Home / Hukum & Pengadilan : Sengketa Tanah di Jatim Masih Marak

Mafia Tanah Marak, Pengadilan Harus Kuat

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 15 Mei 2019 10:49 WIB

Mafia Tanah Marak, Pengadilan Harus Kuat

Rangga Putra-Hermi, Tim Wartawan Surabaya Pagi Keberadaan mafia tanah masih menjadi persoalan serius. Pasalnya, mafia tanah sampai saat ini menjadi salah satu aktor yang menyebabkan maraknya sengketa tanah. Seperti sengketa lahan yang digunakan untuk proyek AKR Land di Manyar, Gresik, yang diduga melibatkan politisi, notaris dan korporasi. Sedang korbannya rakyat kecil. Lalu, sengketa tanah di jalan Pemuda 17 Surabaya antara Pemkot Surabaya dengan Maspion. Apakah sengketa itu terindikasi ada permainan mafia tanah? ------- Ahli hukum agraria dari Universitas Airlangga (Unair), Agus Sekarmaji, mengungkapkan disinyalir banyak praktik mafia tanah di Jatim maupun Surabaya pada khususnya. Banyak tanah yang masih bersengketa, tapi keluar akta jual beli. Mereka (mafia tanah, red) ini memang tidak terlihat, tapi terasa keberadaannya, ujar Agus. Saking parahnya, masalah tanah menjadi perhatian banyak pihak. Mereka resah, termasuk pemerintah. Di lapangan, pemerintah belum tentu menang jika terkait masalah tanah, sering kalah juga dalam pembuktian, papar dia. Karena itu, menurut dia, hal yang paling penting adalah pembuktian di pengadilan. Jangan sampai ada celah yang bisa dimanfaatkan mafia tersebut. Alat bukti yang dimiliki satgas harus kuat. Sebab, para mafia pasti juga memiliki alat bukti yang kadang membingungkan. Bahkan, tidak sedikit yang sampai melakukan pemalsuan. Saat pembuktian memang memegang peran kunci, terang Agus. Lembaga pengadilan harus kuat. Jangan sampai ada pihak yang bisa memengaruhi pengadilan, khususnya hakim. Seandainya hakim terbawa, bisa berbahaya. Sebab, selama ini sering ada putusan yang janggal. Kita juga tidak boleh menuduh hakim. Tapi, dari penilaian saya, sering kali putusan hakim janggal, cetus Agus. Selain itu, Agus menjelaskan, dalam hukum agraria ada aspek selain pidana. Yaitu aspek perdata maupun administrasi negara. Dengan begitu, kalau ada alat bukti ganda yang sama-sama sah, akan sulit menjadikan seseorang sebagai tersangka. Penyidik harus cermat. Jangan sampai salah melangkah, tandasnya. Sebab, menurut dia, masalah pertanahan terus ada dan berulang. Dampaknya tidak hanya berhenti pada masalah alih status. Persoalan itu juga berpotensi menyulut konflik di masyarakat. Bahkan, karena penanganan yang berlarut-larut, dijumpai banyak tanah yang mangkrak. Manfaatnya harus dirasakan masyarakat, seperti membawa dampak ekonomi bagi negara, ungkapnya. Modus Mafia Tanah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menjelaskan, dari catatan KPA sendiri, ada sejumlah modus yang biasa dilakukan para mafia tanah. Dari sekian banyak modus tersebut biasanya melibatkan jaringan sistematis antara pemodal, spekulan tanah, calo sertifikat tanah, preman, aparat pemda, kepolisian dan tentu saja oknum BPN. "Modus utamanya adalah membeli murah tanah-tanah rakyat yang sedang digarap karena tanah tersebut tidak dapat dilayani oleh BPN dengan berbagai alasan, seperti disebut sebagai tanah negara karena tanah bekas hak-hak barat yang belum dikonversi," terang Dewi. Dalam kondisi ini, biasanya mafia tanah menguasai atau membeli murah tanah masyarakat karena akan ada proyek besar di atasnya (spekulan) atau dalam beberapa kasus justru untuk proyek sendiri. "Jika tidak dapat dibeli murah, memalsukan dokumen di atas tanah-tanah warga. Kebetulan di Jakarta hingga Bekasi banyak tanah eks barat belum dikonversi ke UUPA atau tanah yang dicatat girik tanahnya dahulu di desa kemudian saat menjadi kelurahan banyak terjadi kekacauan lalu banyak girik C palsu. Keluarlah sertifikat BPN yang kemudian dipakai mafia untuk mengusir warga yang di atasnya," ucapnya. Persoalan lain, yakni terbitnya dua atau tiga sertifikat di atas bidang tanah masyarakat yang sama. Para pihak yang memegang sertifikat seolah-olah berperkara di pengadilan. Padahal, masyarakat tidak tahu sama sekali bahwa para mafia ini sedang berperkara di atas tanahnya. Saat pengadilan memutuskan salah satu diantara mafia ini, maka putusan tersebut dipakai untuk melakukan eksekusi atas lahan masyarakat. Modus lain yang biasa ditemui, yakni mengirimkan preman untuk menduduki tanah dengan berbekal girik palsu atau sertifikat bodong. Lalu, langkah tersebut menjadi cara merampas tanah secara paksa atau membeli murah. Jika kondisi ini yang terjadi, maka tidak hanya kepolisian yang bisa menanganinya. BPN pun seharusnya berhak menanganinya. Namun harus ada Komisi Independen (termasuk beranggota Polisi dan Masyarakat) di dalam BPN yang memeriksa warkah tanah tersebut kemudian melakukan gelar kasus di dalamnya untuk memutuskan mana pemilik yang sah. "Unsur-unsur pidana di dalamnya juga harus segera ditindaklanjuti. Tetapi BPN yang memeriksa warkah tanah tersebut," ucapnya. Antisipasi Untuk mengantisipasi kondisi itu, KPA menyarankan agar segera ada sistem informasi pertanahan nasional. Termasuk sistem pra pendaftaran seperti layanan dokumen di tingkat notaris PPAT dan kelurahan yang harus terintegrasi dalam sistem komputer pendaftaran tanah BPN. "Pada saat pendaftaran semua proses dapat dipantau oleh publik melalui dokumen pra pendaftaran. Sehingga pensertifikatan dapat diakses dan diawasi, sesuai dengan standar informasi publik. BPN tidak boleh terus menerus tertutup dengan banyak dalih yang dibuat-buat," ungkapnya. Menurutnya, sistem informasi pertanahan nasional harus segera dibuat dengan baik yang pada akhirnya bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas publik. Dengan demikian, ruang gerak mafia tanah akan semakin terbatas. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU