Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Jokowi Disuruh Belajar dari Prabowo, Maukah....

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 25 Nov 2018 18:24 WIB

Jokowi Disuruh Belajar dari Prabowo, Maukah....

Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Saat saya masih sekolah dasar tahun 1965, guru bahasa saya mengajarkan orang hidup di dunia ini tidak sendirian. Setiap orang yang merasa mahluk sosial mesti hidup bersosial. Maklum, orang hidup di masyarakat mesti bertetangga. Artinya, orang hidup selalu dalam suatu kelompok dan komunitas . Kadang dalam kelompok beragam, berbeda suku, agama, ras, dan lainnya. Dan Allah juga telah menciptakan Anda berdua yang maju dalam pilpres 2019 juga memiliki berbagai perbedaan satu sama lain. Tujuannya, selain bersaing memperebutkan kekuasaan mengelola negara dan keragamannya juga agar bisa saling belajar, saling menghargai satu sama lain, dan saling rukun serta harmonis di antara sesama. Pertanyaannya Apakah Anda petahana Jokowi mau belajar dari pengalaman yang dilakukan Anda Prabowo, sebagai pelawan dan sebaliknya. Kini, pertengahan Novemer 2018 ini, Anda petahana merasa ingin tabok oknum yang menyerang Anda dengan isu hoax (kabar bohong). Tak disangka, pasca keinginan Anda menabok, ditanggapi lain oleh jubir BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade. Andre malah meminta Anda Jokowi belajar dari Capres Prabowo. Andre menyebut, pelawan Prabowo, selalu santai saat diserang isu hoax. "Saran kami, Pak Jokowi belajar lah dari Pak Prabowo, bagaimana Pak Prabowo menghadapi serangan hoax dengan tenang dan santai," ujar Andre kepada wartawan, Jumat (23/11/2018). Andre menilai, pernyataan Jokowi ingin menabok penebar isu, bisa menimbulkan kegaduhan baru di publik. Saran Andre, Anda Jokowi dalam kapasitas petahaha, menanggapinya dengan santai. Terutama saat diserang isu hoax. Apalagi Anda Capres Jokowi, pernah mengimbau pada tahun politik saat ini, kampanyenya dilakukan dengan riang dan gembira. Nyatanya, dimata timses Prabowo-Sandi, Anda Capres Jokowi, dituding malah membuat kegaduhan dengan diksi seperti sontoloyo, genderuwo dan terbaru, tabok (atau tampar- memukul bagian wajah seseorang dengan tangan). Timses Prabowo menilai diksi-diksi yang Anda Capres Jokowi, dianggap tak produktif. Pernyataan tabok ini Anda sampaikan saat pidato dalam acara pembagian sertifikat lahan kepada 1.300 warga di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, Jumat (23/11/2018). Anda merasa gerah diserang isu hoax, terutama soal tuduhan sebagai aktivis PKI. Anda heran masih ada orang yang mempercayai isu tersebut. Anda ingin menaboknya. Apakah pernyataan Anda ini sedang menunjukan rasa panik dan frustasi diserang berbagai isu yang menurut Anda tidak benar?. Hanya Anda Capres Jokowi yang merasakan. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Serangan-serangan dari kubu lawan politik, kalau saya jadi Anda Capres petahana, katakan meski panik dan frustrasi, tidak harus mereaksi dengan sinikal (sinis) apalagi memojokkan. Serangan hoax tetap saya waspadai, sekaligus untuk merenung diri, seberapa benar tudingan itu terhadap Anda?. Bisa saja kubu oposisi memang membuat serangan-serangan konyol. Harapannya, agar Anda yang kelahiran kota Solo, berubah menjadi petahana yang kalap. Biasanya orang kalap bisa menghalalkan segala cara. Dan ini Anda lakukan kapan saja Anda mau. Dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi Mei 1998, sudah terbukti bahwa jurus membuat serangan dengan kata-kata, pernah gagal. Contoh, saat pemilihan presiden di tahun 2004. Pada saat menghadapi SBY, kubu Megawati juga pernah melontarkan jurus-jurus konyol antara lain dengan mengatai SBY sebagai seorang jenderal berjiwa kanak-kanak, Tidak gentleman, pengkhianat, dan sejenisnya. Hasilnya?, Anda yang saat itu masih menjadi Walikota Solo, pasti ingat, sebagian besar pemilih yang menggunakan hak pilihnya malah memilih orang yang dijuluki dengan julukan-julukan jelek oleh Megawati. Pelajaran ini (saya menyebut) memiliki arti apa? Artinya, rakyat memang bukan orang bodoh yang hanya terpaku dan percaya terhadap julukan-julukan jelek yang dikenakan kepada seorang capres. Rakyat saat 2004 sudah melihat apa yang terjadi di hadapannya, kemudian menilai sendiri, dan menentukan pilihannya sendiri. Tidak perduli, kalau pun seandainya waktu itu Megawati mengatakan SBY sebagai raja setan atau apa. Apalagi tahun 2019, dimana 50% lebih pemilih adalah generasi muda yang dikenal pemilih rasional. Rakyat saat itu saja sudah melihat fakta menurut tolok ukurnya. Tidak gampang percaya dengan tudingan tanpa fakta. Apalagi tudingan mengandung kebencian. Pertanyaannya jurus yang mirip dipakai dalam menghadapi SBY kini ditimpukkan pada Anda? Akankah rakyat sekarang bisa ditaklukkan dengan jurus yang mirip dan terus-menerus dilontarkan kepada Anda? Apakah rakyat akan langsung percaya bahwa Anda Jokowi, aktivis PKI, dsbnya? Akal sehat saya mengatakan, rakyat era sekarang sudah semakin melek dengan hak-hak politiknya. Tentu berdasarkan perspektifnya masing-masing dan penilaiannya sendiri-sendiri yaitu tidak semua calon pemilih terpengaruh oleh jurus-jurus berbau hoak. Saya masih ingat, saat itu, semakin SBY, diejek dan ditekan, semakin besar simpatik yang diberikan. Hasilnya, dalam pemilihan presiden kalau itu, Megawati, yang sebelumnya sesumbar bahwa dia akan menang dalam pilpres hanya dalam sekali putaran, justru kalah telak dari SBY, yang adalah bekas bawahannya. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Anda Capres Jokowi, menurut akal sehat saya adalah penyelenggara negara dengan jabatab presiden. Sebagai presiden, Anda harus siap dikritik. Kritik pada Anda sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang efektif. Artinya seorang pemimpin yang tidak mau dikritik menandakan bahwa seseorang itu belum siap untuk menjadi pemimpin. Padahal kritik, bisa dijadikan cermin mengukur dirinya sampai di mana program-program kerja dan kebijakannya telah bermanfaat untuk rakyat banyak dan benar. Akal sehat saya mengatakan membalas kritik dengan cemohan yang pedas bukan sifat seorang pemimpin yang demokratis. Tipe pemimpin yang gampang marah lebih cocok disejajarkan dengan kepemimpinan yang otoriter. Akal sehat saya yang menggunakan cara berpikircsistem demokrasi, kritik harus diterima sebagai masukan dan mestivdirespon dengan cara yang positif dan untuk tujuan yang positif pula. Tapi Anda Capres Jokowi, malah menggunakan kata-kata sifat berbahasa jawa yang maknanya negatif seperti sedang marah seperti sebutan sontoloyo, genderuwo dan kini malah meningkat akan menampar (tabok) orang-orang yang mengkritik Anda. Salah satu pemimpin Indonesia yang menggunakan kritik sebagai cermin adalah Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1960an dan 1970-an. Bahkan pemahaman akal sehat negara hukum berdasarkan asas demokrasi, kritik boleh dilancarkan kepada pejabat pemerintah termasuk presiden sebagai bagian dari komunikasi politik. Kritik bahkan dapat dilakukan melalui tulisan atau demonstrasi. Ini bila komunikasi politik dinilai macet. Mengingat kritik merupakan salah satu cara keturutsertaan warga negara dalam mengawasi sekaligus berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Bahkan pada era reformasi seperti saat ini kritik adalah sebuah konsekuensi seorang pemimpin yang harus tahan atas kritik dan hinaan. Akal sehat saya, pemimpin termasuk presiden yang antikritik dan hinaan adalah karakter yang tidak cocok menjadi pemimpin bangsa seperti Indonesia. Apalagi ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Keinginan ini sebagai pilihan yang tidak perlu. Ini karena, MK telah membatalkan dan menghapus pasal penghinaan presiden pada era presiden SBY. Semua tahu bahwa keran demokrasi telah terbuka pascareformasi 1998. Sejak saat itu, kebebasan berekpsresi dan mengeluarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Bahkan kritikan pedas yang mengarah kepada penghinaan kepala negara pun tak lagi termasuk kategori kriminal. Apalagi menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap presiden. Jadi menurut akal sehat, topik oposisi melakukan kritik ini jugactidak lepas dari euforia keberhasilan politisi senior Mahathir Muhammad sebagai tokoh oposisi yang memenangi pemilu Malaysia tahun lalu. Kemenangan Mahathir membuat oposisi seperti menemukan virtue yang selama ini tenggelam dalam pertunjukan debat kusir politik berupa talk show. kal sehat saya mengatakan peran oposisi katakan sebagai setan sekalipun, pada hakikatnya adalah untuk menyelamatkan kita bangsa Indonesia secara utuh. Jadi adalah patut diapresiasi posisi oposisi yakh mengganggu Anda dengan berbagai kritik secara terus-menerus. Akal sehat sehat malah mengkatagorikan oposisi bisa serupa setan, karena kritik oposisi bisa serupa kekuatan moral dan etik superego yang mengendalikan dorongan naluriah Id dan realitas Ego. Dengan gambaran seperti ini dalam perspektif Sigmud Freud, penguasa dipercaya dapat menjalankan kekuasaannya secara lebih benar. Apalagi, harapan pengikut demokrasi acapkali membutuhkan oposisi yang tangguh. Harapan oposisi seperti yang kini dimainkan Anda Capres Prabowo, dapat menjalankan fungsi check and balance. Terutama untuk memastikan kekuasaan yang Anda Capres Jokowi, tetap berjalan pada rel yang benar. Apalagi terseret pada kecenderungan sebagai penguasa yang memperluas kekuasaannya yaitu menyelewengkan penggunaan kekuasaan. Menurut saya, ajakan kubu oposisi agar Anda Capres Jokowi, mau belajar dari Anda Capres Prabowo, logis. Pertanyaan saya, apakah Anda Capres Jokowi, mau.....? Atau Anda Capres Jokowi, bisa juga menganggap oosisi dalam demokrasi di Indonesia, tidak diperlukan. Makanya, saya mengamati, oposisi tidak Anda populerkan. Bahkan Anda sepertinya dengan mengeluarkan diksi sontoloyo, genderuwo dan tabok, tak ubahnya pengkritik Anda bukan kelompok oposisi berpolitik, tetapi politisi pembangkang, penentang, atau lawan politik yang tidak patut bersikap mengoreksi, mempersoalkan dan mengkritik selama empat tahun kepemimpinan Anda. Masya Alloh. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU