Menteri Edhy, Diduga Disuap Eksportir Lobster

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 25 Nov 2020 22:08 WIB

Menteri Edhy, Diduga Disuap Eksportir Lobster

i

Penampakan Menteri KKP Edhy Prabowo (duduk) saat ditangkap oleh sejumlah penyidik KPK di terminal 3 Soekarno-Hatta, Rabu (25/11/2020) dinihari WIB. SP/istimewa/humas kpk

 

ATM milik Menteri Kelautan dan Perikanan Disita. Kartu dari Bank Pemerintah ini Disinyalir Tempat Transfer dari Eksportir. Konon Saat di Luar Negeri telah Digunakan Sekitar Rp 1 Miliar. Semalam, Menteri Jokowi dari Gerindra, Resmi Ditahan KPK 

Baca Juga: Lagi, KPK Periksa Kabag Perencanaan dan Keuangan Setda Lamongan

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta— Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, yang ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rabu (25/11/2020) dinihari WIB, diduga tersangkut korupsi penetapan calon eksportir benih lobster.

Dalam penangkapan di Terminal 3 Bandara Soekarno - Hatta, tercatat ada 17 orang termasuk, Iis Rosita Dewi, istri Edhy Prabowo yang adalah anggota Komisi V DPR RI. Disamping beberapa pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pengusaha swasta yang diduga eksportir yang monopoli ekspor benih lobster.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan Edhy ditangkap tim KPK di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang saat kembali dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

"Tadi malam (Rabu dinihari, red) Menteri Kelautan dan Perikanan diamankan KPK di Bandara 3 Soetta saat kembali dari Honolulu," ungkapnya sambil membenarkan dalam OTT ini, penyidik senior KPK Novel Baswedan ikut terlibat.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan kegiatan OTT dilakukan oleh tim atas penugasan resmi. Menurutnya, tiga kepala satuan tugas (kasatgas) diturunkan, termasuk penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

"Kegiatan ini dilakukan oleh tim KPK atas penugasan resmi dengan menurunkan lebih tiga kasatgas, baik penyelidikan dan penyidikan. Termasuk juga dari JPU yang ikut dalam kegiatan dimaksud," kata Ali kepada wartawan, Rabu (25/11/2020).

Penangkapan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) didahului dengan berbagai rangkaian kegiatan penyelidikan satu minggu sebelumnya dan tidak terjadi tiba-tiba.

Menurut sumber KPK itu, sebelum lawatan Edhy dan rombongan ke luar negeri, khususnya Amerika Serikat, telah terjadi komunikasi dengan pihak swasta atau pengusaha yang mengurusi proses penetapan calon eksportir benih lobster saat pengajuan di KKP.

Dalam komunikasi ini terjadi dugaan kesepakatan antara para pihak termasuk alokasi uang untuk Edhy selaku Menteri KKP. Proses transaksi terjadi melalui transfer antar-rekening bank. Transfer terakhir terjadi saat Edhy di luar negeri.

Saat dalam lawatan di luar negeri, Edhy diduga melakukan penarikan atau penggunaan uang yang telah ditransfer pengusaha. Jumlahnya hampir Rp 1 miliar.

 

Ijin Penyadapan Beberapa HP

Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan, penangkapan Edhy telah dikoordinasikan. Sebab sebelum OTT tersebut, ada izin penyadapan yang diajukan penyelidik.

"Ya (sudah ada izin) penyadapan. Nomor yang disadap," ujar anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, kepada wartawan, Rabu (25/11/2020).

Bahkan menurut Syamsuddin, nomor HP yang diberikan izin untuk disadap tak cuma 1, melainkan beberapa nomor HP.

Namun Syamsuddin tak bisa menyebut nomor siapa saja yang disadap begitu pula kapan izin diajukan.

"Malah beberapa kali tambah nomor. Saya lupa kapan tepatnya, karena banyak izin untuk kasus lain juga," kata Syamsuddin.

Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, sebelumnya mengatakan penangkapan Edhy diduga terkait penetapan calon eksportir benih lobster. Dalam penangkapan itu, KPK turut menyita sejumlah barang, termasuk kartu debit ATM.

 

Rp 1.500,- Perbenih Lobster

Menurut informasi yang dihimpun sampai semalam, kartu debit ATM tersebut digunakan sebagai alat transaksi penerimaan uang dari berbagai perusahaan yang akan mendapatkan jatah ekspor benih lobster. Konon kartu debit ATM tersebut,  dipegang oleh ajudan Edhy.

Sementara dari izin ekspor benih lobster, Menteri Edhy diduga menerima Rp1500 per 1 ekor benih lobster. Dari berbagai penerimaan uang senilai Rp 9 miliar, Edhy kemudian membelanjakannya sebagian untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Terkait penerimaan kartu ATM tersebut, Plt juru bicara KPK Ali Fikri membenarkannya. Kendati demikian, dia belum mau menyebut berapa jumlah nominal uang dalam ATM tersebut.

“Turut diamankan sejumlah barang diantaranya kartu debit ATM yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi dan saat ini masih diinventarisir oleh tim,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dikonfirmasi, Rabu (25/11/2020).

 

Jokowi Percaya KPK

Di sisi lain Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung angkat bicara perihal ini. Jokowi percaya KPK bekerja profesional.

Baca Juga: Dalami Korupsi Pembangunan Gedung Pemkab, KPK Periksa Eks Ketua DPRD Lamongan

"Tentunya kita menghormati proses hukum yg tengah berjalan di KPK, kita menghormati, saya percaya KPK bekerja transparan terbuka profesional", tutur Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Rabu (25/11/2020)

Jokowi pun yakin KPK bekerja secara profesional dan transparan. Jokowi menegaskan dukungan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. "Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," ujar Jokowi.

 

DPR Minta Ekspor Dihentikan

Terkait penangkapan Menteri KKP Edhy Prabowo, yang diduga berkaitan dengan ekspor benih lobster. Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDIP, Riezky Aprilia, sempat memberi rekomendasi kepada Edhy Prabowo soal ekspor benih lobster. Rekomendasi itu yakni menghentikan ekspor benih lobster yang dibuat pada 22 September 2020.

Isinya, mendesak KKP menghentikan ekspor benih lobster jika permintaan untuk diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak mengenai ekspor benih bening lobster (BBL) tidak dijalankan dalam 60 hari.

"Komisi IV DPR RI mendesak Pemerintah c.q. Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengenai ekspor Benih Bening Lobster (BBL), selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak Rapat Kerja ini, dan apabila Peraturan Pemerintah belum diterbitkan dalam waktu yang ditentukan, maka Komisi IV DPR Ri mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan sementara ekspor Benih Bening Lobster (BBL)," bunyi kesimpulan rapat yang dikirimkan Riezky.

Saat itu, Riezky juga mengungkapkan Komisi IV beberapa kali sempat melakukan rapat dengan KKP terkait persoalan benih lobster pada September. Namun, kata dia, Edhy Prabowo berhalangan hadir saat itu. "Terakhir rapat dengan KKP di masa sidang kemarin sebelum penutupan masa sidang sebelumnya akhir September kalo tidak salah, pada saat rapat selama September saudara menteri tidak bisa hadir karena sedang berhalangan, karena beliau sedang tidak sehat juga saat itu," ucapnya.

 

Anggota DPR Gerindra Ikut Diamankan

Selain Edhy, KPK disebut mengamankan total 17 orang. Hal itu dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango membenarkan informasi penangkapan Edhy Prabowo Cs tersebut.

Tak hanya Edhy Prabowo, terdapat sejumlah pihak lainnya yang turut diringkus dalam operasi senyap tersebut. Diantaranya, Edhy Prabowo (Menteri KP), Iis Rosita Dewi (istri Menteri KP/Anggota Komisi V DPR RI), Yenny Sinta Dewi (Analis Protokol, sub Bagian Acara Pimpinan KKP), Mohamad Hekal (Anggota DPR VI dari Gerindra), Slamet Soebjakto (Dirjen Budidaya KKP), Pung Nugroho Sasono (Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP),  Muhammad Zaini Hanafi (Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP), Lettu Yudha Pratama (Ajudan Menteri KKP), Rokhmad Mohamad Rofiq (Kepala Subdit Perbenihan Ikan Air Payau, pada Dit. Perbenihan, Ditjen Budidaya KKP), Desri Yanti (Kepala Bagian Humas), Ali Mochtar Ngabalin (Staf KSP Jokowi).

Ali Mochtar Ngabalin pun mengakui ikut dalam rombongan Edhy Prabowo. Bahkan, Ali Ngabalin mengakui melihat proses operasi tangkap tangan KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

 

Kunjungan Kerja di AS

Baca Juga: KPK Nilai Masalah Perizinan Masih Jadi Titik Rawan Korupsi, KAD Jatim dan KOK Gelar FGD

Menteri Edhy bertolak ke Amerika Serikat untuk memperkuat kerja sama bidang kelautan dan perikanan dengan salah satu lembaga riset di Negeri Adidaya tersebut. Kerja sama ini dalam rangka mengoptimalkan budidaya udang secara berkelanjutan di Indonesia.

Dalam jadwal, Menteri Edhy Prabowo diagendakan mengunjungi Oceanic Institute (OI) di Honolulu, Negara Bagian Hawaii. OI merupakan organisasi penelitian dan pengembangan nirlaba yang fokus pada produksi induk udang unggul, budidaya laut, bioteknologi, dan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Lembaga ini afiliasi dari Hawai'i Pacific University (HPU) sejak tahun 2003.

KKP memilih menjalin kerja sama dengan OI menurut Sekretaris Jenderal KKP, Antam Novambar lantaran lembaga ini memiliki teknologi dan para ahli yang mumpuni di sektor budidaya berkelanjutan, khususnya spesies udang. Target dari kerja sama adalah adanya transfer teknologi serta pendampingan teknis di bidang genetika udang dari OI.

 

Menteri Ketiga Jokowi

Sementara, dari catatan Surabaya Pagi, Edhy Prabowo merupakan menteri ketiga era Presiden Jokowi yang berurusan dengan KPK. Namun 2 menteri sebelumnya sudah terbukti bersalah dan bahkan salah satunya sudah bebas setelah menjalani hukuman pidana.

Menteri pertama, yakni Imam Nahrawi yang dijerat KPK saat masa akhir jabatannya pada pertengahan September 2019. Dia ditetapkan KPK sebagai tersangka yang kemudian membuatnya mundur dari jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).

Dia diduga terlibat dalam pusaran kasus suap terkait dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk KONI. Proses hukum bergulir untuk Imam hingga divonis pada Senin, 29 Juni 2020.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Imam setelah dinyatakan bersalah menerima suap dan gratifikasi bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

Terakhir Imam mengajukan banding tetapi kandas sehingga tetap dihukum selama 7 tahun penjara.

Menteri kedua, terjadi setahun sebelumnya atau pada Agustus 2018. Yakni Idrus Marham, yang merupakan Menteri Sosial pada waktu itu.

Namun, sebenarnya, ketika ditahan KPK pada Jumat, 31 Agustus 2018 itu, Idrus sudah mundur dari jabatannya. Idrus dijerat KPK karena diduga mengetahui dan memiliki andil dalam penerimaan uang oleh Eni Maulani Saragih dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Menurut KPK, Eni--yang saat ditangkap menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR--menerima uang dari Kotjo.

Atas kasus itu, Idrus juga telah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan pada pengadilan tingkat pertama. Hukuman itu meningkat di tingkat banding menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Belakangan, Idrus berniat kembali mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung (MA).

Dari MA-lah Idrus mendapatkan banyak pengurangan masa hukuman. MA mengabulkan kasasi Idrus dan hukuman berkurang menjadi 2 tahun penjara. jk/eri/crk/umr/cr3/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU