Risma - Eri Cahyadi, Diindikasikan Politik Kroni

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 03 Agu 2020 21:04 WIB

Risma - Eri Cahyadi, Diindikasikan Politik Kroni

i

Dr. H. Tatang Istiawan

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Eri Cahyadi, birokrat Pemkot Surabaya, sejak minggu lalu mulai 'tebar pesona' di beberapa jalan. Ia nampang di reklame besar beberapa sudut jalan di kota Surabaya. Ada juga foto Risma, walikota Surabaya yang sekarang. Risma ada di dalam reklame yang bergambar pria muda berambut botak menggenakan kaos merah.

Dalam papan reklame itu ada slogan “satu visi, mimpi serupa lanjutkan harapan Surabaya.” Disertai tagar #EripenerusRisma.

Baca Juga: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar Unggul di TPS Eri Cahyadi Mencoblos

Slogan dan tagar ini bagi orang terdidik, bisa dianggap berlepotan. Bagi warga kota yang mengerti aturan pilkada, menjadi tanda tanya, apakah ini Eri Cahyadi yang kepala Bappeko Surabaya atau Eri Cahyadi, pengusaha berduit?

Dan bagi perusahaan periklanan, bisa ditanya, pemasang reklame ini setor pajak Reklame berapa besar ke kas Negara.

Akal sehat saya berbisik, Eri, meski punya kepentingan politik, ia bisa diduga akan membantah dirinya yang memasang iklan. Pasalnya Eri sampai sekarang statusnya masih sebagai pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (ASN). Apalagi Eri sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, secara etika politik, dia tak berhak.

Jadi bila benar informasi dari teman saya yang di DPR -RI bahwa Ketua Umum DPP PDIP

Megawati, yang bakal merekomendasi Eri Cahyadi, untuk maju dalam Pilkada Serentak 2020 ini, bisa ditebak inilah politik kroni di Surabaya. Ini artinya, meski saat Orba Megawati tak disukai penguasa Orba Soeharto, ternyata Putri Bung Karno ini yang justru menyukai kultur kepemimpinan yang dipraktikan Soeharto, yaitu politik kroni.

Saya menilai seperti ini, walikota lama, Tri Rismaharini, merekomendasikan Eri Cahyadi ke Megawati, tanpa reserve sama sekali. Padahal warga kota yang berakal sehat tidak pernah tahu prestasi gemilang Eri Cahyadi, selama menjadi ASN di Pemkot Surabaya.

Praktik politik kroni Risma kepada Eri Cahyadi semacam ini bisa saya anggap “warisan” budaya kepemimpinan berkacamata kuda.

Salah satu ciri orang berkacamata kuda mirip kuda yang menarik dokar, tidak mau (bisa) melihat kanan-kiri, karena kedua matanya diberi pelapis. Ia kencang berjalan terus, sebab badannya dipecuti oleh “pemimpin” yang sedang membawa tali kekuasaan.

Kacamata Kuda disebut juga Horse Blinders atau Winkers. Secara umum kacamata kuda dipakai oleh kuda andong/ delman atau kuda yang menarik kereta muatan barang/ manusia. Kuda-kuda ini dipasangkan sebuah penutup mata disamping mata mereka, dengan tujuan agar pandangan ke jalan tidak teralihkan oleh situasi di kanan, kiri atau belakangnya. Selain kuda penarik kereta, kuda pacu pun menggunakan Kacamata Kuda. Kuda Pacu menggunakan kacamata kuda agar fokus melihat kedepan dan tidak teralihkan oleh titik awal pacu dan juga kuda dikanan dan kirinya. 

Apakah Risma dan Eri, sama-sama menggunakan kacamata kuda? Walahualam.

Bisa jadi saat ini, Risma, belum tahu bahayanya berkacamata kuda. Atau mungkin ia menggunakan kacamata kuda ingin kekuasaan yang dipegang dua periode di Surabaya, jangan jatuh ke orang yang tak disukainya. Bila sampai ke tangan orang lain, kelak dia bisa menangis sungguhan dan bukan menangis melo drama. Akal sehat saya bilang pilihannya kepada Eri Cahyadi, yang bukan kader PDIP seperti Whisnu Sakti, Risma saya prediksi bisa gagal mengantisipasi situasi dan lingkungan perubahan yang terjadi kini dan lima tahun ke depan.

Akal sehat saya berpesan, ada baiknya sebelum rekomendasi dari Megawati diturunkan, Risma mau membuka kacamata kudanya. Alasan saya, kita adalah manusia berhati dan berakal sehat. Kita berbeda dengan kuda yang cuma bisa berlari.

 

***

 

Orang berakal sehat itu waras pikirannya. Dan orang yang menggunakan akalnya umumnya orang-orang yang berilmu. Sejak SD, saya diajarkan membaca Al-Quran. Guru mengajarkan kepada saya bahwa orang yang berilmu itu ditinggikan derajatnya sedikit lebih banyak dari mereka yang sekedar beriman.

Baca Juga: Wali Kota Eri Cahyadi Sampaikan Pesan Jurdil untuk Warga Surabaya

Nah, orang beriman dan berilmu sadar bahwa suatu kota itu bukan miliknya. Kota sudah menyandang Place branding.

Ini artinya sebuah kota harus dikelola agar bisa memberi pengaruh yang signifikan kepada masyarakatnya.

Akal sehat saya berkata kota adalah milik bersama warga kota yang menghuninya. Jadi kota Surabaya, termasuk milik saya dan 3,1 juta (tahun 2019) warga yang berKTP Surabaya. Kota Surabaya bukan “hak prerogatif” Ir. Tri Rismaharini. Wanita lulusan ITS ini hanya diberi mandat oleh warganya untuk mengelola dua periode saja. Setelah ini, akal sehatnya iklaskan warga kota mencari walikota Surabaya baru. Jangan “dipaksa-paksa” harus memilih orang pilihannya. Apalagi menyodorkan orang yang selama ini tidak memiliki prestasi untuk kotanya.

Tapi saya tahu Risma itu adalah seorang wanita. Akal sehat saya berpesan, sebaiknya Risma jangan berperasaan seperti wanita-wanita yang menjalani ikatan cinta yang nggak membahagiakan. Mengingat wanita semacam ini lebih memilih bertahan daripada meninggalkan si pria. Apa karena terlalu cinta, atau nggak sadar telah menjalani hubungan cinta yang buruk? Nah, gambaran ini bisa dicerna oleh Risma, apakah ia “ngotot” menyodorkan Eri Cahyadi, karena terlalu cinta dengan kota Surabaya, sehingga ia bersikeras mempertahankan kekuasaannya untuk tidak diambil orang lain, kecuali orangnya (kroni)? Walahualam.

 

***

 

Sebagai warga kota sejak lahir, saya perlu ingatkan Risma, sejarah kekuasaan Indonesia. Pada puncak Reformasi 1998, ribuan (bahkan jutaan) mahasiswa dan masyarakat sipil bergerak menumbangkan Presiden Soeharto, yang dinilai telah mempraktikan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sadar atau tidak, saat itu mahasiswa dan masyarakat gerah melihat Orde Baru membangun kekuasaan selama 32 tahun dengan bantuan kroni dan keluarga elite. Praktik politik kroni ini dianggap merusak tatanan politik, sosial, dan ekonomi Indonesia. Maklum, sejarah mencatat kroni Soeharto, mengelola kekuasaan hanya berdasarkan koneksi kekerabatan (kroni), bukan kompetensi. Akibatnya, para pemimpin dan pengusaha lebih suka menjilat dan abai terhadap kepentingan orang banyak. Masih ingat.? Semoga.

 

Baca Juga: Usai Nyoblos, Risma, Ingatkan Perekonomian Rakyat Sulit

***

 

Bupati Banyuwangi Azwar Anas, sudah dua kali menjabat bupati. Ia ingin istrinya yang menggantikannya. Bukan kader PDIP lain.

Akhirnya DPP PDIP memberikan rekomendasi pada Ipuk Festiandani, sebagai calon Bupati Banyuwangi pada Pilkada 2020-2025.

Dani, panggilan akrab Festiandani, merupakan istri Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas. Sementara posisi Wakil Bupati Banyuwangi diberikan pada Sugirah yang merupakan anggota DPRD Banyuwangi dari Fraksi PDI Perjuangan.

Juga Pilkada di Kediri, Dilirik oleh Mensekab Pr amono Anung. Ia menyorongkan anak kandungnya ke Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kabupaten Kediri, agar diusulkan ke Megawati. Padahal elektabilitas putra sulung Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, bernama Hanindhito Himawan Pramana jeblok!

Dhito, panggilan akrab putra Pramono Anung, memang tidak menetap di Kabupaten Kediri. Pengusaha muda tersebut lebih banyak berkegiatan di Jakarta dan Singapura. Namun, sesekali Dhito berkunjung ke kampung halaman ayahnya di Kediri.

Akal sehat saya berpikir praktik politik kroni dan dinasti di Jatim seperti ini berpotensi menciptakan pelbagai ekses negatif sekaligus mengkhawatirkan bagi demokrasi di Indonesia. Tiga peristiwa politik di Surabaya, Banyuwangi dan Kediri ini berpotensi menciptakan kroni-kroni baru di pemerintahan Jokowi seperti yang terjadi pada era presiden ke-2 RI Soeharto. Apakah Ketua Umum DPP PDIP Megawati, menyadari resiko politik kroni?. Walahualam. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU