Risiko Politik yang Berdampak Ekonomi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 23 Mei 2019 13:51 WIB

Risiko Politik yang Berdampak Ekonomi

Jaka Sutrisna-Teja Sumantri, Kontributor Surabaya Pagi Pesta demokrasi lima tahunan harus dibayar mahal. Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan capres-cawapres nomor 01 Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, gelombang aksi protes merebak. Buntutnya, terjadi kerusuhan di sejumlah lokasi di Jakarta. Tak hanya fasilitas umum yang rusak dan sejumlah mobil polisi dibakar. Tapi dikabarkan ada peserta aksi yang tertembak hingga meregang nyawa. Setidaknya enam korban tewas dan ratusan luka. Sementara sebanyak 100-an orang yang diduga provokator dalam kerusuhan di ibu kota itu telah ditangkap. Parahnya lagi, kerusuhan itu juga berdampak pada ekonomi. Kurs rupiah juga langsung drop hingga Rp 14.500 per dollar AS. Inikah risiko politik dari digelarnya Pemilu Serentak yang menyedot dana rakyat (APBN) hingga Rp 25,59 triliun? --------- Kerusuhan yang terjadi di ibu kota hingga menelan korban jiwa, sungguh ironis. Mengingat kubu pasangan capres-cawapres nomor 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sudah menyatakan akan menempuh jalur konstitusional. Yakni, mengajukan perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudisthira, menilai aksi massa yang memprotes hasil rekapitulasi Pilpres bisa meningkatkan risiko politik di Indonesia. Dan ini membuat persepsi investor menurun terhadap iklim investasi di Indonesia. Hal ini terlihat dari indikator jangka pendek, dimana kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami pelemahan dan IHSG yang terkoreksi sejak sesi pembukaan. "Dan adanya gejolak politik yang memanas paska Pilpres juga berpengaruh terhadap outlook ekonomi sepanjang 2019. Investor khususnya asing akan melakukan posisi hold atau menahan realisasi investasi langsung," ujar Bhima di Jakarta, Rabu (22/5/209). Menurut dia, foreign direct investment atau investasi langsung luar negeri diperkirakan masih akan menurun tahun ini, setelah di kuartal I 2019 hampir minus 1%. Imbas dari rendahnya investasi membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan di bawah 5%. "Ini kondisi yang harus diwaspadai. Padahal investasi dan ekspor adalah motor penggerak utama yang diharapkan selain konsumsi rumah tangga," jelasnya. Ganggu Ekonomi Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani. Pengusaha berharap aksi demo segera berakhir. Sebab, akan memperkeruh situasi ekonomi. Shinta Widjaja mengatakan kondisi ekonomi saat ini saja cukup berat karena dihadapkan pada ketidakpastian global. "Kami mengharapkan janganlah ini berkepanjangan, ya udah demo, sudah dilakukan selesai aja lah, jangan menjadi kerusuhan hal-hal yang tidak kita inginkan," kata Shinta, Rabu (22/5) kemarin. "Keadaan ekonomi tidak mudah, apalagi di eksternal ada ketidakpastian. Jadi perlu sama-sama melihat situasi yang ada, janganlah mengganggu ekonomi lebih lanjut," lanjut dia. Shinta khawatir ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini sehingga membuat situasi menjadi buruk, namun dia percaya aparat keamanan. "Memang yang kami khawatirkan ada pihak-pihak tertentu yang memprovokasi dan menunggangi, ini yang kita nggak tahu seberapa jauh," ujarnya. Di sisi lain, dia yakin, aparat penegak hukum segera menyelesaikan kerusuhan ini dan situasi kembali kondusif. "Kita percaya aparat keamanan bisa menjaga dan mengendalikan situasi sehingga bisa jadi kondusif," ungkapnya. Berdampak Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menilai, aksi 22 Mei 2019 akan berdampak negatif bagi perekonomian. Hal tersebut terbukti dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). "Pasti menekan pasar keuangan kena imbas pasar keuangan, saham," ujar Piter Abdullah, Rabu (22/5/2019). Namun, menurut Piter tekanan tersebut tak akan berlangsung lama, tekanan tersebut sifatnya hanya sementara. Nilai tukar rupiah, transaksi saham, akan kembali lagi seperti semula atau bahkan akan mengalami kenaikan. Saat ini menurut Piter, para investor masih wait and see hingga kondisi politik tanah air mereda. Barulah investor kembali melakukan aktivitasnya. "Investor masih menahan, kemarin pas Pemilu menahan, nah sekarang lebih menahan. Mereka membutuhkan kondisi kondusif terlebih dahulu," terangnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga mengatakan hal sama. Menurutnya, IHSG dan rupiah yang tertekan ini dikarenakan aksi massa yang melakukan unjuk rasa atas pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya saja, Darmin menegaskan tertekannya rupiah dan bursa tanah air hanya bersifat sementara. "Ya itu namanya euforia pasar. Pasar itu suka sentimental aja, jadi besok ada koreksinya," ujar Darmin. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU