Posisi KPK Jadi Tak Jelas

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 18 Okt 2019 00:01 WIB

Posisi KPK Jadi Tak Jelas

UU KPK Hasil Revisi Berlaku, Penindakan KPK seperti OTT dan Penetapan Tersangka Berpotensi Digugat. Sedang Dewan Pengawas hingga kini Belum Dibentuk Jaka Sutisna-Erick Kresnadi, Tim Wartawan Surabaya Pagi Tanpa tanda tangan Presiden Jokowi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi, resmi berlaku mulai Kamis (17/10/2019). Namun berlakunya UU ini membuat posisi KPK menjadi tidak jelas. Ada beberapa ketentuan yang sudah berlaku, misalnya soal status pimpinan KPK bukan penyidik. Kemudian adanya Dewan Pengawas, izin penindakan kepada Dewan Pengawas dan lain sebagainya. Semua itu dinilai pakar hukum bisa menimbulkan kekacauan hukum. ------ **foto** "Ada beberapa ketentuan yang sudah berlaku misalnya soal status pimpinan KPK bukan penyidik. Ketika dikatakan bukan lagi penyidik karena sudah dihapus, apakah kemudian bisa melakukan tugas penyidik?" kata Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Refly Harun, Kamis (17/10/2019). Konsekuensi dari tidak jelasnya posisi dan wewenang KPK dalam menangani kasus, menurut Refly, bisa berakibat pada penggugatan oleh tersangka ke pengadilan. Ketika menetapkan sebagai tersangka, mereka sudah bisa melakukan bahwa penyadapan tidak boleh dilakukan karena harus izin Dewan Pengawas. Sedangkan Dewan Pengawas yang disebutkan dalam UU KPK baru, belum dibentuk. "UU ini banyak lubang yang bikin tersangka bisa menggugat di peradilan, tandasnya. Meski begitu, jika di dalam UU KPK yang baru tidak ada pasal tentang aturan peralihan, maka KPK masih bisa melanjutkan proses penyidikan dan penyelidikan seperti biasa setelah UU KPK baru berlaku. "Kalau aturan peralihan enggak ada, ya KPK bisa bekerja seperti semula. Enggak ada masalah," terang dia. Kekacauan Hukum Hal senada diungkapkan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurutnya, beberapa pasal kontroversial dalam UU 30 Tahun 2002 tentang KPK hasil revisi, berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Beberapa ketentuan baru seperti tidak adanya pasal peralihan, adanya dewan pengawas, izin penindakan kepada dewan pengawas dan lain sebagainya. Penting untuk ditegaskan bahwa seluruh pasal yang disepakati oleh DPR bersama pemerintah dipastikan akan memperlemah KPK dan mengembalikan pemberantasan korupsi ke jalur lambat, kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Kamis (17/10). Kurnia juga menyesali sikap Presiden Joko Widodo yang tak kunjung juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Padahal, banyak pihak yang sudah mendesak Jokowi untuk mengeluarkan Perppu tersebut. Padahal dengan Perppu KPK, Presiden bisa dianggap melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, sesal Kurnia. Kurnia mengatakan, apa yang dijanjikan Jokowi soal dukungannya kepada KPK berbanding terbalik dengan sikapnya itu. Padahal, lanjut Kurnia, seluruh syarat untuk penerbitan Perppu telah terpenuhi. Mulai dari kebutuhan mendesak karena pemberantasan korupsi akan terganggu, kekosongan hukum, sampai pada perubahan UU baru yang membutuhkan waktu lama (Putusan MK tahun 2009). Presiden Jokowi semestinya tidak gentar dengan gertakan politisi yang menyebutkan akan melakukan pemakzulan jika menerbitkan Perppu. Sebab, kesimpulan tersebut tidak mendasar. Perppu pada dasarnya adalah kewenangan prerogatif presiden dan konstitusional. Lagi pun pada akhirnya nanti akan ada uji objektivitas di DPR terkait dengan Perppu tersebut, tutur Kurnia. Belum Diberi Nomor Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari mengatakan UU PK) hasil revisi baru berlaku setelah diberi nomor dan masuk lembaran negara oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sepanjang UU KPK baru itu belum diberi nomor dan masuk lembaran negara, maka belum resmi berlaku. "Kalau belum ada nomor, belum masuk lembaran negara, belum ditandatangani kapan berlakunya, undang-undang ini, maka belum bisa dikatakan berlaku," kata Feri, Kamis (17/10). Menurut Feri, sepanjang pengetahuan dirinya penomoran dan memasukan ke dalam lembaran negara sebuah undang-undang baru sudah diatur. Sehingga, setelah melewati waktu 30 hari, undang-undang itu langsung diberi nomor dan masuk lembaran negara. "Tetapi hari ini kita lihat apakah sudah ada nomornya, dan masuk lembaran negara, kan begitu. Per hari ini apakah sudah ada nomor masih tanda tanya," ujarnya. Feri mengatakan UU KPK baru ini sebetulnya masih menyisakan persoalan. Salah satunya salah ketik alias typo hingga tak ada ketentuan peralihan setelah undang-undang ini berlaku. Dalam UU KPK baru menyebut bahwa aturan ini berlaku setelah dewan pengawas terbentuk. "Esensinya adalah ada kealpaan luar biasa dari revisi uu ini, sehingga proses transisi itu tidak diatur," ungkapnya. Dikonfirmasi terpisah, Kabag Humas dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Tri Wahyuningsih meminta menunggu sampai pihaknya memberi nomor dan memasukan dalam lembaran negara. "Mohon ditunggu ya. Insyaallah (hari ini/kemarin)," ucap Tri. Merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah dikirim ke presiden untuk disahkan. Presiden, dalam waktu paling lama 30 hari dari waktu RUU itu disetujui DPR dan pemerintah, mengesahkan RUU tersebut. Jika dalam jangka waktu itu tak ditandatangani presiden, maka RUU tersebut sah dan wajib diundangkan. DPR telah telah menyerahkan perbaikan dokumen UU KPK hasil revisi kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Terdapat sejumlah salah ketik atau typo dalam UU KPK yang sudah disahkan pada 17 September lalu. Tim Transisi KPK KPK membentuk tim transisi untuk menyikapi berlakunya Undang-Undang KPK yang baru, setelah dilakukan revisi oleh pemerintah bersama DPR. "Tim transisi sudah dibentuk untuk meminimalkan kerusakan pasca undang-undang berlaku karena ada sejumlah kewenangan KPK yang berkurang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (17/10). Menurut Febri, pihaknya akan tetap melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi namun yang menjadi persoalan apakah akan bisa sekuat sebelumnya itu yang akan dilihat karena dengan adanya UU yang baru ada sejumlah pembatasan. Febri menyebutkan, sebelumnya sudah ada 120 operasi tangkap tangan dan di rancangan UU yang baru ada 26 poin serta sejumlah pertentangan. Akan tetapi, pihaknya memastikan tetap menjalankan tugas seperti biasa dan hari ini (kemarin) ada pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka, ungkapnya. Febri menyampaikan, dengan adanya UU yang baru ada sejumlah prosedur yang harus diubah seperti surat perintah penyidikan yang tidak lagi ditandatangani oleh pimpinan. Ia mengatakan UU ini berlaku sejak tanggal diundangkan dan terkait Perppu ia mengatakan hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan dan presiden. Boleh OTT Sementara itu, mantan panitia khusus (Pansus) RUU KPK, Arsul Sani, menjelaskan, KPK masih diperbolehkan menyadap sesuai dengan UU sebelumnya, selama Dewan Pengawas (Dewas) dari presiden belum terbentuk. "Dalam Pasal 69 D UU perubahan kedua UU KPK, secara tegas telah menyatakan bahwa dalam hal dewas belum dibentuk maka pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang sudah ada itu dilaksanakan bedasarkan ketentuan yang berlaku sebelum UU (KPK) ini," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Ia menilai, ada kesesatan informasi yang beredar di masyarakat saat ini. Khususnya terkait kewenangan KPK yang dianggap banyak pihak dilemahkan oleh UU KPK yang telah disahkan. "Dengan berlakunya UU KPK, sementara dewan pengawas belum terbentuk maka seolah-olah KPK tidak bisa melakukan OTT lagi. Karena OTT dimulai dengan penyadapan, sementara penyadapan belum bisa dilakukan karena belum ada dewan pengawas yang nanti akan dimintai izin. Ini adalahmiss leading information (informasi yang menyesatkan)," ujar politisi PPP ini. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU