Pilpres 2019 Diwarnai Aksi Saling Serang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 22 Des 2018 10:09 WIB

Pilpres 2019 Diwarnai Aksi Saling Serang

SURABAYAPAGI.com, Jakarta - Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai percakapan ruang publik hanya diisi narasi bermakna sarkastik dan antagonis di luar kesantunan selama kampanye Pemilu 2019. "Selama tiga bulan ruang publik dipenuhi narasi di luar kesantunan, narasi berbau sarkastik, antagonis. Padahal capres dan peserta pemilu tak hanya mengedepankan syahwat politik kekuasaan, tetapi perlu peran edukasi," ujar Karyono, dalam sesi diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/12). Pertarungan politik di Pemilu 2019, menurut dia, jauh dari nilai kepribadian sebagai bangsa yang memiliki budaya ketimuran ciri kesantunan dan toleransi. Namun, kata dia, pada hari ini budaya mulai tergerus adanya politik Dajjal. Dia melihat, penyebab pertama munculnya politik Dajjal karena sistem politik. Sistem politik terutama setelah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengubah berbagai regulasi UU, peraturan. Dia menjelaskan, tata cara pemilihan presiden-wakil presiden diganti dengan sistem pemilihan langsung. Menurut dia, perubahan sistem pemilihan merupakan lompatan yang mungkin terlalu cepat untuk di Indonesia. "Kenapa Founding Father mengedepankan musyawarah mufakat bukan pemimpin. Itu ciri masyarakat indonesia. Mungkin, karena ketidaksiapan mempengaruhi elite politik dan masyarakat," kata dia. Sementara itu, penyebab kedua, kata dia, budaya Indonesia mengedepankan prinsip kesantunan dan keterbukaan. Bukan malah informasi kebablasan atau apa yang disebut komunikasi interpersonal di media sosial. "Tidak hanya Indonesia menghadapi fenomena. Di sejumlah negara juga kewalahan menghadapi bebasnya medsos. Perlu dikembalikan harus berpolitik beradab. Politik Dajjal terus terjadi paling tidak April 2019. Salah satu ciri apa yang disebut propaganda," tambahnya. Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Master C19 Portal KMA, Ahmad Syauqi, meminta kepada elite politik agar memberikan pendidikan politik dan bukan merusak keutuhan yang membawa kerugian bagi negara ini. Dia mengibaratkan pada saat ini sudah banyak ditanam pohon-pohon beracun yang buahnya mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia terutama untuk generasi yang memimpin ke depan. Untuk mengatasi hal itu, kata dia, harus ditanam pohon obat. "Untuk membangun kebaikan harus dengan cara baik. Jadi tanggungjawab bersama pembentukan karakter jadi lebih baik dan jadi tanggungjawab seandainya generasi ke depan punya kebiasaan menyampaikan hal buruk," kata dia. Selain itu, dia menilai, Pemilu 2019 sudah berubah sebagai ajang pertarungan silat. Di pertarungan silat, dia menambahkan, pada prinsipnya harus menyerang dan menjatuhkan lawan walaupun dengan cara menyakiti. "Saya memahami filosofi orang di ilmu bela diri orang bertahan dengan cara menyerang dengan tujuan bertahan bukan tujuan menyakiti. Beda ahli bela diri dengan menghantami. Bagaimana bisa merangkul dan membangun harmonisasi," pungkasnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU