Home / Pemilu : Poros Ketiga Pilpres 2019, Serius apa Cuma Gertak

Kuncinya di SBY

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 07 Mar 2018 22:35 WIB

Kuncinya di SBY

SURABAYAPAGI.COM, - Isu poros koalisi ketiga di luar kubu pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, terus bergulir. Ada yang menyebut peluang poros ketiga itu masih memungkinkan. Namun ada pula yang menganggap sulit terwujud. Sebab, ada berbagai potensi masalah yang bisa mengganggu jalannya koalisi poros ketiga. Sedang poros ketiga ini disebut-sebut akan dibangun Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Jika benar komposisinya seperti itu, maka Susilo Bambang Yudhono (SBY) memegang kunci poros ketiga Pilpres 2019. Bagaimana kalkulasi politiknya? Lalu bagaimana dengan safari politik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang akan menemui Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, setelah ia menemui Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Wiranto? ------------ Laporan : Tedjo Sumantri Joko Sutrisno ------------ Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris berpendapat Partai Demokrat memiliki peran untuk menentukan pembentukan poros ketiga di Pilpres 2019. "Kalau poros ketiga itu peluangnya adalah di kubu pak SBY atau Partai Demokrat," ujarnya, kemarin. Poros ketiga merujuk pada fenomena pertarungan calon presiden yang selama ini didominasi hanya oleh Jokowi (PDIP) dan Prabowo Subianto (Partai Gerindra). Keberadaan poros ketiga berarti akan memunculkan calon alternatif selain Jokowi dan Prabowo. Jika poros ketiga terbentuk, lanjut Syamsuddin, nantinya tak hanya menawarkan calon presiden (Capres) alternatif, melainkan juga mencegah pembelahan sosial dan politik di masyarakat. Dia khawatir jika tak hadir poros ketiga, pembelahan terjadi lantaran masyarakat hanya terbagi pada Jokowi dan Prabowo. Syamsuddin mengatakan peluang terbentuknya poros ketiga juga sangat bergantung pada kemampuan partai politik memenuhi ambang batas pencalonan presiden. Menurut dia, poros ketiga juga berpotensi gagal terbentuk lantaran aturan ambang batas pencalonan presiden. Berdasarkan UU Pemilu, ambang batas presiden ditetapkan 20 persen dari total suara. Artinya, sebuah partai atau gabungan partai harus menguasai 20 persen dari total kursi DPR untuk bisa mengusung calon presiden. "Peluang ada, tapi sangat kecil," tandasnya. Demokrat saat ini hanya memiliki kursi sekitar 10 persen di DPR. Dengan kata lain untuk membentuk poros ketiga, Demokrat harus terlebih dulu berkoalisi dengan partai lain. Syarat berkoalisi itu tak mengurungkan niat Demokrat membentuk poros ketiga. Sebelumnya, lima partai di Pemilu 2014 telah mendukung Jokowi untuk diusung sebagai Capres di Pilpres 2019. Mereka adalah PDIP, Golkar, PPP, NasDem dan Hanura. Sementara lima partai lain yaitu Gerindra, Demokrat, PKB, PAN dan PKS belum menentukan sikapnya. Dari kelima partai itu Gerindra telah menyatakan akan mencalonkan kembali Ketua Umum Prabowo Subianto dengan sinyal dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN. Potensi Masalah Hal sama dinyatakan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari. Ia menilai peluang terwujudnya poros koalisi ketiga di luar kubu pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto, cukup sulit dilaksanakan. Sebab, ada berbagai potensi persoalan yang bisa mengganggu jalannya koalisi poros ketiga. "Kalau bicara partai poros ketiga hemat saya harus lihat Partai Demokrat. Karena Demokrat adalah partai yang paling besar di antara tiga partai yang ada (PAN, PKB, Demokrat). Jadi, dia menentukan arah koalisi," papar Qodari di Jakarta, Rabu (7/3/2018). Jika membahas Demokrat, lanjut dia, sosok yang menjadi sorotan adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Qodari mengasumsikan, jika AHY dijadikan sebagai Capres poros ketiga, maka hal itu akan memunculkan pertanyaan apakah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dari PKB dan Zulkifli Hasan (Zulhas) dari PAN bersedia menerima kesepakatan tersebut. "Katakanlah Muhaimin mau, tapi Zulkifli Hasan mau enggak dengan AHY-Muhaimin? Atau misalnya AHY-Zulkifli Hasan, mau enggak Muhaimin mendukung? Agak susah," ujar dia. Hal itulah yang membuat pencalonan AHY sebagai capres pada poros ketiga agak rumit. Qodari juga mengasumsikan, apabila dimasukkan variabel nama Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai capres, maka Demokrat akan tetap mengutamakan AHY sebagai pendamping. "Enggak mungkin dilepas sama SBY, enggak mungkin Pak SBY mendukung Gatot jadi capres terus wakilnya Muhaimin atau Zulkifli Hasan," kata Qodari. Jika Gatot-AHY diasumsikan menjadi pasangan dari koalisi poros ketiga, Qodari menilai hal itu akan menimbulkan potensi penolakan dari PKB dan PAN. "Berarti kalau Gatot-Agus, itu kan militer militer. Ya mau enggak itu Gatot-Agus kemudian didukung Muhamin dan Zulkifli Hasan?" ujarnya. Resiko lainnya, kata dia, jika hasil survei elektabilitas komposisi calon poros ketiga cenderung kecil. Hal itu akan membuat PKB dan PAN bisa berpaling ke koalisi pendukung Jokowi atau pendukung Prabowo. Berkaca pada Pilpres 2009 Qodari pun berkaca kepada koalisi poros ketiga pada Pilpres 2009 lalu. Menurut dia, koalisi poros ketiga pada Pilpres 2009 cenderung lebih sederhana, dikarenakan komposisi koalisi pada waktu itu hanya terdiri dari dua partai, yakni Golkar dan Hanura. "Pak JK Ketua Golkar, Pak Wiranto Ketua Hanura dan dua partai ini bergabung sudah memenuhi persyaratannya (mengusung capres-cawapres)," kata Qodari. Hal itulah yang tidak ia lihat pada pilpres 2019 nanti. Sebab, tidak ada faktor kesederhanaan komposisi parpol dan pimpinan parpol. "Jadi mempertemukan tiga partai dengan tiga pimpinan dengan aspirasi yang berbeda ini yang membuat kesulitan," ujarnya. Selain itu, koalisi poros ketiga akan sulit terwujud pada 2019, apabila setiap partai memiliki ambisi yang kuat dan kalkulasi politik yang rumit. AHY Realistis Agus Harimurti Yudhoyono sadar kemungkinan namanya diusung sebagai calon presiden 2019 cukup kecil. Sebab kursi Partai Demokrat tak mencukupi ambang batas untuk mengusung calon presiden sendiri. Dia hanya bisa mengamini keinginan kader dan masyarakat yang mendorongnya berkontestasi di Pilpres 2019. "Saya adalah orang yang realistis. Saya mengamini setiap ada semangat, harapan, aspirasi dari kader Demokrat dan masyarakat luas yang mengingikan ayo mas AHY harus bisa menjadi alternatif, terhadap doa yang baik tentu kita semua mengamininya," ujar AHY usai bertemu Wiranto di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (7/3) kemarin. "Realitasnya adalah bahwa PT (presiden treshold) 20 persen tadi. Jadi boleh kita bersemangat untuk diusung dan lainnya sebagainya, tapi kalau tidak ada tiket 20 persen, seberapa tinggi elektabilitas seseorang sulit rasanya masuk di kontestasi politik 2019," imbuhnya. Bikin Gerah Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI mengatakan bila AHY dipinang menjadi Cawapresnya Jokowi, maka Jokowi sangat diuntungkan karena nendapat energi baru dari anak muda yang cerdas dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap kebangsaan. "AHY lulusan AKABRI terbaik pernah belajar di Harvard AS, Putra Presiden ke VI RI. Satu lagi berdasarkan survey untuk posisi Wapres, AHY menempati rangking teratas dibanding calon lain," kata Siti Zuhro. Peneliti LIPI ini memaklumi kalau ada elit partai yang tidak nyaman dengan pertemuan Jokowi-AHY. Sebab, kedekatan Jokowi dengan AHY bisa dimaknai sebagai isyarat Partai Demokrat akan berkoalisi dengan Jokowi pada Pilres 2019. Elit Partai khawatir kedekatan Jokowi-AHY tersebut akan membuyarkan harapan partai politik yang telah menyiapkan kadernya untuk menggantikan Jusuf Kalla. PKB, misalnya, menjagokan Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar untuk mendampingi Jokowi. Tapi PKB akan menarik dukungan pada Jokowi di Pilpres kalau jabatan Wapres itu diberikan orang lain. "Bisa saja PKB akan berkoalisi dengan poros lain, kalau Jokowi meninggalkan Cak Imin," kata Johan, Wasekjen PKB. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU