Prostitusi, Masyarakat Patriarki & Kapitalisme

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 23 Feb 2019 11:15 WIB

Prostitusi, Masyarakat Patriarki & Kapitalisme

SURABAYAPAGI.com - Prostitusi adalah implikasi yang muncul dari tandem absolut kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam perdebatan akademik, prostitusi tidak hanya term yang diletakkan atas dasar kausalitas rasional dari konsep patriarki dan kapitalisme. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah realitas empirik yang sudah ada sejak awal peradaban manusia. Sistem kapitalisme menjalankan perannya sebagai penggerak roda finansial berorientasi profit. Sementara, sistem patriarki menjalankan fungsi kontrol dominan, hukum dan aturan dalam rangka membangun sekat ruang otoritas yang masif dan totaliter. Keduanya merupakan dualitas dalam satu tubuh penindasan manusia. Sistem patriarki meletakkan suatu pseudo-boundary yang lahir dari pembagian struktur hierarki dalam rumah tangga, dimana sejak awal peradaban manusia, laki-laki sudah memiliki peran superior dari keberlanjutan oikos (rumah tangga), seperti berburu dan berperang pada konteks masa lalu, atau pada konteks sekarang, laki-laki bekerja dan menjalankan bisnis keluarga. Sementara perempuan tersingkir sebagai subjek subordinat yang tugasnya memasak, menjaga anak dan menunggu suaminya di rumah. Memang, pekerjaan rumah yang dilakukan para istri bukan niscaya tugas yang mudah. Namun, berat atau tidaknya tugas, besar atau kecilnya volume pekerjaan tidak lantas menginversi hierarki dalam rumah tangga. Para suami tentu tetap berlaku sebagai kepala keluarga yang punya hak eksklusif dari kepemilikannya atas keluarga tersebut. Sementara sang istri tak ubahnya merupakan bagian dari kepemilikan suaminya selama ia masih dalam kontrak ikatan pernikahan. Adapun kondisi demikian secara kultur historis mengalami transfer yang berkelanjutan dan turun temurun, lantas kemudian dianggap sebagai sebuah bentuk keterberian yang dikultuskan. Dari sinilah terbangun struktur cultural quotient dengan keberadaannya yang abstrak dan tanpa sadarterintegralkan menjadi dominasi sistemik inter-gender yang menempati ruang-ruang publik (politik dan pasar) secara totaliter dan bukan lagi sekadar urusan rumah tangga ataupun batasan biologis berdasarkan jenis kelamin. Dari problem inilah, gerakan feminisme diinisiasi dalam misi egalitariannya yang menuntut kesetaran hak bekerja, hak politik dan hak pendidikan bagi kaum perempuan terhadap kaum lelaki. Munculnya gerakan feminisme aliran progresif tidak menempatkan prostitusi sebagai kebebasan atau otoritas penuh bagi perempuan atas tubuhnya sendiri dalam ihwal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Tidak demikian, melainkan sebuah keterkungkungan di dalam domainnya yang inferior secara nirsadar menihilkan kaum perempuan dari eksistensinya sebagai subjek sadar yang pada hakikatnya juga primer dan independen. Perempuan diobjektifikasi dan secara pasif terberi makna oleh dominasi patriarkal sebagai daging bergerak pemuas berahi para lelaki. Mengamati pasar yang semakin berkembang dengan basis teknologi, prostitusi online merambah dunia pasar virtual yang tentu dengan mudah dan bebas menggelar karpet merah kepada para pria hidung belang untuk mengakses katalog penyedia jasa seks lengkap dengan spesifikasi dan harganya. Maka, disini prostitusi online sudah menjadi industri seks komersil yang menyediakan semacam shortcut bagi pelanggan untuk melunasi tuntutan biologisnya dengan lebih efektif dan instan. Di sisi lain, Industri kapitalis secara bersamaan muncul sebagai sebuah bentuk prototipe makro dari oikos yang meletakkan perbedaan seksual sebagai salah satu segmentasi hierarki serta kualifikasi serapan sumberdaya dalam pasar. Posisi kaum pria tentu saja dimapankan sebagai dominasi kuantitas dan otoritas yang memiliki legitimasi dalam melakukan kontrol dan meregulasi. Sementara kaum perempuan adalah mereka yang harus tunduk terhadap kontrol dan patuh pada prosedur yang diciptakan oleh para lelaki. Dengan landasan inilah, para pemikir postmodernisme dan poststrukturalisme menolak dikotomi gender atau identitas seksual sebagai kategori karena menasbihkan konsepsi absolut dari relasi gender. Konsepsi demikian secara kontinyu dalam konteks historis spasial mengimplikasikan munculnya paradigma yang kemudian mereduksi kesubjekan dari perempuan. Perempuan tak bisa menolak kodratnya kecuali ia mampu menerima konsekuensi yang lebih kompleks dibanding mereka yang sudah terlahir sebagai laki-laki, apabila ia ingin masuk di antara celah-celah dominasi lelaki tersebut. Struktur masyarakat patriarki pada akhirnya hanya mengkuantifikasi perempuan dan meletakkannya pada variabel paling pinggir dari kurva normal. Hal ini yang kemudian membatasi akses kepada hak primer (ekonomi dan pendidikan) dengan dalih bahwa perempuan tidak lebih bisa bekerja dan tentu saja tidak lebih cerdas dibanding laki-laki. Stereotip pada akhirnya memenjarakan perempuan. Tren statistik mengalienasinya dari pilihan-pilihan yang mungkin dengan mudah diambil oleh lelaki. Apabila perempuan adalah subjek yang terkastrasi kesubjekannya, ia tidaklah lagi independen. Dalam konteks ekonomi yang merupakan puncak dari hasrat kolektif umat manusia, peran kaum perempuan bisa saja dianggap nirmakna. Kalau ia nirmakna bagi dirinya sendiri maka perempuan boleh jadi adalah objek yang dimaknai oleh lelaki. Maka, di tengah tuntutan realitas kehidupan, sistem sosial patriarki mengejawantahkan konsepnya dalam rupa-rupa kebengisan dari komodifikasi tubuh perempuan. Ini yang tak disadari bahwa sesungguhnya prostitusi bukan pilihan bebas bagi perempuan melainkan merupakan suatu represi sistemik yang tak terlihat.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU