Home / Hukum & Pengadilan : Satgas Anti Mafia Tanah Sejak Dibentuk Agustus 201

MASIH MANDUL!

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 15 Nov 2018 08:56 WIB

MASIH MANDUL!

SURABAYA PAGI, Surabaya Dengan diungkapnya kejahatan agraria oleh Polrestabes Surabaya, Senin (12/11/2018) yang berskala kecil. Satgas Anti Mafia Tanah yang dibentuk Polda Jatim dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Jatim mulai mendapat sorotan publik. Pasalnya, sejak dibentuk Agustus 2017 lalu dan diperpanjang oleh Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan pada 23 Oktober 2018 lalu, hingga kini belum satu pun perkara yang ditangani berlanjut ke pengadilan. Mafia tanah kelas kakap yang beredar di Jawa Timur pun bahkan belum berani disentuh oleh kepolisian. Padahal, permainan mafia tanah itu diduga melibatkan oknum notaris, PPAT, pejabat BPN hingga adanya oknum aparat. Dari catatan Surabaya Pagi, setidaknya ada beberapa perkara sengketa tanah yang diungkap. Terbaru, sengketa tanah di Gunung Anyar, dengan modus memalsukan dokumen. Kini masih dalam proses penyidikan yang ditangani Unit Harda Satreskrim Polrestabes Surabaya. Juga ada Allan Tjipta Rahardja, yang diduga mencaplok lahan dua petani dengan mengatur sejumlah akta otentik dari notaris dan BPN. Perkara Allan ini bahkan sudah ditangani Dirreskrimum Polda Jatim sejak tahun 2017 lalu. Selain itu juga ada perkara permainan akta otentik untuk menguasai tanah di Asemrowo, Surabaya yang melibatkan oknum notaris, pejabat BPN Surabaya serta bos Properti. Dan sejumlah perkara besar tanah lainnya. Akan tetapi dalam lima tahun terakhir, sengketa tanah ini belum pernah masuk ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Diduga, peran Satgas Anti Mafia Tanah yang diinisiasi Polda Jatim dan BPN masih mandul. Hal itu diungkapkan sejumlah praktisi hukum M Sholeh, pengacara senior yang juga dosen hukum Universitas Surabaya Dr. Sudiman Sidabukke serta Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Fahruddin. Melihat kinerja Satgas Anti Mafia Tanah itu, advokat M. Sholeh heran. Ia mengakui minimnya penuntasan kasus dari Satgas Anti Mafia Tanah, memang perlu dilihat dari beberarapa sisi. "Ini tidak sampai P21 karena apa. Kalau karena kurang bukti, ya saya tidak bisa berkomentar. Tapi kalau karena penyidiknya malas, ya itu harus ditindak," tandas Sholeh dikonfirmasi terpisah, kemarin. Menurutnya, penyidik harus kerja keras karena kasus pertanahan membutuhkan data yang akurat. Sebab, dalam sejumlah kasus pertanahan yang ia tangani, banyak mafia tanah yang bermain. "Banyak praktik mafia yang bermain bersama oknum-oknum BPN. Seperti kasus yang pernah saya tangani di Sidoarjo, ada pasangan suami-istri yang sudah menjual tanahnya. Karena mereka bercerai, lalu si suami memblock sertifikat tanah dan itu disetujui sama BPN. Kan nggak mungkin bisa itu seharusnya," tegasnya. Jaringan Pemodal Kuat Hal sama diungkapkan pakar hukum Universitas Surabaya (Ubaya) Sudiman Sidabukke. Ia memandang bahwa kaitan permainan mafia tanah yang terjadi saat ini sudah sedemikian parah. Hal tersebut menurutnya bertalian erat dengan teori supply and demand. "Pemain mafia tanah ini biasanya jaringan yang berasal dari pemilik modal. Mereka yang memiliki modal kuat dan bersedia untuk membayar lebih. Itu dulu pemicunya," ungkap Sudiman, secara terpisah. Peran vital PPAT sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam urusan pertanahan ini dipandang oleh pria yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum sangat rentan untuk menjadi oknum mafia tanah. "Karena itu kan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka yang bersinggungan dengan kaitan pertanahan langsung," jelas Sudiman. "Ditambah lagi, PPAT ini kan sering kali juga punya jaringan yang luas di BPN sebagai sentral urusan pertanahan. Apabila pemilik modal, oknum PPAT, dan oknum BPN ini berkongsi jahat, maka itu akan runyam," tambahnya. Terkait lambatnya proses penyidikan dari Satgas Anti Mafia Tanah, menurut Sudiman hal tersebut sering kali dikarenakan minimnya SDM di lingkungan Kepolisian yang paham akan hukum agraria atau pertanahan. "Pengalaman saya, di level Polsek atau Polres itu yang paham hampir tidak ada. Di level Polda pun jumlahnya sedikit. Harusnya, ada penyidik yang mengkhususkan diri pada bidang hukum agraria atau pertanahan untuk mempercepat proses penyidikan," tegas Sudiman. "Mereka yang ada dengan pemahaman minim ini pun, kalau kita dari praktisi yang kasih input, nggak akan mau nerima ini mereka," tandas Sudiman. Tidak Pro Aktif Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Fahruddin mempertanyakan kinerja Satgas Anti Mafia Tanah yang terkesan mandul. "Kalau melihat jumlahnya LP tentu patut kita bertanya tanya, hasil gelar perkaranya gimana? Kalau cuman yang diinfokan itu saja, ya susah menilainya," katanya. Kepolisian harusnya mampu menindaklanjuti LP dan secara terbuka terus memberikan SP2HP kepada pelapor," lanjut Fahruddin. Menurutnya, dalam beberapa kasus yang diadvokasi oleh MCW, Kepolisian cenderung tidak pro aktif memberikan SP2HP kepada Pelapor. Itu yang mengakibatkan pelapor sering pesimis terhadap kinerja Kepolisian. Terkait kasus pertanahan sendiri, lanjut Fahruddin, MCW selama ini masih mendapatkan temuan terkait kasus Prona. "Juga soal ruislag tanah. Terutamanya soal pungutan di kasus itu, banyak. Beberapa sudah disampaikan kepada kepolisian, tapi ya kembali lagi ke penanganan di kepolisian," tutur dia. Kapolda Kesulitan Sementara, Kapolda Irjen Pol Luki Hermawan mengaku, cukup kesulitan membongkar permasalahan kasus tanah yang ada di Jawa Timur. Bahkan banyak sekali para pelaku-pelaku mafia tanah. Memang perlu ketelitian. Jadi ke depan, kita tekankan hingga Polres dan Polsek untuk bisa menyelesaikan permasalahan sengketa tanah di Jatim. Karena memang masalah tanah ini menjadi program prioritas dari Bapak Presiden yang ditindaklanjuti oleh Polri, tegas Kapolda Irjen Luki, saat melakukan perpanjangan penandatanganan kesepahaman (Memory of Understanding, MoU) antara Polda Jatim dan BPN tentang pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah, Oktober 2018 lalu. Seperti diketahui, sejak Polda Jatim memperpanjang membentuk Satgas Anti Mafia Tanah Oktober 2018 lalu, baru satu perkara sengketa tanah yang mulai dibongkar oleh Polrestabes Surabaya. Senin (12/11/2018), Satreskrim Polrestabes Surabaya sudah menetapkan dua tersangka. Yakni, HM Ichsan Jafar (67) warga Jalan Wadungasri RT 4 RW 2 Waru, Sidoarjo atau tinggal Medokan Ayu RW 2 serta Nurkasan P Ansori (65), warga Gunungayar Sawah RT 5 RW 4, Surabaya. Keduanya diduga telah memalsukan dokumen tanah petok D milik HM Adhy Suharmadji BA (60), warga Medayu Utara XX, Rungkut, atas persil 3 Kelas Desa 2 No 1159 seluas 15.460 m2 di Gunung Anyar Tambak Surabaya. Sementara, beberapa perkara sengketa tanah yang ditangani Polda Jatim, seperti Allan Tjipta Rahardja dengan Nomor laporan LPB/1237/X/2017/UM/Jatim tanggal 8 Oktober 2017 dengan aduan membuat surat palsu dan memberikan keterangan palsu pada akta autentik dan nomor laporan : LPB/1221/X/2017/UM/JTM pada tanggal 5 Oktober 2017 dengan sangkaan pencemaran nama baik dan atau pencemaran nama baik menggunakan tulisan seperti pada pasal 310, 311, 3335 KUHP. Pun hingga November 2018 ini masih tetap dalam penyelidikan. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung menegaskan proses kasus dengan terlapor Allan Rahardja masih berjalan. Menurut Barung, lamanya penanganan tersebut karena polisi masih melakukan penyelidikan dan pemeriksaaan yang masih belum lengkap. "Masih gelar perkara mas, mungkin masih menunggu saksi-saksi dan bukti yang belum lengkap," kata Frans Barung. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU