Ketua DPRD Ungkap Mafia Surat Ijo

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 13 Feb 2019 09:01 WIB

Ketua DPRD Ungkap Mafia Surat Ijo

Alqomar - Findia Putri, Tim Wartawan Surabaya Pagi. Polemik restribusi izin pemakaian tanah (IPT) Surat Ijo yang belarut-larut, akhirnya disikapi Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji. Ia meminta warga mewaspadai pihak ketiga yang ingin mencaplok lahan surat ijo. Siapa pihak ketiga itu? Surat Ijo sudah bertahun-tahun menjadi masalah klasik yang selalu tidak berujung. Ada dulu dibawa hingga pusat namun tetap tidak gol. Sekarang muncul lagi. Semoga tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dari surat ijo ini, ujar Armuji ditemui Surabaya Pagi, kemarin(12/2/2019). Pria yang akrab disapa Cak Ji ini memita warga pemegang Surat Ijo agar berhat-hati. Ia khawatir polemik itu dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingannya, yakni menguasai lahan surat ijo. Sebaiknya seluruh warga pemegang surat Ijo berhati-hati. Jangan menjadi objek dari kepentingan pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan masalah Surat Ijo, cetus politisi PDIP ini. Sayangnya, Armuji tidak mau mengungkap siapa pihak lain tersebut. Namun ditengarai pihak yang dimaksudkan adalah pemain tanah atau mafia tanah. Menurut politisi PDIP ini masalah tanah di Surabaya sangan rentan. Banyak pihak akan ikut ambil bagian dalam urusan tanah itu sehingga mereka juga akan berupaya mengambil keuntungan dari polemik Surat Ijo tersebut, tandasnya. Hal senada diungkapkan Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Herlina Harsono Njoto. Ia mengatakan pihaknya siap membantu menyelesaikan permasalahan surat Ijo bagi warga. Siapa pun yang berhak untuk diperjuangkan harus dibantu. Asal semua seusai aturan. Jangan sampai warga pemegang surat ijo itu menjadi korban pihak-pihak yang hendak memanfaaatkan. Mudah-mudahan semua murni dalam perjuangan warga menuntut haknya, kata Herlina. Sesuai aturannya, lanjut Herlina, warga memang berhak dan berkesempatan atas pelepasan dari aset pemkot berupa tanah surat ijo. Setelah minimal 20 tahun menempati lahan tersebut dan mendapat persetujuan pemkot, persil mereka tak lagi milik Pemkot. Setahuku pelepasan lahan surat Ijo kepada warga itu pun tidak begitu saja. Ada proses yang harus dilalui sesuai Perda 16/2014 tentang pelepasan aset. Bahkan warga juga harus membayar biaya sesuai aturan, terang politisi Partai Demokrat ini. Dia menyinggung soal biaya tersebut. Sebab, menurut Herlina, pemohon wajib membayar biaya kompensasi yang besarannya ditentukan tim. Dewan akan tetap berpihak pada perjuangan warga. Namun semua harus berjalan sesuai aturan dan pijakan hukum yang jelas. Ada yang menyebut biaya kompensasi itu adalah 25 persen dari harga tanah, harus bisa ditunjukkan dasar hukumnya, tandasnya. Lapor ke KPK Bambang Sudibyo selaku Ketua Gerakan Perjuang Hapus Surat Ijo mengungkapkan pada 28 Mei 2012, pihaknya sempat melakukan audiensi dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Beberapa point penting yang tercatat adalah Risma berhati- hati untuk masalah ini agar sepuluh tahun mendatang tidak melibatkan penegak hukum. Selain itu Risma juga mengungkapkan jika masalah ini tidak dapat dikaitkan dengan politik. "Bu Risma juga mengatakan sudah pak buk, namanya surat ijo ini akan saya lepas," ungkap Bambang menceritakan pertemuannya dengan Walikota kepada Surabaya Pagi, Selasa (12/2/2019). Sejenak bisa bernafas lega. Namun kemudian terbit Perda Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya dan Perda Nomor 3 Tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah (IPT). Menurut Bambang, masyarakat yang menempati lahan Surat Ijo menilai Perda tersebut semakin memberatkan, karena tanah harus atas nama sendiri dan tidak lebih dari 250 meter persegi. "Gimana kalau itu atas nama bapak ibu saya yang sudah meninggal, apa harus digugah (dibangunkan, red) lagi?" papar Bambang. Warga makin geram, akhirnya melaporkan Pemkot Surabaya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 Januari 2019. "Karena sudah geregeten, akhirnya saya laporkan ke KPK dengan alasan barang milik daerah yang bukan miliknya disewakan kepada rakyat," ungkap Bambang. Kata Bambang, KPK telah menjawab pelaporan tersebut dan akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. Puncaknya, pada 22 Januari 2019 lalu bersama akademisi Ubaya, warga pemegang surat ijo melakukan pertemuan di Kementrian Agraria. "Hasilnya akan dilakukan inventarisasi ulang tentang hak kemilikan tanah milik pemkot," jelas Bambang. Pakar Hukum Tanah Menanggapi persoalan itu, Agus Sekarmadji, pakar hukum pertanahan Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan tanah surat ijo merupakan tanah negara. Namun merupakan hak dari Pemkot. Berdasarkan Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), awalnya semua tanah berawal dari tanah negara. Atas dasar hak menguasai dari negara, pemkot juga berhak memiliki hak atas tanah negara tersebut sesuai pada pasal 4 UUPA. Agus mengungkapkan jika Izin Pemakaian Tanah (IPT) memang dimungkinkan dengan landasan UU nomer 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya. "Dalam hal ini yang berhak adalah pemkot" ungkap Agus. Mengenai retribusi, itu memang sudah menjadi kewajiban warga. "Retribusi memang wajib dibayarkan oleh warga, karena warga diberikan ijin untuk menggunakan fasilitas milik daerah," lanjut Agus. Apabila ada warga yang mengeluhkan pajak doble, menurut Agus, perlu diluruskan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan biaya retribusi sewa tanah adalah hal berbeda. Pajak dikenakan kepada barang memiliki manfaat, sedang retribusi berarti biaya sewa barang milik daerah. Dan yang berhak mendapatkannya adalah Pemkot, dalam hal ini adalah pemegang hak atas tanah surat ijo tersebut, terang Agus. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU