Home / Korupsi : Rentetan Serangan ke KPK, dari Teror Air Keras hin

Peluang Terapkan Obstruction of Justice

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 06 Feb 2019 09:40 WIB

Peluang Terapkan Obstruction of Justice

SURABAYAPAGI.com - Dua petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diserang saat memantau rapat Pemprov Papua di Hotel Borobudur Jakarta, menambah rentetan teror. Sebelum peristiwa itu, kasus teror bom molotov terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan rumah Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. Serta, sudah setahun kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan belum terungkap. Dengan kejadian itu, apakah masuk kategori menghalangi kerja-kerja KPK yang dikaitkan dengan Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Pasal tersebut terkait dugaan perbuatan merintangi penanganan perkara atau yang disebut dengan obstruction of justice. ----- Dua pegawai KPK diduga mengalami penganiayaan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2) malam. Saat itu tengah berlangsung rapat antara Pemprov dan DPRD Papua membahas APBD 2019. Kedatangan dua pegawai KPK tersebut berbekal laporan dari masyarakat mengenai indikasi korupsi. KPK sudah melaporkan dugaan penganiayaan itu ke Polda Metro Jaya. Namun Pemprov Papua melaporkan balik pegawai KPK berinisial MGW ke Polda Metro Jaya. Tuduhan yang dilaporkan, pencemaran nama baik dan/atau fitnah melalui media elektronik. Yakni, Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) dan/atau pasal 35 jo pasal 51 ayat (1) UU RI No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No 11/2008 tentang ITE. Jubir KPK Febri Diansyah enggan membeberkan kasus yang tengah diselidiki, terkait pegawainya yang dianaya. Pasalnya, kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Febri juga menegaskan kedua pegawai KPK sudah melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur yang berlaku di lembaganya. Ia memastikan kedua pegawainya itu membawa surat tugas. Sedang kedua pegawai KPK tersebut bertugas untuk memvalidasi informasi terkait indikasi korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat. "KPK melakukan cross-check ke lapangan agar data itu validitasnya kuat. Indikasi tindak pidana korupsi ini, kami pastikan diproses lebih lanjut," ujar Febri, Selasa (5/2/2019). Febri juga menyampaikan pegawai KPK yang menjadi korban pemukulan sudah menjalani visum dan rekam medis. Nantinya, dua dokumen itu akan menjadi bahan pembuktian atas laporan pihaknya. "Untuk pertanyaan siapa yang melakukan penganiayaan, tentu akan lebih baik jika kita mempercayakan hal tersebut pada tim Polri yang sudah mulai bekerja," ucap Febri. Mengenai laporan balik Pemprov Papua, Febri mempersilakannya. Namun menurutnya, pidana pencemaran nama baik merupakan delik aduan atau hanya bisa diproses atas laporan orang yang dirugikan. "Menjadi pertanyaan hukum juga, apakah institusi negara atau daerah dapat menjadi korban dalam artian penerapan pasal pencemaran nama baik seperti yang diatur di UU ITE atau KUHP? Bukankah aturan tersebut merupakan delik aduan?" papar Febri. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang akan mempelajari penerapan Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal ini disebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). "Soal adanya tanggapan publik apakah pemukulan itu masuk kategori yang bisa KPK kenakan menghalangi kerja-kerja KPK dikaitkan dengan Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999, nanti KPK pelajari lebih dahulu," ujar Saut Situmorang. Jadi Polemik Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto membenarkan ada peluang KPK menerapkan pasal 21 UU Tipikor di kasus tersebut. Namun, menurut Sigit, kasus ini sudah jelas bisa ditindak dengan dua pasal KUHP. "Terlepas dari perdebatan (penerapan) pasal 21 (UU Tipikor), sebenarnya melakukan tindak kekerasan terhadap pejabat negara yang sedang melaksanakan tugas merupakan tindak pidana," papar Sigit. Sigit menjelaskan pelaku penganiayaan terhadap dua pegawai KPK bisa dijerat dengan pasal 212 atau 213 KUHP. Pasal tersebut lebih tegas karena menjerat pelaku yang melanggar hukum dengan melawan aparat. Sementara soal penerapan pasal 21 UU Tipikor, kata Sigit, masih perlu kajian karena ketentuan di dalamnya multitafsir. Selain itu, menurut dia, proses pembuktian ada upaya merintangi penyidikan lebih rumit. Sigit pun menganalogikan dengan penerapan pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan negara bisa dijerat dengan 2 UU Tipikor. Saat ditemukan ada penyalahgunaan wewenang di perbuatan korupsi itu, pelaku juga bisa dikenai pasal 3. Oleh sebab itu, Sigit menilai langkah KPK melaporkan kasus penganiayaan dua petugasnya ke polisi sudah tepat. "Menurut saya, sekarang lebih baik itu diterapkan suatu pasal yang lebih konkret berdasar perbuatan, tanpa harus menafsirkan. Kalau menafsirkan nanti multitafsir, itu makin luas. Sedangkan penganiayaan itu perbuatan yang dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat berdiri sendiri," tandas Sigit. Usut Tuntas Sementara itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta agar kasus penganiayaan dua pegawai KPK yang sedang bertugas diusut tuntas. Peneliti PSHK, Gita Putri Damayana, menyebut kasus tersebut tidak dapat hanya dimaknai sebagai penganiayaan terhadap seseorang, tetapi merupakan upaya menghalangi penegakan hukum, serta bentuk teror terhadap kerja-kerja KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Apalagi kejadian ini bukan yang pertama. Sebelumnya, aksi teror terjadi terhadap penyidik dan pimpinan KPK, tetapi sampai saat ini belum terungkap pelakunya. Semua pihak harus mendesak penegak hukum untuk bekerja secara cepat dan profesional terhadap berbagai kasus yang kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, ujar Gita. Selain itu, menurut Gita, upaya pengungkapan kasus ini harus menjadi prioritas dan menyeluruh, mengingat kompleksitas aktor dan dimensi kasus-per kasusnya yang berpotensi melumpuhkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU