Home / Pilpres 2019 : ANALISIS PILPRES

Prabowo Blunder

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 09 Apr 2019 10:51 WIB

Prabowo Blunder

Rangga Putra, Wartawan Surabaya Pagi Calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto yang mengusulkan uang pensiun untuk koruptor, dinilai blunder. Pasalnya, Prabowo bolak-balik mengkritik korupsi di Indonesia sudah stadium IV. Usulan itu bahkan kontradiktif dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian diungkapkan Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Ucu Martanto, Direktur Parlemen Watch Umar Sholahudin, dan Pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya Purwanto, yang dihubungi terpisah Surabaya Pagi, Senin (8/4/2019). Pernyataan Prabowo Subianto tentang pemberian dana pensiun bagi koruptor yang bertobat itu merupakan blunder. Itu jelas kontraproduktif dengan narasi-narasi pemberantasan korupsi, ujar Ucu Martanto. Mestinya, sambung Ucu, diperlukan penindakan yang lebih massif terhadap kejahatan rasuah yang merupakan extra ordinary crime ini. Bukan malah pemaafan. Dengan undecided voters yang kebanyakan datang dari kaum milenial yang notabene benci korupsi, pernyataan Prabowo ini jelas blunder. Masyarakat sekarang jadi bingung. Dulu mengatakan korupsi sudah stadium IV seperti kanker. Sekarang bilang mau diberi dana pensiun. Tidak sesuai dengan semangat UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) untuk memiskinkan koruptor, papar Ucu. Terpisah, Umar Sholahudin mengamini pernyataan kolega akademisinya itu. Menurutnya, pernyataan Prabowo yang hendak memberi dana pensiun bagi koruptor yang bertobat itu tidak tepat. Pasalnya, statement capres 02 tersebut malah kontradiktif dengan UU no. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Soalnya, dalam UU tersebut termaktub hukuman badan dan penyitaan harta. Kalau diberi dana pensiun itu tidak tepat. Tidak sesuai dengan konsep pemiskinan, jelas pria yang juga dosen Universitas Wijaya Kusuma (UWK) itu. Menurut Umar, bagi koruptor yang bertobat, tetap harus menjalani proses hukum. Walau begitu, tobat dan kerjasamanya dengan aparat penegak hukum, bisa menjadi pertimbangan hakim untuk memperingan hukuman. Misalnya, yang bersangkutan bisa menjadi Justice Collaborator (JC). Misalnya dia (koruptor) tobat. Dia kemudian mengembalikan uang negara sekaligus menjadi justice collaborator. Tetap diproses hukum. Hakim bisa mempertimbangkan kerjasamanya, ungkap Umar. Dihukum Mati Pernyataan berbeda diungkapkan oleh praktisi hukum senior asal Surabaya Purwanto. Dia mengungkapkan, pernyataan Prabowo itu harus disikapi secara bijak. Menurutnya, prinsip dasar dari upaya pemberantasan korupsi adalah menyelamatkan uang negara. Namun yang terjadi saat ini, sambung Purwanto, upaya pemberantasan korupsi hanya marak di bidang penindakan saja. Selain itu, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang menyebut hukuman badan dan menyita aset pelaku. Terkait hal ini, Purwanto justru mengkritik upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK. Saya mau tanya sekarang, berapa persen aset koruptor yang sudah dirampas negara? tanya Purwanto. (Contoh) Saya korupsi Rp200 miliar, tapi cuma dihukum penjara empat tahun. Ya saya milih dipenjara saja, lanjutnya. Di Tiongkok, Purwanto mencontohkan, konsep pemberantasan korupsinya pun sejatinya sama dengan Indonesia, yaitu menyelamatkan uang negara. Menurutnya, di sana para koruptor diberi jangka waktu tertentu untuk mengembalikan uang negara. Jika tidak mampu, baru dihukum mati. Nah, pernyataan Prabowo itu boleh jadi dia lebih ingin menyelamatkan uang negara, sesuai prinsip dasar pemberantasan korupsi. Wahai koruptor, berhentilah korupsi, kembalikan uang negara, cetus Purwanto. Namun demikian, Purwanto menyatakan lebih ingin para koruptor dihukum mati saja. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU