Iuran Pedagang Diduga Digelapkan, setelah Tarif Sewa Dinaikkan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 30 Nov 2018 08:28 WIB

Iuran Pedagang Diduga Digelapkan, setelah Tarif Sewa Dinaikkan

Selain Pasar Keputran Utara, Perusahaan Daerah Pasar Surya (PDPS) juga melakukan revitalisasi Pasar Pucang. Meski dibangun lagi dengan dana APBD miliaran rupiah, tapi kondisi pasar justru dikeluhkan pedagang maupun pengunjung. Pasalnya, tarif sewa stan/lapak menjadi mahal. Belum lagi tarikan iuran bulanan atau retribusi dan biaya listrik. Ironisnya, kondisi bangunan lapak malah rusak. Banyak atap bocor dan keramik pecah. Ini yang membuat pedagang keberatan. Di sisi lain, kondisi pasar yang sepi pengunjung, membuat omzet/pendapatan pedagang minim, bahkan ada yang merugi. ------- Laporan : Noviyanti Tri Informasi dari sejumlah pedagang, PD Pasar Surya mulai merenovasi Pasar Pucang pada pertangahan tahun 2017. Kendati tergolong bangunan baru, tapi pedagang sudah mengeluhkan adanya atap bocor. Saat hujan tiba, lapak mereka menjadi basah dan lorong pasar menjadi licin. Banyak pedagang di sini mengeluh soal bocor mbak, sudah lapor ke pengelola pasar tapi tidak pernah ada tanggapan. Sekarang hampir setiap hari hujan, jadi repot," ujar Lala, salah seorang pedagang Pasar Pucang saat ditemui Surabaya Pagi, Kamis (29/11/2018). Ia menambahkan tak semua stan/lapak pasar yang tersentuh revitalisasi. Namun bangunan baru maupun lama, menurut Lala, tak jauh beda. Kondisi bangunan sudah rusak. Karena itu, ia berharap bangunan yang rusak segera diperbaiki PD Pasar Surya. "Kalau revitalisasi kan berarti sudah ada anggaran yang disediakan. Tapi kenyataannya seperti asal bangun saja, biar bangunan pasart terlihat baru. Tapi gak tau deh mbak kalau uangnya dimakan (dikorupsi, red) sama yang tidak bertanggungjawab," lanjut Lala. Pantauan di lokasi, kondisi bangunan tengah pasar di lantai 1 belum tersentuh proyek revitalisasi. Atap banyak yang bocor, sehingga lapak-lapak di sana tergenang air hujan dan membuat lantai licin. Kondisi bangunan juga terlihat usang karena belum terlihat ada pengecatan ulang, setelah sekian puluh tahun pasar berdiri. Kebersihannya pun terlihat kurang, terlihat genangan air bercampur lumpur di mana-mana. Terlihat juga hanya beberapa pedagang yang membuka lapaknya. Seperti diungkapkan Primayestri, yang telah puluhan tahun berdagang di Pasar Pucang. Ia mengaku kecewa dengan pengelola pasar lantaran tingginya biaya retribusi bulanan. "Setelah revitalisasi itu naik mbak tarifnya, dari Rp 225 ribu menjadi Rp 285 ribu untuk ukuran stan 2 x 4 meter," ungkapnya. Primayestri menambahkan seringkali ada permasalahan pada pembayaran biaya kontribusi bulanan, karena pengelola pasar yang tidak mengakui pembayaran pedagang. Akibatnya, pedagang harus membayar dobel. "Seringkali saya malas bayar iuran, karena pernah saya bayar 3 bulan yang diakui petugas cuman 2. Jadi harus bayar lagi. Apalagi di sini biaya bulanan dan listrik juga mahal, sampai-sampai lebih mahal dari biaya listrik rumah saya," papar dia. Ia mengaku tingginya biaya listrik tidak sebanding dengan pemakaian, karena ia hanya membuka stan/lapak siang pukul 12.00 hingga malam pukul 19.00. Namun biaya listik yang ditarik lebih dari Rp 100 ribu. "Pernah saya disuruh mengontrakan stand yang telah saya beli ini, karena masalah buka standnya siang. Saya sudah protes karena ini kan hak pedagang membuka lapak dari pagi atau siang. Intinya pengurus di sini selalu mencari masalah lah mbak. Karena itu pula banyak pedagang yang nutup tokonya," beber dia. Keluhan pedagang ini mengingatkan kasus sebelumnya, yakni ada beberapa unit pasar terkait penggelapan keuangan. Diantaranya, Pasar Kembang Rp 166.982.925, Pasar Wonokromo Rp 110.951.678, Pasar Kupang Rp 12 juta lebih dan Pasar Keputran Selatan Rp 10.836.198. Kasus yang mencuat tahun 2016 ini sudah ditangani aparat penegak hukum dan perkaranya sudah divonis pengadilan. Iuran Mencekik Tak jauh berbeda dengan Hj.Patonah, pedagang lainnya. Wanita ini mengeluhkan kondisi bangunan pasar yang rusak, padahal belum lama direvitalisasi. "Repot mbak jadinya kalau musim hujan gini, apalagi dagangan saya baju, tas, sepatu. Kalau kena air kan saya bisa rugi," keluhnya. Stand berukuran 2x3 itu, menurut Hj. Patonah, iuran bulanannya terlalu tinggi, yakni Rp 260 ribu per bulan. Sedangkan pengunjung Pasar Pucang semakin sepi. Ia berharap pengelola pasar dapat memperbaiki kondisi bangunan dan menyelesaikan revitalisasi, agar pasar dapat menarik pengunjung lebih banyak lagi. Pedagang di lantai 2 juga mengeluhkan hal sama. Asnadi, misalnya. Ia mengeluhkan soal pengelola pasar yang kurang bertanggung jawab dalam perbaikan kondisi Pasar Pucang. "Saya di sini ada 6 stand dengan masing-masing luasnya 1,5x 2,5 meter mbak. Tiap bulan saya bayar iuran Rp 1 juta, namun tidak pernah ada perbaikan meski tiap kali hujan selalu bocor. Akhirnya saya memperbaiki dengan biaya sendiri," ungkapnya. Bangunan Pasar Pucang di lantai 2 cukup mengenaskan. Banyak toko yang telah tutup, bahkan dijual atau dikontrakan. Kondisi atap usang dan tembok tidak terawatt, membuat pasar terlihat tidak menarik pengunjung. Sedang di sudut pasar banyak terlihat barang yang sudah tidak terpakai menumpuk. Hanya terlihat 15 pedagang yang membuka tokonya, namun pengunjung lantai 2 pasar omo hanya dapat dihitung dengan jari. "Di lantai 2 sini memang sepi, karena di bawah sekarang banyak yang beralih berjualan baju. Jadi lantai 2 yang kebanyakan jual baju jadi tidak tersentuh pembeli. Belum lagi banyak PKL (pedagang kaki lima) yang hanya membayar karcis pada petugas pasar menjadi saingan berat pedagang di lantai 2 sini," tambah Asnadi. Kurang Nyaman Ani, warga Mulyorejo yang sedang berbelanja di Pasar Pucang, mengamini keluhan para pedagang. Menurutnya, Pasar Pucang meski direvitalisasi, masih kalah dengan minimarket. "Saya sendiri jarang ke pasar tradisional mbak, karena takut kurang aman dan kadang kebersihannya kurang. Meski lebih murah dari pasar modern, tapi kalau lebih aman dan nyaman kan tetap memilih belanja di mini market atau swalayan," tutur dia. Sementara itu, Anas selaku Kepala UPT Pasar Pucang, yang akan dikonfirmasi tidak berada di ruang kerjanya. "Pak Anas lagi ada rapat di luar mbak," ucap Mislan, staf di sana. Respon PD Pasar Dikonfirmasi terpisah, Direktur Teknik dan Usaha PD Pasar Surya, Zandi Ferryansa Hadi, menyangkal tarif sewa dan iuran stan terlalu mahal seperti dikeluhkan pedagang. Menurutnya, biaya sewa menjadi naik itu wajar, karena bangunan baru. "Memang ada kenaikan, namun menurut saya itu masih dalam ambang batas wajar, karna sudah sesuai dengan IRT (interest rate parity). Jadi dari PD Pasar Surya juga tidak ada maksud untuk mengambil keuntungan dari kenaikan iuran sewa," terang Zandi ditemui di kantor PD Pasar Surya di kawasan Manyar Kertoarjo, Surabaya, Kamis (29/11/2018). Mengenai pedagang yang belum mau menempati stand baru, menurut Zandi, itu hanya tinggal beberapa pedagang. Pihaknya akan terus melakukan sosialisasi agar mereka bersedia menempati lapak baru tersebut. "Susah memang menertibkan pedagang yang berjualan di luar pasar seperti di Pasar Keputran Utara," ujarnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU