Home / Pilpres 2019 : Pengusaha Pribumi dan DPR Menolak Kebijakan Pemeri

Jokowi, (Dituding) Pro Asing

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 22 Nov 2018 08:58 WIB

Jokowi, (Dituding) Pro Asing

SURABAYA PAGI, Surabaya Di saat rakyat mengeluhkan kondisi perekonomian saat ini, pemerintahan Presiden Jokowi justru mengeluarkan kebijakan yang dinilai liberal. Bahkan mengancam pengusaha kecil. Pasalnya, pemerintahan Jokowi turut memasukkan sejumlah bidang usaha berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam 28 usaha yang boleh dikuasai asing. Lantaran kebijakan ini, Jokowi pun dituding pro asing dan berwatak neolib. ----- Demikian diungkapkan pakar ekonomi asal Universitas Airlangga (Unair) Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D; pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Deddy Suhajadi; Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jatim, Mufti Anam; Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Umum DPP HIPPI, Suryani SF; Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Kebijakan tersebut seharusnya tidak dikeluarkan. Jika ingin meningkatkan perekonomian, harusnya pemerintah tidak perlu mendatangkan investor asing, kata Prof Tjiptohadi dihubungi Surabaya Pagi, Rabu (21/11/2018). Paket ekonomi ke-16 itu salah satunya merelaksasi 54 bidang usaha dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Dengan kebijakan tersebut, memungkinan penanaman modal dapat dikuasai asing 100 persen di sektor-sektor tersebut. Tahun 2016 lalu, relaksasi DNI menyasar 41 bidang usaha. Revisi DNI 2018, baru 25 bidang usaha yang mendapat persetujuan kementerian atau lembaga terkait. Salah satunya pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi. Menurut Prof Tjiptohadi, UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Untuk itu, sambung Tjipto, tugas pemerintah mengembangkan UMKM yang sudah ada agar pasar meminati produk yang dihasilkan. Bukan malah memberi peluang asing menguasai pasar UMKM yang nota bene pengusaha kecil. Tidak perlu ada campur tangan asing karena akan berdampak pada UMKM yang tak bisa bersaing. Seharusnya yang direncanakan adalah bagaimana caranya masyarakat menggunakan produk Indonesia," tambah Tjipto. Hal senada diungkapkan Deddy. Ia mengatakan jika asing dibolehkan berinvestasi di sektor UMKM, ia khawatir pengusaha kecil akan kecaplok. Hal ini bisa dilihat saat ini banyak usaha yang kelas menengah ke atas yang sudah kalah bersaing dengan usaha yang sudah dimasuki asing. "Karena mereka (asing) padat modal, padat keterampilan, padat teknologi," ujar Deddy dihubungi terpisah, kemarin. Sebelum membuka investasi asing, lanjut Deddy, seharusnya pemerintah memperkuat UMKM terlebih dahulu. "Kalau asing masuk, maka yang kecil (pengusaha kelas UMKM dan koperasi, red) ndak bisa berkutik," tutur dia. Karena itu, Deddy menyebut kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi sangatlah liberal. Bahkan jauh dari nilai Nawacita. "Ini sangat liberal, karena sudah membuka bagi asing menguasai UMKM di dalam bangsa. Kalau di bilang nawacita, kalau menurut saya ini bukanlah kebijakan pak Jokowi sendiri, melainkan partai pendukungnya atau tim suksesnya yang ingin hal itu diterapkan," ungkap Deddy. Terpisah, Mufti Anam mengatakan pihaknya akan memberi beberapa saran terkait paket kebijakan ekonomi ke-16, terutama yang berkaitan dengan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI). Sebab, sebanyak 95 persen anggota Hipmi adalah UMKM, yang akan kena dampak dari kebijakan itu. "Bersama HIPMI pusat, kami akan memberikan review terkait paket ekonomi tersebut. Para pembantu presiden harus bijak," kata Mufti. Terancam Mati Sementara itu, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dengan tegas menolak kebijakan relaksasi DNI pada Paket Ekonomi yang ke-16. "Relaksasi 25 Daftar Negatif Investasi (DNI) yang merupakan bidang usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha UKM tidak semestinya dibuka 100 persen untuk asing," tandas Ketua Umum DPP HIPPI, Suryani SF, Rabu ( 21/11) kemarn. Menurut dia, pemerintah seharusnya hadir dengan melakukan pendampingan, pembinaan dan perlindungan dalam bidang usaha tersebut sehingga bisa berkembang, bukan diserahkan ke asing. "Bisa dibayangkan apabila warung internet (warnet) dan bisnis yang bisa dijalankan UMKM diserahkan dan dibuka 100 persen untuk asing, maka pelaku UMKM kita akan hanya jadi karyawan bahkan penonton," kritiknya. Langkah pemerintah membuka keran asing tidak mendorong semangat wirausaha UMKM. "UMKM kita tidak mampu bersaing, tidak apple to apple tentu mereka pasti memiliki modal yang lebih kuat, SDM yang lebih mumpuni, penguasaan teknologi yang lebih canggih dan jaringan pemasaran yang lebih luas," paparnya. Suryani membandingkan, aturan usaha di Tiongkok diwajibkan 51 persen modal dipegang pengusaha lokal. "Asing boleh masuk namun harus joint venture itu yang ideal di mana Apple lewat Foxcon membuka pabrik di China," imbuhnya. Kebijakan Neolib Paket kebijakan ekonomi ke-16 dinilai bentuk pemerintah saat ini berwatak neo liberal (beolib). "Pemerintah sekarang ini keliatan sekali sangat neolib," ujar Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/11) kemarin. Menurutnya, kebijakan itu mengancam UMKM yang memiliki skala modal kecil. Sebab mereka harus bertarung dengan para pemodal besar. "Jadi kalau kita minta investor besar masuk kepada investasi yang besar itu tidak ada masalah. Tapi, klo investasi yang relatif kecil dan dilaksaksanakan oleh UMKM kita, itu bahaya," jelas Fadli. Ditambahkan Fadli, jika UMKM yang saat ini menjadi penopang perekonomian nasional diserahkan 100 persen kepada asing, maka sangat mengancam ketahanan ekonomi. "Jangan dong, diberikan 100 persen kepada asing. Nanti Republik Indonesia ini isinya adalah orang asing semua. Kita numpang doang. Kita hanya jadi kuli di sini," sambung wakil ketua umum DPP Partai Gerindra itu "Jadi ini sangat membahayakan. Ini cara berfikir neolib. Harus dikoreksi. Pemerintah harus merevisi kebijakan ini," tandasnya. DPR Minta Revisi Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mengingatkan pemerintahan Jokowi dengan keluarnya kebijakan paket ekonomi ke-16. Padahal, Bambang yang juga politisi Partai Golkar ini sebagai pendukung pemerintahan Jokowi. "Walaupun dari 54 DNI (Daftar Negatif Investasi) telah dikurangi jadi 25, tapi itu tidak terlalu signifikan dan tetap menjadi ancaman masa depan para pengusaha kecil kita," ujar Bambang Soesatyo usai Rapat Paripurna DPR RI ke-8 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu, (21/11) kemarin. Dikatakan Bamsoet, sapaannya seharusnya negara hadir untuk mengakomodir pelaku usaha skala besar ataupun kecil. "Sepatutnya itu menjadi tugas negara melindungi mereka dan membesarkan mereka," kata Bamsoet. Bamsoet meminta pemerintah melakukan koreksi terhadap kebijakan tersebut agar bisa melindungi pengusaha kecil. "Pemerintah harus mengkroscek kembali dan mencabut kembali kebijakan itu untuk menjaga masa depan pengusaha kecil kita," tandasnya. Bantah Pro Asing Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan relaksasi DNI dalam paket kebijakan ekonomi 16 dibuat secara cermat. Kebijakan tersebut tak ada kaitannya dengan keberpihakan kepada asing. Luhut menilai pihak yang menyebut paket kebijakan kali ini pro asing sebagai asal bicara. Sebab, mereka tak memahami mengenai relaksasi DNI dalam kebijakan tersebut. Yang ngomong suruh datang ke saya. Kami tahu batasannya. Asbun saja, kata Luhut. Aturan ini, dia melanjutkan, justru berpihak kepada kepentingan nasional karena dapat meningkatkan investasi dalam negeri. Karenanya, kebijakan ini diharapkan dapat menambal defisit transaksi berjalan. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU