Mahar Politik Amangkurat II

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 20 Jan 2018 00:28 WIB

Mahar Politik Amangkurat II

Tercatat, 2 Juli 1677 istana Kesultanan Mataram di Plered jatuh ke tangan pemberontakan Trunojoyo yang bersekutu dengan Karaeng Galesong dari Makasar. Sebelas hari kemudian, 13 Juli 1677, Amangkurat I tewas dalam pelariannya di Tegalwangi. Putra Mahkota Raden Mas Rahmat di dapuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Mataram. Raja yang galau gundah gulana karena sesungguhnya dia belum benar-benar menjadi Raja, dia baru menjadi Calon Raja. Karena apalah artinya seorang Raja yang tanpa tahta dan mahkota. Tahta Mataram tengah dikuasai sepenuhnya oleh Trunojoyo. Sementara Mahkota Mataram telah direbut oleh Pangeran Puger adiknya yang beserta pasukannya terus berupaya mengusir Trunojoyo dan Karaeng Galesong dari istana Plered. Ya ya ya. Calon Raja Mataram yang galau kesepian di Tegalwangi. Merenung dan berpikir bagaimana dia bisa kembali mendapatkan tahta dan mahkotanya sebagai seorang Raja yang sah dan diakui. Menyingkirkan Trunojoyo dan Pangeran Puger sekaligus dengan pasukan yang tersisa adalah pekerjaan yang maha berat, bahkan muskil. Raden Mas Rahmat butuh pengakuan dari pihak lain untuk menjadi Raja Mataram yang sah dan legitimate. Lebih dari itu dia juga butuh kekuatan lain itu untuk menyingkirkan para kompetitornya, yakni Pangeran Trunojoyo dan Pangeran Puger. Kejatuhan istana Mataram di Plered bukan hanya menjauhkannya dari tahta dan mahkota, lebih dari itu telah menghancurleburkan pasukannya dan meluluhlantakkan harta bendanya. Pendeknya, Raden Mas Rahmat butuh tambahan pasukan dan dana untuk mewujudkan impiannya sebagai Raja Mataraman sekaligus mengalahkan Pangeran Trunojoyo dan Pangeran Puger. Pertanyaan yang bergemuruh dalam hati dan pikirannya, "Siapakah yang memiliki pasukan dan dana besar yang sudi membantunya untuk mewujudkan impian?!". Ya ya ya. Tak lain dan tak bukan. Hanya VOC Kumpeni-lah yang memiliki pasukan dan dana besar yang bisa diharapkan untuk membantunya meraih tahta dan mahkota, sekaligus menyingkirkan Trunojoyo dan Puger. Maka setelah melalui proses lobi dan negosiasi yang cukup panjang bertemulah Raden Mas Rahmat dengan VOC Kumpeni di Jepara pada bulan September 1677. VOC melalui wakilnya Cornelis Speelman meminta mahar politik pada Raden Mas Rahmat, jika memang menginginkan bantuan VOC untuk mendapatkan tahta dan mahkotanya serta menyingkirkan Trunojoyo dan Puger. Permintaan mahar yang fantastis. VOC meminta mahar pada Raden Mas Rahmat berupa uang sebesar 2,5 juta Gulden dan menanggung semua biaya perang. Dikarenakan Raden Mas Rahmat sama sekali tidak memiliki uang, baik untuk membayar mahar atau membiayai perang , maka dia harus menggadaikan daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Karawang sampai ujung timur di Panarukan kepada VOC sebagai jaminan pembayaran atas mahar politik dan biaya perang yang untuk sementara waktu ditanggung dan disediakan oleh pihak VOC Kumpeni. Maka begitu permintaan mahar politik dan perjanjian itu disetujui oleh Raden Mas Rahmat, VOC pun konsisten mendukungnya sebagai Raja Mataram dengan gelar Amangkurat II dan menyiapkan seluruh keperluan, baik dana maupun pasukan untuk menghancurkan Trunojoyo dan Puger. Maka dua tahun berikutnya, tepat tanggal 26 Desember 1679 pasukan koalisi Amangkurat II dan VOC berhasil menaklukkan dan menangkap Trunojoyo. Setahun kemudian Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680. Dan setahun berikutnya, yakni 1681 Pangeran Puger juga menyerah takluk dalam sebuah pertempuran berdarah-darah. Ya ya ya. Amangkurat II memindah istananya dari Plered ke Kartasura, menobatkan diri sebagai penguasa tunggal Mataram dengan menanggung hutang mahar pada VOC yang kelak kemudian hari tak pernah bisa dia bayar. Mahar politik Amangkurat II yang membuat rakyat Mataram dari Karawang hingga Panarukan mengalami derita penguasaan, penjajahan dan penghisapan dari VOC Kumpeni berkepanjangan. Makin hari bukannya makin sejahtera, sebaliknya semakin sengsara. Ya ya ya. Mahar politik yang melahirkan kisruh politik tak berkesudahan di Bumi Mataram. Perang antar saudara yang membuat derita rakyat makin menjadi-jadi. Konflik yang tiada berujung, yang dibalik itu semua kekuatan luar VOC Kumpeni-lah yang mengambil semua keuntungan. Hingga puncaknya pada 13 Februari 1755 melalui Perjanjian Giyanti VOC membelah Bumi Mataram menjadi dua, dan sekali lagi mengeruk keuntungan di tengah persaingan dan konflik politik antar saudara. VOC secara taktis dan strategis menguasai Bumi Mataram, Tanah Jawa dan Nusantara secara perlahan dari satu hutang mahar ke hutang mahar lainnya yang ditanggung oleh para elit karena kepentingan politik dan kekuasaan. Ya ya ya. Mahar politik yang ditanggung oleh Amangkurat II demi mewujudkan ambisi politik dan kekuasaan pada akhirnya seluruh kawula Bumi Mataram, Jawa dan Nusantara yang harus menanggungnya dalam derai duka air mata penjajahan selama ratusan tahun. Begitulah. Mahar politik yang ditanggung oleh para elite politik demi ambisi kekuasaan pada akhirnya seluruh rakyatlah yang menanggungnya. Maka tidak heran ketika La Nyalla M Mattalitti, sebagai salah satu kandidat yang running dalam kontestasi Pilgub Jatim 2018 melontarkan sinyalemen kontroversial akan adanya upaya-upaya dari partainya meminta mahar darinya miliaran rupiah, publik menjadi heboh. Bukan hanya publik Jatim, tapi publik Nusantara menjadi heboh. Larut dalam kontroversi pro-kontra apakah benar sinyalemen yang dilontarkan Nyalla tersebut. Semua media memberitakan, mengulas, menganalisis, membenturkan nara sumber dari kubu yang berseberangan. Di Radio dan televisi pun kemudian penuh dijejali acara Talk Show bertema "Mahar Politik". Tak lagi penting ujungnya nanti akan berakhir seperti apa, kontroversi mahar politik La Nyalla telah menyentakkan kesadaran publik, bahwa praktik ala Amangkurat II itu mungkin saja masih sering terjadi dalam berbagai peristiwa politik elektoral di Bumi Nusantara. Ya ya ya. Istilah "mahar" telah menjadi istilah yang sensitif bagi publik. Karena ketika kata itu dikaitkan dengan politik, maka konotasinya telah menjadi negatif dan bisa berarti adalah penderitaan rakyat. Padahal kata mahar semula terkait agama (Islam) dan berkonotasi positif. Istilah atau konsep mahar semula dalam fikih (yurisprudensi Islam) mengacu pada ketentuan tentang pemberian wajib (calon) suami kepada (calon) istri yang disampaikan pada waktu akad nikah (ijab kabul) perkawinan. Besar-kecilnya tergantung kemampuan pihak (calon) suami, dan (calon) istri mesti ikhlas menerima. Dengan demikian, mahar merupakan pertanda ikatan sakral (akad) dalam pernikahan antara (calon) suami dan (calon) istri. Mahar bendawi yang diberikan suami menjadi sepenuhnya milik istri sebagai cadangan jika ia membutuhkan dana. Sampai disini sesungguhnya mahar itu baik-baik saja, bahkan sifatnya wajib. Asal sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan pengantin pria. Menjadi persoalan ketika mahar itu bukan menjadi kesanggupan sesuai kemampuan dan keikhlasan politisi, tapi justru menjadi tuntutan dan ketentuan partai politik dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dan dipaksakan. Disinilah tragedi hutang mahar ala Amangkurat II sangat mungkin terjadi. Dan pada akhirnya saat sang politisi mendapatkan kekuasaannya dia harus menggadaikan segala potensi dan sumber daya alam yang ada di tanah kekuasaannya untuk membayar hutang mahar politiknya. Sebagaimana Amangkurat II menggadaikan segala potensi sumber daya alam dan manusia Karawang hingga Panarukan ke pihak VOC. Menurut Prof Azumardi Azra, dalam praktik politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik dipahami publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang diperebutkan (elected office) dalam pemilu/pilkada dengan parpol yang menjadi kendaraan politiknya. Tanpa bermaksud memberi justifikasi pada praktik mahar politik yang tampaknya kian lazim, hal sama terjadi di banyak negara. Disebut sebagai political dowry, praktik mahar politik bisa terjadi antar calon untuk berbagai jabatan melalui pemilu dan juga antar partai untuk membentuk koalisi. Kehebohan pernah terjadi di Amerika Serikat saat Presiden George W Bush, yang maju sebagai calon presiden pada 2000 memilih Dick Cheney sebagai cawapres, disebut-sebut melibatkan praktik political dowry. Di Korea Selatan, koalisi Aliansi Baru, gabungan tiga partai oposisi, pada 2015 diberitakan media terbentuk berkat generous political dowry dari pihak tertentu. Political dowry disebut menghasilkan kawin kontrak (marriage for convenience) dengan bulan madu di antara parpol berbeda yang (semula) memiliki kepentingan masing-masing. Ya ya ya. Andai kawin kontrak itu terjadi antara calon penguasa dengan internal partainya barangkali tidak akan terlalu menjadi persoalan. Sebab lazimnya dana itu lebih digunakan untuk pengembangan partai atau kepentingan partai tersebut untuk menyambut momentum politik elektoral berikutnya. Menjadi rahasia bersama bahwa salah satu cara partai hidup dan berkembang adalah melalui berbagai dana informal yang masuk melalui berbagai momentum, termasuk di dalamnya momentum pilkada serentak. Mengharapkan gerak tumbuh dan berkembangnya sebuah partai hanya dari dana iuran, dana negara atau dana ketua umum saja tentu sangat muskil. Ya ya ya. Kawin kontrak itu, mahar politik itu jauh lebih menimbulkan persoalan manakala melibatkan pihak eksternal. Pihak ketiga. Kekuatan luar. Bisa pengusaha, bandar, organisasi luar atau bahkan negara luar. Maka logis jika nasib rakyat dipertaruhkan. Sebagaimana Bumi Mataraman, Jawa dan Indonesia yang pada akhirnya harus terinjak oleh kaki penjajah Kumpeni akibat hutang mahar politik Amangkurat II. Akankah Bumi Jatim dan Nusantara ini akan demikian juga akibat hutang mahar politik para elite yang haus kekuasaan pada pihak luar?! Jatim tercinta ini dari ujung barat hingga timur, dari utara hingga selatan, dari pulau-pulau terpencil yang bernama dan tak bernama kita ketahui bersama penuh dengan sumber daya kekayaan alam. Emas, minyak, gas, hutan, semen dan lain sebagainya. Tapi apakah rakyat sudah menikmati semua potensi dan kekayaan itu?! Ataukah sebenarnya diam-diam semua potensi dan kekayaan itu telah tergadaikan pada pihak lain akibat hutang mahar?! Monggo...ngelus dada sambil nyeruput secangkir kopi. Karena jangan pernah berharap, pertanyaan itu akan segera terjawab. Sebagaimana entah kapan terjawabnya kontroversi mahar politik La Nyalla. Begitulah. Begitulah.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU