Komunis Dibikin Politisi Bak Hantu

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 27 Sep 2020 21:32 WIB

Komunis Dibikin Politisi Bak Hantu

i

Beberapa buku yang diduga berisi paham-paham komunis dan terkait serangan G-30-S/PKI.

Akademisi Surabaya Berharap Politisi Indonesia Berpegang pada TAP MPRS No.XXV/1966 Tentang Pembubaran PKI. Terpenting Ajak Generasi Milenial Menatap Kedepan untuk Kemajuan Bangsa Indonesia, dan Tidak Diajak Membelenggu ke Masa Lalu

 

Baca Juga: Gugatan Presidential Threshold 20 persen, Babak Pertama Ditolak MK

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Setiap mendekati akhir bulan September, sepertinya kebanyakan warga Indonesia masih dihantui oleh peristiwa G-30-S/PKI. Peristiwa kelam yang panjang, ibarat film horor dan hantu yang dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat dan dengungan kencang perihal kejahatan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Dan ironisnya isu ini terus di kumandangkan pada masa ke masa oleh politik kepentingan.

Politisi kepentingan mestinya harus tetap berpegang pada TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pembubaran PKI. Meski tidak di pemerintahan, para politisi sebaiknya mengajak generasi milenial menatap ke depan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dan tidak berpikir terbelenggu masa lalu. Ini kecenderungan generasi dulu yang wawasannya bagus yaitu perangkat kerjanya 4.0 tapi wawasannya 0.4. Akibatnya isu yang selalu di agendakan generasi dulu adalah kebangkitan PKI. Padahal PKI sudah dibubarkan. Anak cucu PKI dan Jenderal yang terbunuh juga banyak yang berteman.

Demikian pandangan dan pendapat tiga akademisi yaitu Ahli Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya (Unair) Adrian Perkasa S.Hum, MA, kemudian Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya, Ali Sahab S. IP. M. Si dan pengamat ilmu politik dari FISIP Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Andri Arianto, MA,  saat dihubungi terpisah wartawan Surabaya Pagi hari Minggu (27/09/2020). Ketiganya diminta pendapat terkait isu kebangkitan PKI yang digulirkan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo dan deklarator KAMI, jelang 30 September 2020.

Adrian Perkasa, Sejarawan muda asal Unair melihat paham komunisme di era kapitalisme dan demokrasi ini, tak mungkin untuk bangkit kembali. "Ya yang jelas, kalau ditanya kemungkinan untuk melakukan itu kecil sekali. Dan hari ini sendiri juga, mana negara yang benar-benar komunis?," katanya.

Negara-negara demokrasi sendiri yang masih terdapat Partai Komunis, seperti di Prancis, Belanda, bahkan di Negara Amerika juga masih terdapat Partai tersebut. "Negara-negara kapitalis juga ada tapi tidak laku. Sama dengan China yang mengaku-ngaku komunis tapi kan sudah tidak harmonis," imbuhnya.

Lanjutnya, Ardian menerangkan bila untuk Indonesia sendiri tidak mungkin terjadi kebangkitan paham komunis tersebut. Sebabnya, bangsa Indonesia tidak tuntas dalam mempelajari sejarah bangsanya sendiri. "Untuk indonesia kemungkinan tidak, kan ini kebiasaannya kita ini kalau belajar sejarah tidak lengkap. Jadi sering di takut-takuti soal kebangkitannya gitu," terangnya.

 

Jadi Kepentingan Politik

Baca Juga: Wakapolri Cek Kesiapan Satgas Repatriasi di LPMP, Ketintang, Surabaya

Menangapi isu yang selalu di gulirkan mengenai paham komunisme yang terus digulirkan, Ardian mengatakan bila hal tersebut hanya bersinggungan dengan kepentingan politik. "Itu kan politik, pemerintah itu kayak punya musuh bersama. Kalau semisal di Indonesia musuh besarnya islam juga tidak mungkin karena islam terbanyak walaupun bermacam-macam. Maka dari itu, komunis dibikin semacam hantu. Sudah dikubur lama dan dijadikan hantu. Jadi, fungsinya sama seperti film horor begitu. Mengapa banyak yang bilang, pelajaran Sejarah membosankan, karena memang pelajarannya yang diajarkan itu-itu saja. Bukan di ajak untuk berfikir kritis. Akhirnya pengulangan-pengulangan yang sama," jelas pria mantan Cak Suroboyo ini kepada Surabaya Pagi, Minggu (27/9/2020).

Disinggung mengenai anak-cucu dari kader PKI yang dahulu membentuk PKI, apakah bisa muncul gaya baru dan memberontak seperti tahun 1948 dan 1965, Adrian menanggapi bila hal tersebut sebetulnya sudah tidak menjadi masalah untuk anak bekas jenderal maupun anak bekas PKI.

"Kalaupun ada kemungkinan pasti berubah ya, toh bukan PKI yang dulu. Toh sekarang anak-anaknya yang kemarin yang terlibat PKI atau yang jadi korban itu. Pun anak-anak jenderal yang jadi korban itu sudah menjadi teman. Sebetulnya sudah tidak ada masalah dengan anak-anak bekas petinggi PKI dulu," pungkasnya.

 

Berpegang pada TAP MPRS 1966

Baca Juga: Saat Covid-19, Jumlah Orang Super Kaya Indonesia Naik 22,29 Persen, Kekayaan Rp 1,4 Triliun Lebih Per Orang

Sedangkan, bila dilihat dari segi politik menurut Akademisi Ilmu Politik dari FISIP Unair, Ali Sahab S. IP. M. Si bila ideologi atau paham di masa demokrasi ini malah memberikan kebebasan untuk mempelajari ilmu tersebut. "Kalau menurut saya paham sebagai ideologi itu tidak bisa hilang karena sebagai bentuk pemikiran. Di era demokrasi orang justru diberi kebebasan mempelajari semua ideologi," terang Ali Sahab, Minggu (27/9/2020).

Menurut Ali, saat ini masyarakat tidak perlu terbelenggu pada masa lalu dan harus menatap masa depan. "Saya kira kita harus tetap berpegang pada TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pembubaran PKI. Dan yang lebih penting kita harus menatap ke depan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dan tidak terbelenggu masa lalu," katanya.

Ia juga menjelaskan bila untuk terlibat dalam politik maka harus didirikan partai politik untuk menyukseskan Pemilihan Umum yang berdasarkan pada asas Pancasila. "Saya kira jaman sudah beda, ketika terlibat dalam politik harus mendirikan parpol dan di Pemilu itu uji coba laku tidak partai politik tersebut tentunya partai berdasarkan atas Pancasila," jelasnya.  

Sementara, polemiknya soal isu G-30-S/PKI yang dilontarkan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, terkait tayangan film G-30-S/PKI. Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, pemerintah tidak melarang setiap orang atau generasi muda, yang akan menonton atau tidak menonton film G-30-S/PKI. "Pemerintah tidak 'melarang' atau pun 'mewajibkan' untuk nonton film G 30 S/PKI tersebut. Kalau pakai istilah hukum Islam 'mubah'. Silakan saja," kata Mahfud, yang dikutip dari cuitannya di akun Twitter resminya, @mohmahfudmd, Minggu (27/9/2020).

Adapun dalam hukum Islam pengertian 'mubah' adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran. byt/erk/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU