Home / Pilpres 2019 : Catatan Akal Sehat Demokrasi Indonesia Pilpres 201

Presiden, Chief of Law Enforcement, Prabowo bisa Terinspirasi John Austin

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 21 Jan 2019 22:10 WIB

Presiden, Chief of Law Enforcement, Prabowo bisa Terinspirasi John Austin

Pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan presiden merupakan penegak hukum tertinggi atau chief of law enforcement, terus menuai pro dan kontra di masyarakat. Terutama kalangan sarjana hukum dan politisi. Prabowo dalam debat capres itu mengklain pemikirannya karena adanya ketidakadilan pemerintah dalam penegakan hukum. Pendukung pemikiran Capres Prabowo antara lain, Ferdinand Hutahean, Juru Bicara Prabowo-Sandi. Politisi Partai Demokrat ini menilai ucapan Prabowo sudah tepat. Dalam pandangannya, seorang presiden, memang harus berada di garda paling depan memimpin penegakan hukum. Berbeda dengan sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Hasto Kristiyanto. Hasto menilai Prabowo Subianto membuat blunder. Pandangannya, pernyataan Prabowo berbahaya. Pendapatnya, seorang presiden tidak boleh intervensi atas masalah hukum. Sementara Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai pernyataan Prabowo dalam debat capres, menunjukkan bawah alam sadarnya, Nurcahyo menganggap Capres Prabowo masih terbawa model pemerintahan Orde Baru. Maklum, pada zaman otoritarian Orde Baru, Presiden Soeharto, bisa melakukan kontrol atas hukum. *** Akal sehat saya malam tadi baru menilai, pemikiran dan gagasan seorang manusia adalah hasil dari refleksi pengalaman empirik. Jadi, bisa jadi, Capres Prabowo, memotret persoalan ketidakadilan hukum dengan kacamata politisi. Pemikirannya ini akal sehat saya membawa ke gagasan ahli hukum John Austin, yang memperkenalkan pertama kalinya tentang positivisme hukum sebagai sistem. John Austin, menyampaikan pikiran-pikirannya dituangkan dalam karyanya berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Pria yang dilahirkan pada tahun 1790, di Sufflok, ini dibesarkan dalam keluarga pedagang. Bahkan Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan Malta. Meski demikian, Austin, juga mempelajari hukum. Baru pada tahun 1818, Austin, bekerja sebagai advokat. Tapi profesinya ini tidak dijalaninya secara serius. Dari advokat, Austin pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Baru pada tahun 1826 hingga 1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London University. Selain pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner untuk Malta (Arinto, 2010). Menariknya dari sosok John Austin, meski ia seorang juris Inggris, tetapi kuliah ilmu hukum justru diselesaikan di Bonn, Jerman. Praktis, Austin telah mempengaruhi pemikiran politik dan hukum Eropa Kontinental. *** Hampir setiap mahasiswa hukum, S-3 terutama diperkenalkan pemikiran Austin, bahwa hukum harus dipahami sebagai komando. Artinya Hukum merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando (laws are commands). Dalam pandangannya, hukum dianggap selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Bahkan hukum yang berlaku dalam masyarakat diakui oleh Austin, adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan menyangkut otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority). Dan Austin menyebutnya sebagai sovereign: penguasa yang berdaulat atas warganya. Dan otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap anggota masyarakatnya. Saat itu, Austin menyatakan pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja oleh sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas tertinggi ini antara lain: pertama, dia harus seorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa kecuali. Kedua, pemegang otoritas ini, baik satu orang maupun sekelompok orang, tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang otoritas ini adalah penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah penguasa lain. Dia adalah penguasa tertinggi. Berangkat dari pemikiran Austin ini, akal sehat saya menyatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah penguasa tertinggi yang de facto dipatuhi oleh semua warga dalam wilayah kekuasaannya. Dan ia tidak tunduk kepada siapapun. Dengan demikian, perintah (hukum) merupakan imperatif dari penguasa. Di sini, Austin berusaha mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum. *** Akal sehat saya tidak tahu apakah Capres Prabowo, membaca karya John Austin?. Ataukah tim pemikirnya yang memberi masukan tentang pemecahan problema hukum di Indonesia yang, suka atau tidak suka, masih carut-marut oleh ketidakadilan. Maka itu, akal sehat saya menyatakan, bila sekarang ini masih ada warga Negara Indonesia yang mengklaim di Indonesia ada keadilan dan tidak ada diskriminasi, orang ini perlu dikompres jidatnya. Masih sadarkah ia melihat realita di tengah masyarakat? Sebagai jurnalis yang masih suka meliput di kantor kepolisian dan pengadilan, saya masih mendapati praktek Hukum Indonesia belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Kejadian yang sering saya potret, justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pengusaha dan pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saya mengalami sendiri. Ada satu delik. Pengusaha yang advokat ini memiliki jaringan di kepolisian. Laporannya ditolak oleh aparat di daerah dengan argumentasi hukum. Tetapi karena si pengusaha ini dikenal suka menunjukkan taringnya, ia meminta kenalannya untuk memerintahkan aparat kepolisian di daerahnya, menerima laporannya. Ini salah satu contoh bahwa sampai era pemerintahan Jokowi, hukum di Indonesia yang berkuasa adalah yang mempunyai dana dan akses ke kekuasaan. Bahkan pengusaha-pengusaha yang mempunyai uang banyak cenderung aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Bahkan masih dibela oleh seorang jenderal. Sementara orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dipenjara. Sedangkan seorang pengusaha yang punya akses dengan kekuasaan tetapi tersangkut kasus masih dapat berkeliaran di udara bebas. Akal sehat saya bisa memahami bila ada anggota masyarakat yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. *** Akal sehat saya setuju konsep yang dilontarkan oleh Capres Prabowo bahwa presiden kepala Negara yang bisa mewujudkan sosok penegak hukum tertinggi atau chief of law enforcement, seperti yang pernah dipraktikan oleh presiden Soeharto, mertua Prabowo. Menurut akal sehat saya, pemikiran Prabowo, telah terinspirasi dari Austin yang pernah mengatakan bahwa hukum harus dipahami dalam arti komando. Mengingat, hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih, mematuhi atau tidak mematuhi. Ini karena Austin menilai, hukum bersifat non-optional. Pesan sosiologinya, perintah yang keluarkan oleh kepala Negaraditengah diskriminasi hukum seperti sekarang, harus ditaati oleh semua warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan. Ini karena seperti ditegaskan oleh Austin bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Mengingat, bila hukum hanya berupa tumpukan peraturan atau nasihat moral, maka hukum tidak memiliki implikasi hukuman apapun. Nah Pak Jokowi, bisa baca pemikiran John Austin, tentang positivisme hukum sebagai sistem. Maklum, karakteristik hukum menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Apa? Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Ini bisa terjadi karena kukum telah kehilangan esensinya sebagai komando. Maka, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar bagi siapa saja, termasuk pengusaha berduit dan penguasa. Konsep chief of law enforcement, menurut akal sehat saya dengan situasi kekinian, hukum harus dipaksa memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan mengancam subjek hukum yang melanggarnya. Terutama pelaku yang merasa kebal hukum, termasuk pengusaha kaya raya yang melakukan praktik curang. Akal sehat saya berharap, sebagai Negara hukum, secepatnya, di Indonesia, menindak setiap orang yang menjadi sasaran atau tujuan dari komando petinggi hukum. Tentu komando yang terikat untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikomandokan. Terutama komando menindak pelaku kejahatan publik termasuk KKN, mafia tanah, makelar kasus dan mafia proyek. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU