Pemblokiran Medsos, tak Melihat Cost and Benefit

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 24 Mei 2019 08:35 WIB

Pemblokiran Medsos, tak Melihat Cost and Benefit

Rangga Putra, Wartawan Surabaya Pagi Pemanfaatan media sosial mesti dibarengi dengan kesadaran digital yang memadai agar tidak memunculkan dampak destruktif yang dapat memporak-porandakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyusul kerusuhan di sejumlah titik di Jakarta, Selasa (21/5/2019) dan Rabu (22/5/2019), pemerintah Indonesia mengambil kebijakan pemblokiran secara parsial dan temporer akses terhadap layanan sejumlah media sosial. Pemblokiran oleh pemerintah ini pun dinilai sejumlah pakar Informasi Teknologi dan pakar Komunikasi Surabaya, tak efektif. Pakar Sistem Informasi Institut Teknologi Surabaya (ITS) Nisfu Asrul Sani menyebut, jika pemerintah tidak mempunyai indikator yang jelas untuk mengukur bagaimana maupun seberapa masif penyebaran hoaks, maka upaya pemblokiran medsos tidak bisa dikatakan efektif. Pria yang juga menjabat sebagai Kaprodi Sistem Informasi ITS ini mengungkapkan, jika pemerintah memiliki indikator penyebaran hoaks, maka masyarakat juga perlu mengetahuinya. Soalnya, jika pemerintah tidak memiliki indikator yang jelas, maka masyarakat hanya bisa menduga-duga bagaimana sebuah informasi hoaks tersebut beredar. "Misalkan saja dari sisi cost and benefit, ternyata kejadiannya seperti membunuh cicak dengan meriam, cicak mati tembok juga ikut retak. Masyarakat yang pada saat itu menggunakan media sosial sebagai tulang punggung utama pekerjaannya terhenti total. Masyarakat lain yang tidak terkait ikut terkena dampaknya. Bunuhlah cicak dengan karet gelang saja, tidak perlu menggunakan meriam," cetus Nisfu saat dihubungi Surabaya Pagi, Kamis (23/5/2019) kemarin. Menurut Nisfu, penyedia jasa medsos sejatinya tidak seluruhnya terblokir. Jadi, upaya menyebar hoaks bisa saja melalui celah-celah ini. Selain itu, sambungnya, masyarakat juga tak kurang akal dengan menyematkan aplikasi VPN (virtual private network). Hanya saja, masyarakat awam berpotensi terjerat cybercrime karena komunikasi datanya dilewatkan penyedia VPN. "Hingga sejauh ini, pemblokiran medsos guna menangkal penyebaran hoaks, tidak kentara efektivitasnya," papar Nisfu. Menurut Nisfu, sebaiknya pemerintah lebih serius membuat mekanisme filter yang lebih jitu. Pasalnya, filter ini tidak hanya untuk kejadian akhir-akhir ini saja, tapi juga untuk pada masa mendatang. Walaupun pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pemblokiran, di sisi lain masyarakat dihimbau untuk berbaik sangka dengan langkah tersebut. "Selama masyarakat terhubung dengan internet, maka tidak ada yang mustahil untuk mengirim dan menerima informasi," tegas Nisfu. Pendapat serupa juga diutarakan oleh pakar sosiologi politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Agus Mahfud Fauzi. Menurutnya, pemblokiran media sosial tersebut sama halnya dengan pengekangan kebebasan berpendapat ala rezim orde baru. Ketika itu, segala opini yang berlawanan dengan pemerintah, disensor bahkan ada yang sampai dibredel. Kini, pembredelan itu berupa pemblokiran medsos. "Menurut saya pemblokiran medsos itu sama dengan pengekangan kebebasan berekspresi seperti era orde baru." n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU