Mantan Menteri Melorot, Ibu Rumah Tangga Nyodok

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 02 Okt 2020 21:29 WIB

Mantan Menteri Melorot, Ibu Rumah Tangga Nyodok

i

Syaifullah Yusuf/Gus Ipul (kiri), Ipuk Fiestiandani Azwar Anas (kanan)

 

Perebutan Kekuasaan Kepala Daerah di Jatim 2020

Baca Juga: Anggaran Pilkada Lombok Tengah Sebesar Rp 52,752 Miliar Telah Disetujui

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Harian kita, hari ini akan mengungkap tentang fenomena bagaimana mempertahankan dan merebut kekuasaan di empat kabupaten dari 19 Pilkada di Jawa Timur. Dari 4 kekuasaan itu, ada seorang mantan menteri dan wakil gubernur yang melorot ke mengikuti kontestasi wali kota. Juga ada seorang ibu rumah tangga yang tak pernah berpolitik, tetapi mengikuti kontestasi melawan kader partai yang tak direkom oleh partainya. Juga ada politisi muda di Jawa Timur yang ingin mempertahankan kekuasaan orang tuanya. Sampai, ada seorang “anak kepercayaan” seorang petahana yang sudah dua periode di birokrat, bisa menggeser kader partai untuk tidak direkom menjadi mengikuti kontestasi wali kota.

Seperti Syaifullah Yusuf, di kontestasi Pilwali kota Pasuruan. Mantan Menteri era Pemerintahan SBY periode pertama, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Timur dua periode. Kini, Gus Ipul, berani berebut jabatan melorot sebagai walikota Pasuruan, karena ia putra Bangil.

Adiknya, Gus Irsyad Yusuf, kini menjadi Bupati Pasuruan. Bila kelak Gus Ipul, memperoleh kemenangan dalam pilkada 9 Desember, ia mengukir sejarah baru Indonesia, satu wilayah kekuasaan kepala daerah dipegang satu keluarga.

Tak hanya Gus Ipul. Politik kekuasaan pun dilakoni di Banyuwangi, dimana Bupati Azwar Anas saat ini, menjagokan istrinya sendiri Ipuk Fiestiandani Azwar Anas. Ipuk sendiri selama dua periode, hanya sebagai “ibu rumah tangga” atau Ibu Bupati dari Azwar Anas. Bahkan, DPP PDIP pun akhirnya merestui Ipuk untuk bisa meneruskan kekuasaan Azwar Anas di Banyuwangi.

Ipuk, istri Azwar Anas, kelahiran Magelang lulusan ilmu pendidikan. Selama ini aktif di organisasi NU, fatayat. Ipuk mencuat namanya karena survei elektabilitas yang dilakukan NasDem. Akhirnya PDIP, mengusung Ipuk bersama NasDem, menggusur Ketua DPC Banyuwangi.

Praktis, Ipuk Fiestiandani, istri Azwar Anas, yang sejauh ini dikenal ibu rumah tangga biasa bisa nyodok ke atas, mencoba adu nasib gantikan suaminya yang sukses mengembangkan Kabupaten Banyuwangi menjadi wisata nasional.

Dengan nama besar Azwar Anas yang memimpin dua periode sejak 2010, membuat Ipuk, istrinya percaya diri untuk melanjutkan kepemimpinan sang suami. Parpol pun mendukungnya. Sugirah, yang mendampingi Ipuk, adalah anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi. Dia sudah mengundurkan diri sebagai anggota legislatif demi ikut pilkada. Pasangan Ipuk-Sugirah diusung oleh lima partai politik, yaitu PDIP, NasDem, Gerindra, Hanura dan PPP. Mereka mendapat dukungan 28 kursi DPRD Banyuwangi.

Selain di Banyuwangi, juga terjadi di Surabaya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga “lebih memilih” anak emasnya Eri Cahyadi ketimbang kader PDIP asli, Whisnu Sakti Buana. Tujuannya, hanya untuk meneruskan program-program  yang sudah dibangun oleh wali kota perempuan pertama di Indonesia ini.

 

 

Kejumudan Demokrasi

Hal-hal itu mendapat sorotan dari beberapa pengamat politik di Surabaya. Menurut mereka, munculnya fenomena politik kekuasaan ini karena kurang berjalannya regenerasi kader di sebuah partai. Akhirnya, mereka mencari nama atau jalan instan untuk merealisasi politik kekuasaan itu. Karena, bila terjadi kekosongan, akan timbul kejumudan demokrasi.

"Hal ini yah karena ada kejumudan demokratis elektoral pasca reformasi. Sampai tidak ada calon yang berani untuk maju. Kemungkinan besar perubahan itu susah terjadi atau yang kedua memang aklamasi suara bulat menjadi fenomena baru untuk Pilkada saat ini," kata akademisi FISIP Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Andri Arianto, MA.

Baca Juga: Festival Coklat Doesoen Kakao Suguhkan Coklat Terbaik Dunia

Ditambah lagi, tambahnya, jika calon itu adalah elit lokal yang cukup berkuasa, itu mengindikasikan budaya patronase elit kepada masyarakat. “Ini yang memicu menjadi politik dinasti atau bisa dikatakan politik kekuasaan," terangnya.

Andri pun mencontohkan kontestasi pilkada di Kota Pasuruan, yang dicalonkan oleh salah satu partai pengusung. Hal itu dinilai cukup aneh oleh Andri, sebab pada tingkat usulan PAC, artinya usulan dari bawah sudah ikut prosesi atau kader partai tersebut akhirnya akan menjadi kekecewaan tersendiri ketika mengusung calon tersebut.

 

Macetnya Kaderisasi Partai

Sama seperti Pasuruan, juga terjadi di Surabaya. Itu yang menjadi problem umum, ketika rekomendasi parpol justru kurang menampung struktur dibawahnya. "Kaderisasi internal untuk partai itu akan menjadi macet ketika partai tidak mampu mengusulkan dan mendorong kader muda yang lebih fresh sebagai pemimpin berikutnya," ucapnya.

Sementara itu, Pakar Politik Universitas Negeri Surabaya, Agus Machfud Fauzi melihat, bahwa kontestasinya masih relatif standar dan masih normal. "Hanya memang yang agak kurang normal itu di dua tempat, kabupaten Kediri dan Ngawi karena disitu yang tampil hanya satu calon. Masa si tidak ada calon lain?," Tanyanya.

Padahal, sebetulnya pada proses Pilkada saat ini bisa menampilkan kontestan lain untuk memilih yang terbaik. Hal tersebut juga berbeda dengan Kota Pasuruan dan Banyuwangi.

"Pikiran teman-teman partai itu tidak seluruh dengan substansi demokrasi, dari rakyat untuk rakyat, dan oleh rakyat. Seharusnya proses pencalonan tidak mengikuti arahan DPP partai tapi mengikuti aspirasinya kemana. Padahal seharusnya bila di Kediri ada beberapa calon aspirasinya ada banyak warga juga kan. Kalau masyarakat marah, saya pikir sang calon bisa di kalahkan oleh kotak kosong. Tapi kalau hanya ngambek maka calon bisa jadi menang," terangnya

Baca Juga: Pemkab Mojokerto Alokasikan Dana Cadangan Pilkada Rp 55 Miliar

Menurutnya, bila di tempat lain masih relatif normal dalam proses kontestasi. "Namun yang perlu di kritik seperti Banyuwangi karena mengapa harus menampilkan seorang istri, kan bisa menampilkan yang lain. Meskipun boleh oleh undang-undang tetapi kan kok kelihatannya tidak ada yang lain, seperti dinasti begitu. Secara regulasi boleh tapi kok menggangu substansi demokrasi," pungkasnya.

 

Sudah Ada Itikad

Hal yang sama juga diungkapkan pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam. Menurut Surokim, kejadian seperti di Pasuruan, Banyuwangi bahkan Surabaya, menduga ada itikad untuk membangun politik kekuasaan atau dinasti.

"Memang tidak bisa ditampik dan harus diakui, potret pilkada di kabupaten/kota, relasi keluarga, dinasti, terlihat dominan," kata Surokim.

Surokim pun mencontohkan Gus Ipul yang turun kelas di Pilwali Kota Pasuruan. Surokim menilai bahwa majunya Gus Ipul di Kota Pasuruan, kental dengan unsur pragmatisme politik. Faktor itu pula yang menjadi latar belakang kenapa Pasuruan yang dipilih menjadi labuhan karir politik Gus Ipul selanjutnya. "Baik modal sosial, ekonomi, dan simbolik yang dimiliki oleh kandidat-kandidat sehingga kemudian politik kekerabatan tidak bisa kita hindari dalam konteks pragmatisme kita," katanya.

Turun kelas, bukan berarti langkah Gus Ipul akan makin ringan. Surokim menilai pilkada kali ini justru jadi beban tersendiri bagi salah satu Ketua PBNU tersebut. "Justru akan jadi beban Gus Ipul. Ibaratnya majunya Gus Ipul di Kota Pasuruan ini bajunya kekecilan, tapi kecil ini wajib untuk sukses. Tidak ada kata tidak untuk berhasil," ucapnya. byt/cr2/ana/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU