Pindah Ibu Kota atau Bangun Daerah Lain?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 02 Mei 2019 11:31 WIB

Pindah Ibu Kota atau Bangun Daerah Lain?

Gagasan pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta yang dinilai tidak lagi layak menjadi pusat pemerintahan, senantiasa muncul di setiap era presiden. Kali ini gagasan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat dorongan segar setelah dibahas di tingkat rapat kabinet terbatas, Senin (29/4) lalu. Namun gagasan pemindahan ibu kota ini menjadi polemik di tengah tahapan Pemilu 2019 yang belum tuntas. Ada yang menyebut sebagai pengalihan isu. Ada pula yang setuju dengan gagasan pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Bahkan, ada yang tak sepakat dan mengusulkan anggaran pemindahan ibu kota dibuat untuk membangun perekonomian daerah lain. Lantas, kebijakan apa yang paling tepat? ----------- Jaka Sutrisna-Teja Sumantri, Tim Wartawan Surabaya Pagi Pengamat tata kota dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga menanggapi wacana pemerintah yang ingin memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Menurut Nirwono, jika wacana itu direalisasikan, dipastikan akan membutuhkan anggaran yang sangat besar. Berdasarkan catatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dibutuhkan biaya sekitar Rp 323 hingga Rp 466 triliun untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain di luar Pulau Jawa. Nirwono berpendapat, ketimbang memindahkan ibu kota, lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk mengembangkan wilayah lain. "Akan lebih baik jika dana itu kita gunakan untuk mengembangkan kota-kota, baik itu di luar Jabodetabek, artinya masih di Jawa, atau pun pembangunan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa," papar Nirwono, Rabu (1/5/2019). Dengan adanya pembangunan di wilayah luar Jakarta, diharapkan dapat menarik minat warga daerah lain mencari mata pencaharian di kota tersebut. Karena menurut Nirwono, salah satu penyebab sejumlah permasalahan di Jakarta disebabkan oleh tingginya angka urbanisasi. Ia mencontohkan, sejumlah kota di luar Pulau Jawa yang dapat dikembangkan oleh pemerintah, seperti kota Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Palembang (Sumatera Selatan). Selain itu, ada Kalimantan terdapat Kota Balikpapan, Pontianak, dan Banjarmasin yang berpotensi untuk menjadi pusat ekonomi. Untuk Pulau Sulawesi, terdapat Kota Makassar, Manado, dan Kendari yang dapat menjadi pusat pembangunan. Bahkan di Papua seperti Kota Jayapura, Merauke, dan Sorong dapat dikembangkan lebih baik lagi. "Sehingga warga di ketiga provinsi itu merasakan tidak perlu lagi berurbanisasi ke Jakarta karena semua sudah ada di masing-masing provinsi," terang Nirwono. Menurut Nirwono, Jakarta sesungguhnya masih sanggup untuk menjadi ibu kota Indonesia. Asalkan, permasalahan banjir, macet, dan urbanisasi dapat segera dibenahi oleh pemerintah pusat dan Pemrov DKI. "Dengan demikian jika hal itu menjadi alasan utama pemindahan ibu kota, hal tersebut menjadi tidak relevan. Sehingga jika itu dilakukan ya, artinya Jakarta masih bisa dibenahi ke depannya," ujar Nirwono. Bukan Solusi Hal senada diungkapkan Yayat Supriyatna, pengamat perkotaan lainnya. Menurutnya, pemindahan ibu kota tersebut justru akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan soal keseimbangan ekonomi daripada menjawab permasalahan tersebut. "Apakah Bappenas sudah mempertimbangkan tidak, ada kemungkinan biaya hidupnya menjadi lebih mahal daripada di Jakarta, karena sumber dayanya justru lebih banyak di Pulau Jawa," ungkap Yayat. "Orang bisa saja pindah, tapi jika fasilitas pendukung pertumbuhan, kebutuhan orang sehari-hari, tidak selengkap atau sebaik yang ada di Pulau Jawa, tetap saja orientasi orang tetap akan ke Pulau Jawa," tambahnya lagi. Yayat mengingatkan bahwa fasilitas pendidikan dan kesehatan terbaik sampai sekarang masih lebih banyak berada di Jawa, sehingga pembangunan ibu kota baru juga setidaknya harus bisa menyamai fasilitas-fasilitas tersebut. Namun di sisi lain, dia mengingatkan agar ibu kota baru nanti tidak menjadi "Jakarta kedua" dengan memunculkan ketimpangan baru, karena pembangunan yang terfokus pada ibu kota baru, dan melupakan kota-kota di sekitarnya. Bukan pertama kalinya rencana soal pemindahan ibu kota dibahas oleh pemerintah, namun kini Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, dalam keterangan pada media menyebut pemindahan pusat administrasi pemerintahan, ke luar dari Jakarta akan dimulai pada 2018 atau 2019 karena pembangunan ekonomi antara di Pulau Jawa dengan pulau lainnya tidak seimbang. Bappenas sendiri belum menyebut di mana nantinya ibu kota baru itu akan dipindahkan, namun salah satu yang sering disebut adalah di Pulau Kalimantan, atau di Palangka Raya. Kota ini memiliki luas sekitar 2.400 km persegi, sementara wilayah yang terbangun itu baru 50 km persegi. Belajar Negara Lain Pada 21 April 1960, Brasil mencatat sejarah baru dengan memindahkan ibu kota negara dari Rio de Janeiro ke Brasilia sebagai kota yang memang dirancang untuk keperluan tersebut. "Untuk master plan-nya disayembarakan secara internasional untuk mendapatkan desain terbaik. Lalu konstruksi awalnya butuh hampir empat tahun. Dengan desain yang menarik Brasilia dianugerahi status World Heritage oleh UNESCO," kata Wilmar A. Salim, dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota yang juga Kepala Pusat Penelitian Infrastruktur dan Kewilayahan ITB. Sedang Dosen Rancang Kota di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Evawani Ellisa, mengatakan meskipun secara umum beberapa hal bisa diprediksi dengan akurat oleh tim perancang dalam membuat kota baru, faktanya lebih banyak persoalan muncul di luar pengalaman dan pengetahuan perancang. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Bappenas melakukan kajian mendalam. Persiapannya perlu dilakukan dengan prinsip dasar bahwa kawasan yang direncanakan merupakan katalis yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam hal ini kita bisa belajar dari kasus Putrajaya dan Brasilia, ibu kota baru yang lebih banyak mengundang kritik dari pada pujian," lanjutnya. Untuk menghindari kesalahan yang timbul dalam membangun kota baru, sebagaimana Malaysia membangun Putrajaya, Indonesia justru bisa belajar dari pengalaman dalam negeri sehubungan dengan pembangunan kota-kota satelit. "Setelah lebih dari 20 tahun sejak diresmikan, Putrajaya masih belum tumbuh sebagai kota yang hidup. Ini adalah problem dan konsekuensi yang juga sangat mungkin akan dihadapi ibu kota baru Indonesia nanti, jelas dia. "Bandingkan dengan BSD (Bumi Serpong Damai) yang dibangun di masa yang sama dengan Putrajaya, namun kini telah berhasil menjadi kota metropolitan yang semakin mandiri," kata Evawani. Pengalihan Isu Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan tidak ada urgensi pemindahan ibu kota negara. Ia menduga wacana ini sengaja diembuskan untuk mengalihkan isu. "Saya kira wacana itu isapan jempol saja untuk mengalihkan isu. Sudahlah ini omong kosong yang dilakukan oleh Presiden Jokowi," kata Fadli usai menghadiri Hari Buruh di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/ 2019). Menurut Fadli rencana pemindahan ibu kota merupakan isu lama yang sengaja kembali diembuskan. Isu ini hanya angin lalu dan hanya menjadi wacana yang tak akan pernah terwujud. "Dulu juga begitu empat atau lima tahun yang lalu. Nanti juga reda sendiri," ujar Fadli. Pemindahan ibu kota, kata dia, perlu perencanaan matang dan persiapan yang panjang. Bukan wacana yang ujung-ujungnya hanya dilontarkan tanpa dasar. "Kalau mau memindahkan ibu kota ayo duduk rencanakan dengan matang, bukan lontaran tiba-tiba," tuturnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU