Home / Pilpres 2019 : Catatan Politik Pilpres 2019 Tentang Jokowi, Panca

Jokowi dan Pragmatisme Politik Partai Berbasis Agama Islam

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 11 Jun 2019 08:47 WIB

Jokowi dan Pragmatisme Politik Partai Berbasis Agama Islam

Menko Polhukam Wiranto mengimbau agar tidak ada pengerahan massa ke gedung Mahkamah Konstitusi yang akan dimulai Jumat (14/06). Sebelumnya ada pengerahan masa pada tangal 21-22 Mei yang menyebabkan sedikitnya enam orang tewas dan puluhan luka serta 200 orang ditangkap Polda Metro Jaya. Catatan saya, selama Pilpres 2019 berlangsung ada sekelompok warga yang menggunakan nama umat Islam yang mempersoalkan eksistesi Jokowi terkait komunis, kriminalisasi ulama sampai soal Pancasila. Saya ingin membuat catatan tentang Jokowi, Umat Islam dan Pancasila dari sentuhan Politik, Sosiologi, Geografi, Ekonomi dari aspek kesejarahan. Saya ingin menegaskan bahwa saya bukan muslim dari pondok dan lulusan timur tengah. Saya muslim yang tumbuh dari sebuah kampung di Surabaya yang kebetulan kakek, nenek dan orang tua sama-sama pengagum Bung Karno. Menurut Nugroho Notosusanto, metode penulisan sejarah harus melewati 4 langkah-langkah kegiatan yaitu : heuristik, kritik sumber, Interpretasi dan historiografi. Berikut catatan politik saya yang pertama. Dr. H. Tatang Istiawan Wartawan Surabaya Pagi Diakui atau tidak oleh ulama dan umat Islam di Indonesia, Presiden Jokowi, telah masuk dalam situs themuslim500.com. Mantan Gubernur DKI ini dianggap sebagai salah satu dari 50 tokoh Islam berpengaruh di dunia pada 2018. Suami Iriana ini menduduki peringkat 16. Menurut situs CNNIndonesia.com, Sabtu (20/10/2018), Jokowi dianggap lebih berpengaruh dari ulama kenamaan Arab Saudi, Sheikh Abdul-Aziz ibn Abdullah Aal Al-Sheikh yang menempati posisi ke-17. Dan di atas Jokowi ditempati oleh Putera Mahkota Abu Dhabi sekaligus Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab, Jenderal Sheikh Mohammed bin Zayed Al-Nahyan. Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, KH. Said Aqil Siradj, berada pada peringkat 22. Lalu Habib Luthfi bin Yahya yang berada pada posisi 41. Situs ini menyatakan Jokowi dianggap sebagai pemimpin yang populer, walau tidak didukung oleh sekelompok ulama dalam negeri. Dia juga dianggap sebagai pemimpin sipil pertama karena bukan berasal dari kalangan tentara. Tapi mengapa ada tokoh Islam yang menyebut umat islam selalu di zolimi. Ada apa? Apakah tokoh Islam ini mewakili semua umat Islam atau kepentingan politik yang iri pada kepesatan karir Jokowi, yang bukan pimpinan partai politik bisa jadi presiden di negara yang 85% warganegaranya pemeluk agama islam? Catatan sejarah yang saya miliki, baru di era Jokowi, perasaan terzolimi cukup kencang. Padahal era Soeharto, umat Islam lebih terzolimi. Saat Orde Baru, sejumlah ulama dan tokoh islam di cekal. Bahkan bicara dalam dakwah, besoknya dipanggil, diinterogasi dan bisa ditangkap. Saat Soeharto berkuasa, hanya ada satu Partai beraliran islam yaitu PPP. Justru di era Jokowi orang bebas demo dan menghujat presiden. Malahan posisi ulama ditempatkan secara terhormat. Misal, dua petinggi NU dan Muhammadiah ditempatkan sebagai wantimpres dan ketua penasehat idiologi. Bahkan sekarang Cawapres nya adalah tokoh NU dan ketua MUI, KH Maruf Amien. Fenomena apa? Sejumlah ulama berpolitik atau elite politik memberdaya sebagian ulama agar mau menggunakan pengaruh umat Islam untuk menjadi atau dijadikan pressure group? Sejauh yang saya simak di masyarakat, ulama identik dengan dunia dakwah dan tarbiyah. Ulama diakui suka memberikan mauidhah kepada umat dan mengawal moral masyarakat. Oleh karenanya, sebagian orang menilai ulama tak sepatutnya terjun ke dunia politik praktis. Maklum, diantara ulama yang saya kenal. politik identik dengan ketidaksucian. Padahal, sebagai pewaris Nabi, ulama semestinya mampu menjalankan tugas apa pun. Termasuk terjun ke dunia politik praktis semata-mata demi menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bagi rakyat demi mendapatkan keridhaan Allah Taala. *** Jokowi, bernasib tak sama dengan SBY. Terutama dalam sorotan warga yang mengklaim umat Islam. Berbeda dengan SBY yang merupakan presiden alumni Orba era Soeharto. Era SBY menjadi Presiden, nyaris tak ada demo berjilid jilid menggunakan simbol agama. Bahkan tak ada aksi ganti presiden oleh kelompok orang yang menggunakan umat Islam sebagai tameng. Juga tak ada fitnah yang begitu massive seperti era Jokowi, selama ini. Padahal ketika SBY, berkuasa, Habib riziq dijebloskan kedalam Penjara, Abu Bakar Bashir di penjara. Juga tokoh PKS, Lutfi Hasan Ishaaq. Sementara era Jokowi, Habib Rizieq yang berkali-kali demo di Jakarta, bisa pergi dan menetqp diluar negeri. Padahal ia tersangkut banyak kasus. Penzholiman model apa? Dalam proses pemilihan presiden tahun 2019 ini, ada fenomena yang agak berbeda dari sebelumnya. Kelompok ulama mainstream maupun non-mainstream saya catat ada yang turut aktif dalam proses pemilihan capres dan cawapres. Ada apa? Apa disebabkan pernah ada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama? walahualam, Disadari atau tidak, secara dialektis sesungguhnya Ahok telah melambungkan nama dan posisi beberapa tokoh Islam yang kemudian punya peran dan posisi politik yang signifikan dalam panggung politik Indonesia. Kemunculan Riziq Shihab dan beberapa nama lain yang tampil dan menjadi aktor gerakan massa dalam Pilpres 2019 ini, menurut akal sehat saya, tak bisa dipisahkan dari kasus Ahok yang menciptakan panggungmeskipun tanpa disengaja. Maka itu, pilihan Jokowi pada Maruf Amin sebagai cawapres yang memiliki posisi sentral di MUI dan NU, tak bisa dilepaskan dari pertimbangan akan kapasitasnya sebagai ulama yang didukung secara emosional di kalangan warga NU. Sementara itu, kubu Prabowo juga memperoleh dukungan militan dari mereka yang menyebut dirinya komunitas Ijtima Ulama. *** Dalam kesejarahannya, kejadian pilpres 2019 yang dialami oleh Jokowi kali ini bertolak belakang Dengan pillkada 2010 di Surakarta. Saat itu Joko Widodo, berpasangan FX Hadi Rudyatmo yang non muslim. Ternyata, Jokowi-FX Rudyatmo diusung oleh PDI Perjuangan yang mendapat dukungan penuh dari PKS, Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Damai Sejahtera. "Itu juga kita pertimbangkan. Kita kan koalisi dengan Jokowi di Solo, wakilnya kan juga kristen. Isu SARA dalam hal ini nggak relevan lagi," kata Sekjen PKS Anis Matta kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/7/2012). Kala itu Hidayat Nurwahid, bahkan menjadi juru kampanye Jokowi. Jokowi pun sukses terpilih menjadi walikota Solo. Namun untuk putaran kedua Pilgub DKI, PKS tidak mendukung Jokowi. Kabarnya hasil riset, PKS tidak lagi mendukung Jokowi. Tapi Foke, petahana Gubernur DKI. Benarkahj inji sebuah pragmatisme politik dari partai berbasis Islam, sekelas PKS? Pragmatisme politik menurut Kamus Politik sikap dari politisi yang bersifat pragmatis yaitu menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Pragmatisme politik menganggap bahwa berpolitik merupakan cara mudah untuk meraih status sosial terhormat, kedudukan dan jabatan tinggi serta kemampuan ekonomi. Secara teoritis, politik bukan sebagai idealisme untuk memperjuangkan kepen-tingan masyarakat. Dalam ilmu politik, berpolitik bisa sebagai mata pencaharian bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai dan aspirasi rakyat. Contoh nyata sikap PKS dalam Pilkada di Surakarta, Pilkada Guberkir DKI dan Pilpres 2014 dan 2019. Hanya di Pilkada Surakarta, PKS, partai yang berbasis agama Islam, mensuport Jokowi. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU