Politik Identitas Ancam Pilwali

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 02 Sep 2019 06:47 WIB

Politik Identitas Ancam Pilwali

Imbangi Dominasi PDIP di Surabaya, Parpol Lain Punya Celah Mainkan Politik Identitas. Sebab, Hampir 10 Tahun Kebijakan-kebijakan Tri Rismaharini selama Walikota Dinilai tak Jelas pada Kepentingan Islam Miftahul Ilmi-Alqomar, Tim Wartawan Surabaya Pagi Siapa sosok pengganti Tri Rismaharini yang bakal maju pada Pemilihan Walikota (Pilwali) Surabaya 2020, masih teka-teki. Ada yang menyebut kalangan dari birokrat seperti Hendro Gunawan dan Eri Cahyadi punya kans kuat. Namun dua pejabat yang dekat Risma itu belum memiliki kendaraan partai politik (parpol). Sementara calon yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dinilai memiliki peluang besar untuk menang. Selain memiliki massa akar rumput yang kuat, PDIP juga menguasai DPRD Kota Surabaya dengan 15 kursi. Apalagi jika PDIP bisa berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kemenangan seakan di depan mata. Isu NU-Nasionalis disebut masih layak jual, seperti halnya pada Pilpres 2019 lalu maupun Pilgub Jatim 2018. Benarkah demikian? Ternyata, hal itu bukan jaminan. Masih ada celah bagi calon yang diusung di luar PDIP dan PKB untuk menggoyang kekuatan calon yang diusung dua parpol tersebut. ---------- Dari hasil Pileg 2019 lalu, PDIP mendapat 15 kursi untuk DPRD Kota Surabaya. Disusul PKB, Gerindra, Golkar dan PKS masing-masing 5 kursi. Lalu PSI dan Demokrat sama-sama 4 kursi. Sedang PAN dan Nasdem sama-sama 3 kursi, serta PPP cuma 1 kursi. Dengan jumlah kursi sebanyak itu, PDIP bisa mengusung Calon Walikota dan Wakil Walikota Surabaya sendiri. Sedang partai lain untuk mengusung Cawali dan Wakilnya harus berkoalisi. Hal tersebut sesuai peraturan KPU, yang menyebutkan persyaratan mengusulkan Cawali dan Wawali minimal oleh 20 persen dari jumlah anggota DPRD. Sedangkan jika ada yang ingin maju melalui jalur independen (perseorangan), harus memiliki dukungan 6,5 persen dari jumlah penduduk Surabaya di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan dengan melampirkan surat dukungan disertai e-KTP. Hingga kini sudah banyak calon kandidat cawali yang muncul. Diantaranya, mantan Kapolda Jatim Machfud Arifin, Wakil Walikota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, Sekkota Surabaya Hendro Gunawan, Kepala Bappeko Surabaya Eri Cahyadi serta mantan Ketua DPRD Surabaya Armuji yang kini menjadi anggota DPRD Jatim periode 2019-2024. Kemudian, menantu mantan Gubernur Jatim Soekarwo, Bayu Airlangga yang kini menjadi anggota DPRD Jatim periode 2019-2024. Lalu mantan juru bicara Khofifah-Emil, Gus Hans serta keponakan Gubernur Jatim Khofifah, yakni Lia Istifhama yang disokong Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA) Abdul Chalik mengatakan masih ada celah bagi partai di luar PDIP dan PKB untuk menang di Pilwali Surabaya 2020. Salah satunya dengan cara memainkan politik identitas. Nasionalis-religius sangat dinantikan di Pilwali Surabaya. Namun belajar dari sebelumnya, aspek religius tidak ada yang mewakili. Kebijakan kebijakan Risma (Walikota Surabaya Tri Rismaharini, red) tidak tampak jelas pada kepentingan Islam. Sisi ini bisa dimainkan oleh Gerindra, PKS, dan PAN. Isu identitas bisa dimainkan. Itu cara lain untuk ngimbangi dominasi PDIP, ungkap Abdul Chalik kepada Surabaya Pagi, Minggu (9/1/2019). Selain kekuatan politik partai, figur yang dicalonkan menjadi faktor penting dalam memenangkan Pilwali Surabaya. Menurut Abdul Chalik, warga Surabaya sudah bosan dengan tokoh-tokoh lama. Mereka butuh sosok pemimpin baru. Misalnya, sosok Ahmad Mawardi, mantan ketua forum RT/RW, anggota DPD RI dua periode, dan mantan anggota DPRD Jatim. Dia cukup layak dijual. Selain itu bisa Anwar Sadat dari Gerindra, atau Ketua PCNU Muhibbin Zuhri bisa jadi alternatif, tuturnya. Faktor Figur Calon Sementara itu, Direktur Eksekutif Surabaya Consulting Group (SCG) mengatakan, proporsi Pilkada berbeda dengan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg). Dalam Pileg, partai penting sebagai mesin penggerak tim kampanye. Tetapi dalam Pikada, figur yang dicalonkan juga sangat vital. Apalagi penghitungan kursi koalisi partai pendukung kadang tidaklah paralel dengan hasil perolehan Pilkada. Begitu juga di Pilwali Surabaya. Mesin partai politik memang penting. Tapi, faktor figur juga sangat menentukan, paparnya. Maka dari itu, partai politik perlu memahami ceruk pemilih di suatu daerah. Sehingga tidak asal mencalonkan paslon dengan kalkulasi matematis hasil perolehan Pileg semata, ujarnya. Didik menambahkan, PDIP selama ini memang merajai dari Pemilu ke Pemilu, baik Pileg maupun Pilkada. Maka keputusan pencalonan akan sangat ditentukan oleh kebijakan DPP PDIP. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah PDIP akan mengusung calon internal semua tanpa berkoalisi dengan partai lain? Atau akan mencoba resep baru dengan berkoalisi bersama partai lain? Semisal PKB, Golkar, PSI (Partai Solidaritas Indonesia) atau Demokrat, terang dia. Sedangkan, lanjut Didik, partai di luar PDIP memiliki peluang untuk menang jika bisa menemukan figur kuat. Yakni, figur yang mampu menjawab keinginan masyarakat Surabaya. Seperti kita ketahui, kepuasan pemerintahan Bu Risma sangatlah tinggi. Ini menimbulkan konsekwensi figur pengganti yang diinginkan adalah sejenis Bu Risma. Jadi, setidaknya dia itu harus gila kerja (workaholic), terbuka, tegas, orientasi pada pembangunan kota dan solutif, katanya. Didik menyampaikan, riset SCG bulan Februari 2019 menemukan bahwa pemilih Surabaya terbuka terhadap semua figur. Pemilih lebih menekankan pada kualitas kepemimpinan calon Walikota tersebut untuk dapat memenangkan hati masyarakat, jelasnya. Perubahan Politik Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam berpendapatn basis massa yang dimiliki oleh kalanga NU-Nasionalis memiliki keuntungan tersendiri bagi PDIP-PKB di Pilwali Surabaya 2020. Secara tradisional iya, kombinasi NU-Nasionalis akan menjadi keuntungan untuk PDIP-PKB di Pilwali Surabaya 2020 kelak. Pemilih PDIP dan PKB memang sangat mendominasi di Surabaya, ujar Rokim. Hanya saja, menurutnya, saat ini ada perubahan di peta politik basis tradisional. Peta basis tradisional akan kian mencair seiring dengan tumbuhnya pemilih rasional. Apalagi habit dan kecenderungan perilaku memilih warga kota kian cair dan kian individial tidak lagi komunal. Karena itu basis tradisional bisa jadi tetap berpengaruh tapi tak lagi perkasa dan menjadi satu-satunya variabel, papar Surokim. Belum bicara elektabilitas figur yang dimajukan, jika PDIP-PKB bisa mencari figus yang mencapai 45 persen hingga 55 persen maka ada peluang cukup besar, tambah Dekan Fisib Universitas Trunojoyo Madura itu. Kombinatif figur kuat dengan elektabilitas yang berpadu dengan partai tradisional yang kuat, seperti PDIP dan PKB, maka akan memunculkan peluang lebih besar. Selain itu, jangan lupa ada variabel X yang menentukan, yaitu momentum. Momentum itu akan menentukan nanti di awal 2020 hingga masa pendaftaran di April 2020, pungkas dia. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU