Ratusan Aplikasi Pinjaman Online Ilegal Diblokir

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 13 Des 2018 13:13 WIB

Ratusan Aplikasi Pinjaman Online Ilegal Diblokir

SURABAYAPAGI.com - Jumlah layanan financial technology (fintech) peer to peer lending atau kredit online terus bertambah di Indonesia. Layanan ini disebut memberikan akses keuangan kepada masyarakat yang tak tersentuh perbankan. Satuan tugas waspada investasi bersama pihak terkait seperti Kementerian Kominfo dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memblokir ratusan aplikasi fintech abal-abal. Dari pemblokiran ini diharapkan pertumbuhan fintech ilegal bisa berkurang. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan pemblokiran dilakukan dengan menggandeng sejumlah pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga pihak Kepolisian. "Kebanyakan fintech itu menyamarkan alamatnya, diisi pakai virtual office. Memang paling banyak dari China, tapi ada juga orang Indonesia, jadi lintas negara ada Malaysia sampai Thailand juga," kata Tongam dalam konferensi pers di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (12/12/2018). Dia menjelaskan saat ini Satgas Waspada Investasi dan OJK masih menemukan aplikasi fintech ilegal di toko aplikasi. Oleh karena itu Satgas Waspada Investasi berkoordinasi untuk menghentikan fintech abal-abal ini. Menurut Tongam, fintech ilegal ini memiliki dua masalah, yakni suku bunga yang terlalu tinggi hingga denda yang tanpa batas. Kemudian masalah penagihan yang tidak beretika. "Pengaduan itu kan karena banyaknya intimidasi, teror kepada peminjam. Kami minta ke masyarakat yang mendapatkan perlakuan itu agar melapor ke polisi karena itu tindak pidana," imbuh Tongam. Tongam menjelaskan berdasarkan penelusuran OJK pengaduan masyarakat terkait peer to peer lending juga terjadi karena nasabah tidak mengembalikan atau membayar cicilan secara tepat waktu sehingga perhitungan denda yang berbunga. Kemudian perlindungan data nasabah juga bermasalah. Saat ini OJK juga gencar mengumumkan ke masyarakat nama-nama P2P ilegal, memutus akses keuangan P2P ilegal pada perbankan dan fintech payment system bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI). Kemudian mengajukan blokir laman dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Kominfo, lalu menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum. Berbagai cara sudah dilakukan OJK dan Satuan Tugas Waspada Investasi untuk memberantas fintech ilegal ini. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan pihaknya sudah berdiskusi dengan Google untuk memblokir aplikasi yang ada di Playstore. "Kami sudah diskusi dengan Google, agar aplikasi (fintech abal-abal) ini tidak muncul di Playstore. Mereka bilang ini akan sulit, karena open source siapa saja bisa memasang di sana. Bisa saja si fintech ini memasang kategori lain untuk mengelabui," kata Tongam dalam konferensi pers di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (12/12/2018). Dia menyampaikan, biasanya fintech ilegal itu memasang kategori pendidikan, amal sampai permainan. Dengan demikian, yang akan dilakukan Satgas Waspada Investasi dan OJK adalah gencar melakukan edukasi kepada masyarakat. "Jadi tugas kita ini memang harus mengedukasi, masyarakat jangan masuk ke fintech ilegal itu, jangan digunakan. Karena kalau tidak ada pengguna, mereka akan mati sendiri. Tapi kita juga mengupayakan untuk rutin memeriksa aplikasi di Playstore untuk diajukan pemblokiran," jelas dia. Tongam menyampaikan, masyarakat harus lebih aktif untuk mengetahui status fintech yang akan digunakan. Bisa menghubungi layanan call center OJK di nomor 157. Hal ini agar masyarakat tidak terjebak dengan fintech ilegal tersebut. Pasalnya, ketika masyarakat melakukan perjanjian dengan perusahaan maka sudah terikat dan harus menyelesaikan kewajiban seperti pembayaran cicilan, bunga hingga denda keterlambatan pembayaran. Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi menjelaskan berdasarkan sebuah kajian lembaga riset, peer to peer lending ini berhasil menyalurkan Rp 25 triliun dan membuka lapangan pekerjaan hingga 250.000 orang. "Sekarang ini ada sekitar 3 juta penduduk di seluruh Indonesia yang menggunakan fintech peer to peer lending dan ada sekitar 9 juta transaksi," kata Hendrikus dalam konferensi pers di Gedung OJK, Rabu (12/12/2018). Dia menyampaikan di Indonesia peer to peer lending terbagi ke dalam beberapa klaster. Pertama, kredit online yang menyalurkan pinjaman untuk kalangan terbatas, jadi eskosistemnya tertutup. Misalnya seperti Go-Jek yang bermitra dengan pengemudi dan mitra Go-Food sebagai anggota, jadi mereka mendapatkan pinjaman. Klaster kedua adalah terbuka namun terbatas. Siapapun bisa meminjam, namun harus memiliki jaminan seperti properti, kendaraan, emas hingga resi gudang. "Nah kalau ekosistemnya seperti ini bisa berkompetisi dengan bank," jelas dia. Kemudian kelompok ketiga adalah fintech lending yang bisa memberikan pinjaman dengan cepat, tanpa jaminan namun bunganya tinggi tapi juga memiliki analisa mendalam saat menyalurkan kredit. Saat ini jumlah fintech peer to peer lending yang terdaftar di OJK tercatat 78 perusahaan dan sepertiganya adalah fintech klaster 3. Namun saat ini yang membuat heboh industri fintech adalah layanan ilegal yang sangat mudah menyalurkan dana karena hanya isi formulir, pinjaman bisa langsung cair. Namun, biaya yang dikenakan mulai dari administrasi hingga suku bunga sampai denda juga sangat tinggi. "Kalau di China fintech lending itu heboh karena dananya digunakan oleh penyelenggara. Tapi di Indonesia justru terbalik, malah dana yang dipakai tidak dibayar-bayar oleh peminjam," imbuh dia. d

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU