Home / Pilpres 2019 : Catatan Akal Sehat Perusahaan Pers Meliput Kampany

Pilpres tak Lakukan Edukasi, Pers Berakal Sehat Saatnya Kurangi Berita Poli

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 30 Jan 2019 22:37 WIB

Pilpres tak Lakukan Edukasi, Pers Berakal Sehat Saatnya Kurangi Berita Poli

Jelang HPN (Hari Pers Nasional) 2019, saya akan menulis dengan pendekatan akal sahat untuk pengusaha pers, bukan wartawan yang menyiarkan berita politik kampanye Pilpres 2018. Akal sehat saya ini berdasarkan realita era digital bahwa wartawan tanpa pengusaha pers, tidak akan bisa berkomunikasi dengan publik. Khususnya atas karya jurnalistiknya. Bahasa manajemennya, wartawan itu subsistem dari perusahaan pers tempatnya bekerja. Bahasa ekonomi era pers digital, karya jurnalistik seorang wartawan, bila tanpa ada media yang memuatnya tak memiliki pengaruh. Mengingat tulisan wartawan di media sosial yang tak terdaftar di Dewan Pers Indonesia, bisa dikatagorikan bukan karya jurnalistik. Ekses hukumnya, tulisan wartawan di Medsos semacam itu bisa dianggap hoax. Akal sehat saya mencatat, pada era digital sekarang ini, perusahaan pers menjadi katub utama, peran dan fungsi pers baik secara universial maupun berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Nah, dengan budaya jurnalisme seperti sekarang ini, langkah perusahaan pers yang membolehkan korannya diisi berita politik yang memproganda calon tertentu. Ini semua terkait politik redaksi yang tidak boleh berseberangan dengan business plan pengusaha pers. Dalam Pilpres 2019 kali ini saya belum menenukan ada perusahaan pers mau dijadikan perusahaan partisan. Inilah fakta bahwa media massa atau perusahaan pers adalah sebuah industri. Industri yang semula dibiayai oleh pemodal, tapi lama-lama berubah menjadi industri yang dibiayai oleh masyarakat (iklan dan langganan). Berikut catatan akal sehat saya jelang peringatan HPN 2019 sekaligus debat Capres kedua, 17 Februari 2019. Catatan jurnalistik akal sehat pertama saya mengkaji realita karya jurnalistik dan perusahaan pers saat pesta demokrasi Pemilu 2019 (Pilpres, Pileg dan DPD). Dr. H. Tatang Istiawan Wartawan Surabaya Pagi Saya mencatat kampanye sampai akhir Januari 2019 ini cenderung nyinyir, sarat ujaran kebencian dan tak ada edukasi. Bahkan akal sehat saya menyimak, ada kampanye negatif yaitu kampanye yang cenderung mencari kesalahan atau kegagalan lawan. Kadang disertai perang diksi dan gimik. Malahan ada Capres yang menyebut politikus sontoloyo dan genderuwo, budek dan buta yang tak melihat keberhasilan dan capaian dari Jokowi selama menjadi Presiden RI. Ada capres yang menuding bahwa perekonomian Indonesia saat ini dijalankan dengan sistem ekonomi kebodohan. Saya belum mendapat kampanye dari kedua caprer mengadakan kampanye cerdas yang membahas isu teraktual dengan data dan solusi. Apalagi yang berdampak langsung pada masyarakat seperti kemiskinan dan kesejahteraan. *** Beberapa kali ketemu masyarakat kelas menengah ( pebisnis, praktisi hukum dan akademisi) saya mendengar ada semacam keresahan. Resah khawatir akan ada konflik horisontal soal kebangsaan yang telah dirintis oleh founding father NKRI sejak tahun 1945. Salah satu masalah kebangsaan yang mengusik kaum cendekiawan adalah munculnya jargon politik NKRI Syariah? Sebagai jurnalis, akal sehat saya terusik siapa yang memunculkan NKRI syariah ? Untuk siapa? Mengapa NKRI yang sudah berlangsung 73 tahun akan dimodifikasi dengan syariah? Apakah pemerintah era Soekarno sampai Jokowi selama ini tidak mengakomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia yang heterogen, bermacam suku, pemeluk agama, etnis sampai gender? Akal sehat saya menyerap aspirasi dari publik belakangan ini dunia politik keruh. Apalagi kedua kubu, sudah saling olok-mengolok. Akal sehat saya bertanya, benarkah kedua capres ini bisa menciptakan pemerintahan yang demokratis. Apalagi dalam beberapa peristiwa, kedua kubu menyampaikan kampanye dengan pernyataan-pernyataan emosional. Akal sehat saya menilai pernyataan seperti ini jauh dari apa yang dikatakan cerdas, kenapa? Sepertinya demi kekuasaan, kedua capres hilang kecerdasannya. Padahal mereka berpendidikan sekolah yang tinggi. Akal sehat saya kampanye model mengolok-olok selama ini tak ubahnya upaya membodohi masyarakat. *** Peristiwa-peristiwa politik semacam ini bila diliput wartawan akan menjadi karya Jurnalistik. Dan bila kemudian disiarkan ke publik oleh perusahaan pers, informasi ini memiliki dampak. Praktis, antara jurnalis tik dan perusahaan pers dua hal yang saling berkaitan, namun memiliki pengertian yang berbeda. Jurnalistik merupakan bentuk kerja, atau hasil kerja jurnalis. Sedangkan perusahaan pers merupakan media yang digunakan oleh para jurnalis untuk menyampaikan hasil kerja jurnalistiknya. Akal sehat saya mengatakan jurnalistik yang berperan penting dalam penyebarluasan pesan atau berita kepada publik. Informasi yang disampaikan wartawan melaslui perusahaan pers kepada publik, dapat merangsang, mempengaruhi, hingga mengubah prilaku sekaligus menggerakkan mayarakat. Tentu dapat menggerakkan secara positif, seperti mengerakkan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam aktivitas pembangunan, dan sebagainya. Tak salah dosen-dosen ilmu komunikasi menyebut bahwa jurnalistik memiliki peran sebagai agen pembaharu dalam proses perubahan sosial. *** Menurut akal sehat saya, diantara penerbit pers Indonesia sudah banyak yang berwatak kapitalistik. Penerbit semacam ini umumnya telah menggunakan akal sehat bahwa jurnalistik juga dapat dibeli oleh salah satu capres untuk menggerakkan masyarakat agar memihak dirinya. Ini yang menyeretnya menjadi penerbitan partisan. Akal sehat saya bisa memahami bila diantara penerbit pers yang kapitalistik mencatat peristiwa seperti diatas tidak menguntungkan imperium bisnisnya. Makanya, penerbit pers seperti ini yang akan menjadi pelopor mengurangi porsi pemberitaan kampanye pilpres. Apalagi pada era digitalisasi peran pers untuk publik semakin sangat penting. Terutama sebagai sarana edukasi, dan penyeimbang informasi di masyarakat. Pada tataran tertentu, informasi berita bisa disetarakan dengan ilmu. Tentu informasi sebagai ilmu yaitu sesuatu yang belum diketahui akan diketahui orang setelah ia membaca berita di perusahaan pers. Nah, ternyata dalam hajatan terbesar rakyat Indonesia lima tahun sekali ini menurut akal sehat saya telah membosankan. Padahal, kelompok pemikir berharap pilpres 2019 ini bisa dijadikan ajang politik yang dinamis dan menarik. Perusahaan pers berakal sehat yang saat ini mengurangi porsi berita politik, bisa berpikiran agar pembacanya tidak menjadi korban politik suguhan elite politik. Sikap ini cerminan dari eksistensi perusahaan pers atas peran dan fungsi dalam menjujung tinggi nilai-nilai kearifan, kejujuran, dan ketidakberpihakan. Menurut akal sehat saya, perusahaan pers yang sekarang mengurangi porsi pemberitaan politik mulai ingat peranannya sebagai pendidik. Sekaligus pemberi informasi yang jujur dalam memelihara kearifan budaya masyarakat. Dalam pikiran akal sehat saya, dengan gambaran kampanye politik yang makin membosankan. Dan berkecenderungan tidak memberi pencerahan kepada masyarakat, wajar bila perusahaan pers yang berakal sehat mulai tidak mem-blow up berita-berita kampanye dari kedua capres. Akal sehat saya pada bulan Januari 2019 ini berkeyakinan berita politik kampanye capres sudah tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan merubah prilaku, apalagi menggerakkan masyarakat. Bahkan akal sehat saya mensinyalir jumlah anggota masyarakat yang kritis tidak akan menggunakan hak pilihnya alias golput. Menurut akal sehat saya, perusahaan pers yang berakal sehat insha Alloh bisa memotret pertarungan antar dua capres Jokowi dan Prabowo selama ini. Akal sehat saya mencatat kedua capres bersama kubunya juga masih sibuk saling serang, pojokan, kritik dan tebar kebencian. Masuk akal, perusahaan pers yang berakal sehat akan mengambil keputusan untuk kurangi terus porsi berita politik. Mengingat, realita sampai akhir Januari 2019 ini, kedua capres dan kubunya sama-sama masih tidak (belum) nyata mengedukasi masyarakat. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU