Pasal 'Hoaks' UU ITE Makan Ribuan Korban

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 05 Agu 2020 21:51 WIB

Pasal 'Hoaks' UU ITE Makan Ribuan Korban

i

Ratna Sarumpaet, salah satu korban pasal UU ITE

Dari Orang Biasa Hingga Akademisi yang Kritis

 

Baca Juga: Sekolah Periksa Fakta RPS, Hindarkan Jariyah Keburukan dari Sebar Hoax

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta – Polemik wawancara di Youtube Anji eks vokalis band Drive dengan Hadi Pranoto tentang anti bodi Covid-19 ini berujung laporan pidana di Polda Metro Jaya. Pelapornya, Ketua umum Cyber Indonesia dalam laporannya menyangkakan pada pasal 28 Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (ITE). Pasal yang menyeret beberapa pihak yang melakukan kabar bohong, pun sudah memakan korban cukup banyak. Beberapa pihak pun menyebut pasal kabar bohong alias hoax itu sebagai pasal ‘karet’ UU ITE.

Dari catatan Surabaya Pagi, selama tahun 2019, pasal ‘karet’ UU ITE telah memakan puluhan korban. Pelapornya pun beragam, baik dari sesama warga negara maupun pejabat negara yang melaporkan warga negaranya.

Salah satu penggunaan pasal karet UU ITE demi membungkam kritik terjadi terhadap mantan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Ia diperkarakan karena melakukan orasi sembari bernyanyi mengkritik militer yang mulai masuk ke ranah sipil di depan Istana Negara.

Robet disangkakan telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ia dianggap melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

Robet dianggap telah melanggar pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.

Tak hanya Robet, korban lain UU ITE adalah jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono, yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada Jumat dini hari, 27 September.

Dandhy dikenai pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Dandhy dianggap menyebarkan "kebencian" lewat cuitan via akun Twitter dia tentang Papua pada 23 September. Menurut pengacaranya Alghiffari, pasal yang dituduhkan kepada Dandhy "tidak relevan".

"Apa yang dilakukan Bung Dandhy adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat apa yang terjadi di Papua," katanya saat itu sesaat setelah pemeriksaan di depan Gedung Reskrimum Polda Metro Jaya.

 

Baca Juga: Remaja Pasuruan Bisnis Jual Beli Foto dan Video Porno, Untung Rp 5 Juta Per Bulan

'Panen' UU ITE Sepanjang 2019

Sementara dari data SAFEnet, setidaknya ada sekitar 3.100 kasus terkait pasal-pasal dalam UU ITE sepanjang 2019.

Dari 3.100 kasus itu, 22 persennya adalah kasus hoaks dan 22 persen lain adalah masalah pencemaran nama baik. Dan angka ini meningkat dibandingkan tahun 2017 dan 2018.

"Artinya apa? Artinya, terjadi dengan pasal-pasal karet. Tetap saja pasal-pasal yang banyak digunakan adalah pasal karet dalam UU ITE. Undang-undang ini masih digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi, menjerat hak orang untuk bicara," kata Anton Muhajir, Ketua dari SAFEnet.

Bahkan, sepanjang tahun 2019, ada sebuah kasus dosen di Aceh, yakni Saiful Mahdi, justru hak atas kebebasan akademiknya, tetapi dijerat dengan  UU ITE. Bahkan, kelompok-kelompok kritis dari akademik inilah yang juga kerap menjadi “korban”.

 

Baca Juga: Pelaku Kejahatan di WhatsApp Nyaman

3 Alasan Hoax Dijerat UU 1/1946

Sementara, salah satu guru besar Hukum Pidana UGM Eddy O.S.Hiariej, berpendapat apabila seseorang menyiarkan suatu berita bohong yang menimbulkan kegaduhan, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 14 UU 1 tahun 1946. Pendapat Guru besar Eddy O.S. Hiariej ini ada tiga alasan, mengapa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 masih berlaku.

Alasan pertama  adalah tidak adanya satu pun peraturan perundang-undangan yang mencabut maupun mengganti Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46. Berdasarkan Asas Preasumtio Iustae Causa perbuatan pemerintah harus dianggap sah sampai dinyatakan sebaliknya.

Dalam konteks perundang-undangan, suatu peraturan harus dianggap berlaku sampai dinyatakan tidak berlaku. Sepanjang penelusuran Penulis ketentuan yang memuat pencabutan maupun perubahan UU 1/46 ditemukan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 73/58. Pasal 2 hanya mencabut Pasal 16 UU 1/46. Lalu dalam Pasal 3 UU 73/58 Pemerintah menyisipkan Pasal 154a dalam KUHP sebagai pengganti Pasal 16 UU 1/46.

Kedua, dengan menggunakan penafsiran A Contrario terhadap Pasal 2 UU 73/58, Pemerintah telah mengakui Pasal 16 UU 1/46 sah dan berlaku apabila tidak dicabut. Menurut Kansil, penafsiran A Contrario ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal (Kansil, 1984). Lebih lanjut, dengan menggunakan penafsiran sistematis Penulis berkesimpulan bahwa terhadap peraturan lain yang tidak dicabut tentu masih belaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat, termasuk Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46. Penafsiran Sistematis sendiri merupakan metode penafsiran dengan menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang an sich  maupun dalam undang-undang lain (Kansil, 1984).

Ketiga, Pasal 1 UU 73/58 telah tegas menyatakan bahwa “Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia”. Dalam menafsirkan pasal tersebut Penulis menggunakan penafsiran Gramatikal. Menurut Kansil, penafsiran Gramatikal adalah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang. Dengan menggunakan penafsiran Gramatikal dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut menghendaki UU 1/46 berlaku secara utuh (Kansil, 1984). Artinya, Pasal a quo tidak hanya menghendaki permberlakuan KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU 1/46 yang menyatakan bahwa “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku adalah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”. Implikasi dari berlakunya seluruh pasal dalam UU 1/46 adalah berlaku pula Pasal 14 dan Pasal 15. tm/re/cr4/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU