Jaksa Penuntut Kutip Peraturan yang Kedaluwarsa dan Salah Sasaran. Kok bisa

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 21 Mar 2020 00:53 WIB

Jaksa Penuntut Kutip Peraturan yang Kedaluwarsa dan Salah Sasaran. Kok bisa

SURABAYAPAGI.COM- Pak Jaksa Agung dan Kajati Jatim Yth., Bagi terdakwa, Surat Dakwaan dianggap sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Saya memaknainya dakwaan JPU terhadap saya adalah sebuah akte dari Kejari Trenggalek, berisi rumusan yang dibuat JPU Hadi Sucipto dan kesimpulan hasil penyidikan yang juga dibuat Jaksa Hadi Sucipto. Bahkan rekuisitur juga ditandatangani jaksa Hadi Sucipto. Beberapa teman jaksa di Kejati Jatim yang saya kenal menyebut surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas. Asas ini memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana. Saya diberitahu bahwa aturan surat Dakwaan ada syarat yaitu formal dan materiil. Diantara dua syarat itu yang sering disorot adalah syarat materiilnya. Maklum, syarat materiil harus disertai uraian secara cermat, jelas dan lengkap. Terutama mengenai tindak pidana yang didakwakan. Tujuannya penuntut umum harus bersikap cermat atau teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak terjadi kekurangan dan atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan. Nah, ini yang dalam sidang perkara saya terungkap ada satu peraturan perundang-undangan yang sudah kedaluwarsa. Disamping ada tiga peraturan perundang-undangan yang salah sasaran dibidikan kepada saya. Dapat saya laporkan peraturan perundang-undangan yang sudah kedaluwarsa atau sudah dicabut tapi masih digunakan oleh Jaksa Hadi Sucipto dalam penyusunan surat dakwaan yaitu Peraturan Nomor 4 Tahun 1990 tentang Tata Cara Kerjasama antara Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga (Ditulis oleh Jaksa Hadi di halaman 7 dan 21 dalam Surat Dakwaan) . Pedahal peraturan ini telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Kerjasama Antara Perusahaan Daerah Dengan Pihak Ketiga. Kemudian ada tiga Peraturan perundang-undangan yang salah sasaran. Pertama, Perarturan Menteri Dalam negeri Nomor dan Otonomi Daerahtu Nomor 43 Tahun 2000 tentang Tata Cara Kerjasama antara Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga. (Dicatat dalam Surat Dakwaan halaman 10 dan halaman 24), Peraturan ini dalam sidang dinyatakan sendiri oleh saksi ahli dariBPKP Jatim,tidak mengikat bagi saya Dirut PT Surabaya Sore (swasta) yang melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Sdr. Gathot Purwanto Dirut PDAU Tenggalek. Peraturan ini mengikat hanya kepada Gathot dan eks Bupati Trenggalek. Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk teknis Tata Kerjasama Daerah. Peraturan ini dinyatakan oleh saksi dari BPKP juga tidak Mengikat bagi saya sebagai Dirut PT Surabaya Sore (swasta) yaitu pihak melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Sdr. Gathot Purwanto Dirut PDAU Tenggalek. Ketiga, Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 4 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal untuk PDAU juga Tidak Mengikat bagi saya Tatang Istiawan. Ironisnya, koreksi ini disampaikan oleh saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum sendiri yaitu saksi ahli dari BPKP Jatim. Ada apa kok bisa seperti ini? Apa karena ilmu JPU yang tidak pernah diupdate? Atau karena ada maksud memaksakan kehendak menjerat saya dengan kutipan peraturan tak relevan dengan kepentingan swasta? Anda berdua yang memiliki kewenangan memeriksa Kajari Trenggalek Lulus Mustofa dan jaksa penyidik Hadi Sutjipto serta Jaksa Penuntut Umum perkara saya, Hadi Sutjipto. Jaksa Agung dan Kajati Jatim Yth, Menurut seorang Jaksa senior di Kejagung yang saya kenal, maksud uraian dalam surat dakwaan harus jelas adalah agar penuntut umum mampu merumuskan unsur-unsur delik yang dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan uraian unsur-unsur delik ini, bisa diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut sebagai Pelaku (dader/pleger), pelaku peserta (mede dader/pleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu (medeplichting) yaitu melanggar pasal 2 UU Tipikor atau pasal 3 UU Tipikor. Ternyata Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan, pasal 2 dan pasal 3 tidak terbukti saya lakukan. Terutama unsur melawan hukum dan merugikan keuangan Negara. Mengingat, dana pembelian mesin diperoleh dari PT Bangkit Grafika Sejahtera, yang merupakan dana yang dipisahkan dari penyertaan modal PDAU Kabupaten Trenggalek. Sebelum vonis dari Majelis hakim, seorang teman Jaksa dari Kejati Jatim menjelaskan ke saya bahwa penuntut biasanya, sebelum melimpahkan berkas ke Pengadilan membuat matriks tindak pidana yang didakwakan. Kepentingan Matriks dipakai sebagai sarana untuk mempermudah dalam pembuatan Surat Dakwaan.Kebiasaannya, Matriks disusun sesuai dengan isi dan maksud pasal 143 KUHAP, karena Surat Dakwaan terancam batal apabila tidak memenuhi pasal 143 ayat (2) a dan b KUHAP. Uraian Matriks, antara lain memuat Unsur delik yang disusun sesuai dengan bunyi undang-undangnya. Unsur delik ditulis dengan terperinci dari satu tindak pidana dan tidak boleh lebih dari satu pun ketinggalan. Ternyata Jaksa Hadi Sucipto, dalam surat dakwaan mengutip tiga peraturan perundang-undangan yang tak relevan dengan saya. Makanya dianulir oleh ahli dari BPKP Jatim. Dan satu peraturan dibuktikan telah dicabut dengan peraturan lain. Jaksa penuntut umum Hadi Sucipto juga sampai mengutip keterangan sepihak soal ancaman telepon ke eks Bupati Trenggalek, soal foto bupati menggendong anak bersama istri mudanya. Nyatanya dalam sidang kutipan ini juga tidak bisa dibuktikan. Pertanyaannya ada apa jaksa pembuat surat dakwaan terhadap saya tidak menggunakan logika hukum ataulegal reasoning. Secara akal sehat, logika hukum berfungsi untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, Jaksa Agung dan Kajati Jatim Yth, Saya pernah diberi tahu oleh Jaksa Agung sebelum Anda yaitu Pak Prasetyo, bahwa setiap penegak hukum harus memiliki integritas termasuk jaksa. Integritas penegak hukum ditentukan oleh dua aspek yaitu profesionalisme dan moral. Beliau mengatakan seorang jaksa tak cukup hanya memiliki integritas profesional apabila penegak hukum tak bermoral. Begitu pun sebaliknya. Yang paling ideal, katanya, seorang penegak hukum harus memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas moral. Tapi, banyak penegak hukum belum memiliki integritas yang ideal seperti itu.Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sehingga para penegak hukum juga sering melanggar Hukum? Pertanyaan seperti ini sering kita dengar. Tapi, sebetulnya ada sebuah ungkapan dari ahli hukum Amerika yang mengatakan:berikan kepada kami hakim, jaksa, pengacara, dan polisi yang baik; dengan perangkat hukum yang buruk pun, putusannya diharapkan akan bisa baik dan adil. Tapi, meskipun hukumnya baik, kalau mereka yang menjalankannya itu tidak baik, itu yang celaka. Pada dasarnya mereka memiliki integritas, tapi integritasnya itu sering sekali tergoda oleh berbagai macam godaan. Jadi, sebenarnya yang harus dikawal terus adalah integritas orang di dalam mengerjakan tugasnya masing-masing. Apalagi bila seorang penegak hukum tidak memiliki integritas keilmuan dan integritas moral, tindakannya cenderung mencelakakan orang lain. Padahal sebetulnya penegakan hukum itu tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang, melainkan menegakkan aturan dan sekaligus mendidik masyarakat untuk Berbudaya sadar dan taat hukum. Mengingat integritas penegak hukum harus lengkap terdiri integritas ilmu dan integritas moral. Pertanyaan besarnya, dimana integritas Jaksa yang membuat surat dakwaan mengutip peraturan perundang-undangan yang sudah dicabut dan mencuplik peraturan perundang-undangan untuk penyelenggara Negara atau ASN (Aparatur Sipil Negara), lalu dibidikan ke orang swasta. Apa ini bukan bagian dari Penegak hukum yang berniat (mens rea) mencelakan orang?. Masya Allah. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU