Jaksa Agung Tertibkan Jaksa Nakal, di Trenggalek Diduga ada Jaksa “Nakal”

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 10 Des 2019 08:42 WIB

Jaksa Agung Tertibkan Jaksa Nakal, di Trenggalek Diduga ada Jaksa “Nakal”

Surat Terbuka untuk Jaksa Agung, Kajati Jatim dan Komisi Kejaksaan (1) Surat terbuka ini tidak bersampul, karena dimuat di harian Surabaya Pagi. Artinya, meski surat terbuka ditujukan kepada Jaksa Agung dan Kajati Jatim, semua anggota masyarakat bisa membaca. Isi surat ini respon pernyataan Jaksa Agung ST Burhanudin yang akan menindak jaksa-jaksa nakal, bahkan membinasakan. Nah, sebagai jurnalis, saya jurnalis yang juga anggota masyarakat ingin berpartisipasi bidang penegakan hukum. Saya ingin melaporkan jaksa nakal secara realita dan nakal dalam tanda kutip. Laporan saya ini merupakan reportase yang saya alami, ketahui dan lihat sendiri yaitu saat saya dibidik oleh Kajari Trenggalek, Lulus Mustafa, dengan sangkaan melakukan tindak pidana korupsi pada kongsi bisnis pengelolaan usaha percetakan PT Bangkit Grafika Sejahtera di Trenggalek. Sangkaan ini, karena kongsi saya adalah Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Kabupaten Trenggalek. Sebagai anggota masyarakat, saya ingin ambil peran terutama keterlibatannya sebagai saksi. Maklum, kadang jauh dari Jakarta dan Surabaya, kejadian-kejadian hukum di daerah misal, di Trenggalek, tidak diketahui secara obyektif. Surat terbuka ini saya berharap bisa berkomunikasi dengan Jaksa Agung, Kajati dan Komisi Kejaksaan serta pemangku negeri ini yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum yang jujur dan adil. Pendeknya, surat tanpa sampul ini berharap bagian dari turut sertanya anggota masyarakat mengawasi adanya oknum penegak hukum yang berlaku menyimpang. Jadi saya bukan menyoal institusi Kejaksaan yang menurut saya terus dibangun integritasnya. Berikut tulisan saya yang pertama. Pak ST Burhanuddin dan Pak M Dhofir Yth, Hari Senin (9/12/2019) kemarin, Anda Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin, bertekad menyingkirkan jaksa-jaksa nakal. Selain akan melakukan pembinaan kepada jaksa-jaksa nakal. "Jaksa nakal kita biarkan, tidak bisa. Kita akan sikat terus kalau yang nakal. Ya tentunya dibina," kata di Badiklat Kejaksaan Agung, Jalan Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan. Sebagai jurnalis yang pernah meliput kegiatan hukum Kejaksaan sejak tahun 1977 sampai 1998, saya berkenalan dengan beberapa Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim, termasuk beberapa Jaksa Agung seperti Ali Said, Ismail Saleh, Hari Soeharto, Soekarton, suami dari wartawati Jakarta. Baru Anda Jaksa Agung yang menyinggung soal istilah jaksa nakal. Sebelumnya, saya tidak pernah mendengar dan membaca, seorang Jaksa Agung bicara secara terbuka tentang program mengatasi jaksa nakal. Saya berpikir, benarkah sekarang ini di era keterbukaan jumlah jaksa nakal dan nakal masih banyak atau ada? Salah satu yang saya baca program Anda urusan jaksa nakal adalah akan mengadakan lelang untuk jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di seluruh Indonesia. Anda ingin mencari pimpinan yang berkualitas. Termasuk.menyingkirkan jaksa-jaksa nakal. Pak ST Burhanuddin dan Pak M Dhofir Yth, Pernyataan Anda dalam kedudukan Jaksa Agung baru ini sangat positif. Bisa jadi Anda, sebelum mengeluarkan pernyataan membanggakan bagi penegakan hukum di Kejaksaan menyerap peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa yang sudah kita kenal sejak di bangku esde. kini kembali menjadi populer ketika Anda satu bulan usai dilantik Presiden Jokowi memberi isyarat institusi Kejaksaan tak ingin dinodai oleh jaksa-jaksa nakal seperti. perbahasa panas setahun dihapus hujan sehari. Saya paham bahwa peribahasa ini mengandung arti apabila anak manusia melakukan kesalahan sedikit saja, bisa menghapus kebaikan yang pernah dibuat seumur hidupnya. Ini ibaratnya menebar titik noda (lambang dosa) ke dalam ke sebelanga susu (lambang kebaikan). Saya ingin melaporkan dari fakta persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, I Wayan Sosiawan SH.MH,. Dalam sidang, tidak hanya saya dan tim penasihat hukum saya, pengunjung sidang bahkan Majelis hakim kesal mendengar kesaksian saksi-saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Trenggalek. Mereka tidak tahu menahu permasalahan yang didakwakan Jaksa seperti dalam surat dakwaan. Bahkan saksi tidak pernah diperlihatkan alat bukti surat perjanjian kerjasama pengelolaan usaha percetakan antara PT Surabaya Sore dan PDAU Kabupaten Trenggalek. Termasuk Akte pendirian usaha percetakan kongsi dua badan hukum itu yaitu PT Bangkit Grafika Sejahtera (PT GBS). Semula tim penasihat hukum yang mengorek tentang alat bukti surat perjanjian kerjasama dan akte pendirian. Alat bukti ini ditanyakan ke saksi-saksi apakah pernah diperlihatkan oleh jaksa, ketika pemeriksaan tingkat penyidikan. Pertanyaan dari tim penasihat hukum ini kemudian direspon oleh majelis hakim, yang semula geleng-geleng kepala mendengar jawaban para saksi. Sebaliknya, JPU yang terdiri tiga jaksa yaitu Hadi Sucipto, Dodi Novalita dan Fajar Nurhesdi, Tiga jaksa ini memiliki gelar akademik sampai S-2 ilmu hukum, MH. Ketiganya yang memakai toga hitam tidak membantah dan merespon, kecuali diam dan ada yang menunjukkan wajah, seperti malu. Padahal menurut pasal 9 ayat (1) jo ayat (2) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ada syarat-syarat untuk menjadi seorang jaksa, antara lain berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Saya merenung, dimana sikap jujur dan adil tiga jaksa ini? Pertanyaannya, apakah etika penyidikan ini inisiastif mereka sendiri atau diarahkan oleh atasannya, Kejari Trenggalek Lulus Mustafa? Pak ST Burhanuddin dan Pak M Dhofir Yth, Sekiranya sejak awal jaksa penyidik dari Kejari Trenggalek ini mengemban kewibawaan, jujur dan adil, mereka tidak akan kesulitan untuk menunjukkan kepada para saksi tentang surat perjanjian kerjasama pengelolaan usaha percetakan dan akte pendirian PT Bangkit Grafika Sejahtera kepada para saksi. Mengingat, ketiga penyidik ini mengantongi surat perjanjian kerjasama pengelolaan percetakan beserta akte pendirian PT BGS. Apakah surat perjanjian kerjasama ini sengaja disembunyikan? Ataukah dengan tidak menunjukkan surat perjanjian kerjasama ini ingin menampilkan sifat licik, agar tidak ketahuan bahwa dalam kongsi ini ada aturan tentang cara menyelesesaikan perselisihan, selain aturan mengenai modal kerjasama dan bentuknya. Dengan ditemukan dalam sidang terbuka seperti Jumat siang itu (6/12/2019), sepulang sidang, saya berpikir, apakah ketiga jaksa ini lupa syarat menjadi jaksa yang salah satunya berwibawa, jujur dan adil?. Apakah dengan tidak jujur menunjukan payung hukum kongsi dua badan hukum, mereka merasa makin berwibawa dan bertindak adil? Pertanyaan besarnya, apakah ketiga jaksa ini tidak sadar bahwa untuk mendorong terciptanya keadilan hukum bagi masyarakat adalah dengan mengkampanyekan keutamaan kejujuran (honest virtues)?. Saya bertanya, apakah mereka tidak yakin bahwa watak jujur di kalangan penegak hukum perlu dikenalkan, dikembangbiakan dan dijadikankarakter personalnya? Paling tidak bagi tiga penyidik ini. Apakah ketiganya tidak yakin kejujuran secara personal bagi penegak hukum dapat memberikan pengaruh pada watak jujur dari lembaga penegak hukum. Saya sejak kecil diajarkan oleh orangtua dan guru filsafat hukum saya bahwa berkata dan bertindak jujur harus menjadi olah keseharian dalam pengemban hukum. Dengan praktik tidak menunjukan surat perjanjian kerjasama pengelolaan usaha percetakan pada saksi (bahkan saya pun juga tidak pernah diperlihatkan fosik perjanjian. ini akan saya kupas pada surat terbuka berikutnya), apakah ini bukti bahwa kejujuran masih menjadi barang berharga dan langka dalam kehidupan keseharian penegakan hukum di Indonesia. Apakah ini terpengaruh oleh budaya hukum bahwa manusia Indonesia kebanyakan sudah lama dibentuk untuk menjadi manusia yang bertopeng dengan wajah kemunafikan yang ditampilkan. Sehingga berkata dan bertindak jujur menjadi kesulitan.? Para pendiri republik ini sejak awal berharap penegakan hukum harus dilakukan dengan kejujuran. Founding father juga meminta hukum harus ditegakkan dengan kejujuran. Terutama dari para pengembannya. Artinya, hukum harus tampil apa adanya, tanpa rekayasa, tanpa keinginan untuk memperoleh keuntunga dari proses penegakan hukum. Bahkan pengiat anti korupsi Indonesia sering meminta hukum harus mengutamakan kejujuran. Sifat ini akan menjadi bagian dari pemberantasan korupsi yang bersifat preemptif. Artinya, kedalaman praktek kejujuran dalam menegakkan hukum akan mampu mencegah praktek korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Pertanyaannya, apakah jaksa penyidik yang tidak mau jujur menunjukkan dan surat perjanjian kerjasama kepada para saksi ini layak dinamakan jaksa nakal atau licik. Walahualam. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU