. "Bisa saja dari salah satu calon yang menyebarkan. Bisa juga ada pihak-pihak tertentu yang memanas-manasi jelang hari-H coblosan," tandas Chalik. Selain itu, sambung Chalik, Pancasila dan Khilafah adalah dua hal yang berbeda. Pancasila itu landasan negara, sementara khilafah itu konsep kepemimpinan Islam pada masa lalu yang hendak dibentuk lagi pada masa sekarang maupun akan datang. "Kalau pemilih rasional tidak akan termakan isu seperti ini. Boleh jadi sasaran isu ini adalah pemilih yang tidak punya pengetahuan politik yang cukup," sebut Chalik. Khilafah tak Laku Hal senada diungkapkan Umar Sholahudin. Menurut dosen Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya ini, jualan khilafah dalam kontestasi politik di Indonesia tidak akan laku. Soalnya, segenap putra bangsa sepakat dengan ideologi Pancasila. Walau demikian, nilai-nilai universal tentang Islam masih bisa diakomodir dalam praktik kenegaraan. "Isu yang membenturkan antara Pancasila dan Khilafah justru akan memecah belah bangsa," cetus Umar dihubungi terpisah. Selain itu, lanjut dia, umat Islam di Indonesia cenderung dekat dengan Islam substantif, alih-alih Islam formalis. "Tidak harus jadi negara Islam. Dengan negara kebangsaan Pancasila, nilai Islam bisa dijadikan sebagai sumber nilai berbangsa dan bernegara, sekaligus bermasyarakat," paparnya. Potensi Golput Aribowo punya pandangan yang sama. Menurutnya, Pancasila merupakan ideologi negara yang sulit untuk diubah. Oleh sebab itu, dia lebih memilih untuk menyoroti potensi golput daripada bergantinya ideologi negara. Berbeda dengan pernyataan tokoh-tokoh yang menyebut keharusan memilih, menurut Aribowo, golput merupakan hak setiap warga negara. Selain itu, tingginya angka golput menurut Aribowo tidak serta merta mendegradasi kualitas demokrasi. Dia bahkan mencontohkan, tidak hanya di Belgia, tetapi juga di seluruh tanah Eropa dan Amerika yang ketika pemilu di masing-masing negara digelar, pemilihnya hanya berkisar 50 persenan saja. "Pilpres Amerika itu, cuma 50 persenan yang milih. Nek aku gak seneng karo calone, kate lapo? Yo gak tak coblos, lha wong gak onok sing aku seneng," tukas Aribowo yang juga peneliti politik di Pusdeham Unair. Ancam Kemenangan Jokowi Indo Barometer mencatat Jokowi-Maruf unggul dengan perolehan suara 50,8 persen atau selisih 18,8 persen dari pasangan Prabowo-Sandiaga yang hanya 32 persen. Ini hasil terbaru survei Indo Barometer yang dirilis Selasa (2/4/2019). Lembaga survei ini pun memprediksi kemenangan Jokowi-Maruf pada Pilpres 17 April ini dengan suara sekitar 61,3 persen. Namun, Indo Barometer menyatakan pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya alias golongan putih (golput) dapat menggagalkan kemenangan Jokowi-Maruf. Peneliti Indo Barometer Hadi Suprapto mengatakan ancaman ini bisa jadi nyata, apabila angka golput khususnya di kalangan pendukung Jokowi-Maruf mencapai 40 persen. "Kalau golput itu yang dirugikan Jokowi, karena pemilih Jokowi ini kunci untuk bisa membatalkan kemenangan beliau (Jokowi) adalah golput itu sendiri," papar dia. Hadi mengatakan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno justru tidak begitu dirugikan dengan angka golput yang tinggi. Hal itu karena pemilih paslon nomor urut 02 ini cenderung lebih solid ketimbang paslon 01. Hal itu berbanding terbalik dengan kubu Jokowi-Maruf yang mana banyak dari mereka cenderung masih bingung dan belum solid dalam memutuskan pilihan. "Karena kalau dilihat dari pengalaman dan sebagainya dengan catatan track record koalisi Prabowo Gerindra-PKS itu lebih solid. Terbukti di Jabar dan di Jateng, pilkada kemarin," kata Hadi. Ia memaparkan terdapat sejumlah alasan yang membuat pemilih untuk golput. Pertama pemilih masih bingung dengan kedua paslon yang ada. Kedua pemilih malas untuk datang ke TPS, ketiga pemilih yang harus bekerja di luar kota. Keempat, pemilih kecewa dengan kedua paslon. "TKN (Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf) harus menekan angka golput tersebut, jadi harus kerja keras di sisa waktu yang ada ini," kata Hadi. Melawan Khilafah Sementara itu, Prof. Dr. H. Sahid HM menegaska secara logika politik Indonesia tidak menganut faham Khilafah. Sebab, menurut dia, seluruh lapisan masyarakat sudah bersepakat Pancasila sebagai ideologi negara. "Menurut logika politik sulit mau ganti ideologi negara ini," tandasnya. Menurut Sahid, golput itu justru kelompok-kelompok yang tidak mau mengakui dan menginginkan Khilafah. Mereka ini kelompok Islam kanan. "Yang tidak mau coblos itu justru kelompok yang menganggap demokrasi kita tidak berbasis pada agama," ungkapnya. Sahid menjelaskan, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Kelompok Nasionalis justru menganjurkan untuk memilih pemimpin. Bahkan, diwajibkan meskipun hal itu fardhu kifayah. "Sangat dianjurkan sebagai muslim untuk memilih pemimpin," tuturnya. Ketua PCNU Surabaya Muhibbin Zuhri mengungkapkan hal senada. Menurutnya, Khilfah itu tidak sesuai dengan kesepakatan awal pendirian bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. "Pada saat itu bermacam-macam pemikiran dan kepentingan kelompok nasionalis, sekuler, agama yang saat ini Islam dan kemudian ditemukan jalan tengah yang diprakarsai oleh Soekarno yaitu berdasarakan Pancasila dan bersifat final," ungkapnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU