Home / Pilpres 2019 : Soal Hadiah Rp 200 Juta untuk Pelapor Korupsi

Jokowi Dinilai Pencitraan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 11 Okt 2018 09:08 WIB

Jokowi Dinilai Pencitraan

SURABAYAPAGI.com, Surabaya Gebrakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan memberikan hadiah Rp 200 juta kepada masyarakat yang melaporkan kasus korupsi, dinilai sebagai upaya pencitraan menjelang Pilpres 2019. Dengan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 itu, Jokowi dicitrakan sebagai capres petahana yang serius memberantas korupsi. Apalagi, kasus korupsi makin merajalela hingga ke daerah-daerah. Di sisi lain, kebijakan Jokowi ini bisa memudahkan aparat penegak hukum menyeret pelaku korupsi. Demikian diungkapkan Pengamat politik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Agus Mahfud Fauzi. dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Aribowo, dosen Fisip Unair Ucu Martanto serta dua advokat senior Surabaya, Budi Sampurno dan Sumarso. Dengan adanya PP No 43 tahun 2018 yang dibuat Presiden Jokowi, bisa saja diartikan sebagai pencitraan petahana pada Pilpres 2019. Meskipun sebenarnya kebijakan itu sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi, papar Agus Mahfud Fauzi dihubungi Surabaya Pagi, Rabu (10/10/2018). Aribowo menambahkan pencitraanmenjelang Pilpres itu sudah menjadi rahasia umum. Menurutnya, itu menjadi kelebihan petahana (Jokowi) dibanding dengan lawannya (Prabowo). Petahana bisa mendistribusikan dana-dana pemerintah untuk kepentingan (politik). Sebenarnya itu bisa direspon masyarakat, termasuk Amin Rais yang akhor-akhir menjadi sorotan, katanya. Menurutnya, proses hukum berkaitan dengan politik, itu wajar di alam demokrasi. Karena peristiwa hukum yang dasarnya dari politik, begitupun sebaliknya. Ia mencontohkan kasus Amin Rais yang diperiksa terkait kasus hoax Ratna Sarumpaet. Di sisi lain, Amin Rais akan membongkar kasus karupsi di KPK yang mengendap. Ucu Martanto, pengamat politik dari Unair, tak menampik jika Jokowi menggunakan PP 43 2018 sebagai alat pencitraan yang nantinya berdampak electoral pada Pilpres 2019. Iya sulit untuk dipungkiri jika PP itu juga memiliki tujuan untuk membangun citra positif bagi pemerintahan Jokowi, ucapnya singkat. Sementara itu, advokat Sumarso punya pandangan lain. Ia merasa aneh dengan dikeluarkannya PP 43 tahun 2018. Pasalnya itu akan menjadi masalah baru dengan banyak orang yang nantinya berlomba-lomba untuk melaporkan korupsi untuk mencari hadiah. Kriteria laporan yang diterima itu yang bagaimana, saya belum melihat. Apakah ada keterbukaan? Sebab ini beda dengan kasus pidana umum, ungkap Sumarso. Ia mencontohkan proyek yang didanai APBD di daerah-daerah. Dari pengalaman yang dialami kliennya yang sempat ingin menggarap proyek pemerintah, namun diharuskan membayarkan fee terlebih dahulu ke pejabat. Apa seperti ini yang bisa dilaporkan? cetus dia. Hal senada disampaikan Budi Sampurno. Menurutnya, keputusan Jokowi mengeluarkan PP 43 2018 dirasa kurang relevan. Dia mempertanyakan kriteria hadiah Rp 200 juta itu seperti apa. Apakah laporan yang sudah memenuhi dua alat bukti yang artinya KPK atau Kejaksaan tidak perlu lagi melakukan penyelidikan lagi?. Kalau masih melakukan penyelidikan lagi, itu butuh biaya lagi. Saya kira 200 juta ini untuk laporan yang sudah matang. Paling tidak 200 juta itu untuk melenyapkan anggaran penyelidikan, duga Budi. Substansi PP Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menandatangani PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut diatur pemberian penghargaan dalam 2 bentuk bagi pelapor korupsi, yakni piagam dan premi. Penghargaan itu diberikan bagi pelapor yang laporannya telah dinilai tingkat kebenarannya oleh penegak hukum. Penilaian tingkat kebenaran laporan itu dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kasus itu. Jumlah penghargaan atau hadiah dalam bentuk premi diatur dalam pasal 17 PP tersebut. Untuk penghargaan bagi kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara, pelapor bisa mendapat premi sebesar 2 permil dari total jumlah kerugian yang bisa dikembalikan kepada negara. Maksimal premi yang diberikan Rp 200 juta. Sementara itu, dalam kasus suap, premi juga bisa diberikan kepada pelapor kasus suap. Besarannya 2 permil dari jumlah suap atau hasil rampasan dengan nilai maksimal Rp 10 juta. Aturan ini menggantikan PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut juga diatur soal penghargaan dalam bentuk piagam dan premi sebesar 2 permil dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Bedanya, dalam PP itu tak diatur soal premi untuk pelapor kasus suap. PP lama juga tak mengatur batas maksimal nilai uang sebagai premi yang diberikan kepada pelapor. Sumber Dana Sementara itu, Presiden Joko Widodo menekan PP 43/2018 sebagau upaya meningkatkan partisipasi masyarakat memerangi tindak pidana korupsi. "Memang kita ini menginginkan adanya partisipasi dari masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan mengurangi, bahkan menghilangkan yang namanya korupsi. Saya kira itu," ujar Presiden Jokowi saat dijumpai di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu (10/10/2018). Saat ditanya sumber anggaran untuk hadiah pengungkap korupsi itu, Jokowi tidak menjawab. Jokowi meminta wartawan untuk menanyakan lebih jauh ke Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Kami ingin memberikan penghargaan, apresiasi kepada masyarakat melaporkan tindak kejahatan luar biasa itu," ujar Jokowi. Bagi para pelapor korupsi, keamanannya akan dijamin. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki bukti tidak ragu untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi. "Nanti mekanismenya saya kira akan diatur kementerian atau nanti setelah ditindaklanjuti," kata dia. Hadiah Kurang Besar Ketua KPK, Agus Raharjo, juga angkat bicara. Ia mengatakan nominal Rp 200 juta yang diberikan sepertinya masih kurang besar. Sebab angka dua per mil sama dengan aturan sebelumnya di PP Nomor 71 tahun 2000. Karena itu, dalam rapat dengan pemerintah sebelum PP itu terbit, pihaknya mengusulkan besaran hadiah untuk pelapor korupsi 1 persen dari nilai kerugian negara. "Usulannya KPK yang di dalam rapat tidak diterima ya itu lebih besar dari itu. Satu persen paling tidak karena dengan satu persen itu lebih menarik," ujarnya di Jakarta, Rabu (10/10/2018). Menurutnya,dengan hadiah yang jauh lebih besar, akan menarik banyak pihak untuk melaporkan kasus-kasus korupsi. Sehingga, akan semakin banyak kasus korupsi yang terungkap ke publik. "Kalau hadiahnya satu persen (dari nilai kerugian) kan menarik," imbuhnya. Ia menambahkan, PP yang lebih lama justru lebih menarik bagi masyarakat untuk melapor karena tidak ada batas maksimal hadiah. Namun ternyata usulan hadiah yang lebih besar itu ditolak pemerintah karena kekhawatiran dana yang akan dikeluarkan terlalu besar. Padahal lanjut Agus, hadiah untuk pelapor korupsi itu sudah termasuk dalam potongan kerugian negara setelah amar putusan berstatus hukum tetap (inkrah). "Sebetulnya pemerintah juga gak perlu repot mengalokasikan khusus karena nanti akan dipotong langsung setelah amar putusan pengadilan, ya dikembalikan langsung dipotong," jelasnya. Untuk itu, KPK akan berkomunikasi dengan Presiden Jokowi untuk membuka kemungkinan PP No 43 Tahun 2018 direvisi kembali. "Kami akan mencoba mengkomunikasikan dengan presiden apakah mungkin itu dilakukan perubahan," kata Agus. n qin/jk/an

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU