Risma dan Eri-Armuji, Disinyalir Sudah Praktikan Demokrasi Curang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 04 Des 2020 22:01 WIB

Risma dan Eri-Armuji, Disinyalir Sudah Praktikan Demokrasi Curang

i

Jurnalis Muda, Raditya M Khadaffi

 

Surat E-mail untuk Bawaslu, KPU, Ketum PDIP Megawati dan Presiden

Baca Juga: Pemkot Surabaya Kebut Pengerjaan Estetika Kota Lama 

 

 

 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Publik, terutama warga kota Surabaya, minggu ini dihebohkan dengan beredarnya direct mail berkop surat Bu Risma. Surat marketing politik ini ada foto wali kota Surabaya menggunakan hijab dan disertai tandatangan.

Surat promosi ini dikirim door to door oleh kurir yang mengaku disuruh Bu Risma, dengan imbalan Rp 2.000,- per surat per alamat.

Saat warga kota ramai mempersoalkan direct mail Bu Risma, muncul pengakuan dari juru bicara tim sukses paslon 01, Eri Cahyadi-Armuji (ErJi).

Juru Bicara Tim Pemenangan ErJi, Ahmad Hidayat memastikan pengiriman amplop warna cokelat yang berstempel surat Bu Risma untuk warga Surabaya bukan instruksi langsung dari Wali Kota Risma.

"Instruksinya langsung dari Tim Pemenangan Eri Cahyadi dan Armudji," ujar Achmad Hidayat, seperti dikutip dari Jatimnow.com, yang diunggah Kamis (3/12/2020).

Dalam keterangannya Achmad, tim Erji ingin menjemput kemenangan langsung secara door to door, dengan Surat Bu Risma untuk Warga Surabaya itu.

“Jadi kita semua menjemput kemenangan. Menjemput masa depan bersama yang lebih baik,” ucapnya.

Namun, ucapan Achmad kontra produktif seperti keterangan pers yang disebarkan ke beberapa media, pada Selasa 1 Desember 2020 sebelumnya. Achmad mengatakan kalau surat itu ditulis dari Bu Risma karena permintaan warga Surabaya sendiri.

"Saking cintanya kepada Bu Risma, warga ingin mendapat kenang-kenangan berupa surat, ajakan menyukseskan pilkada melalui surat dari Bu Risma. Akhirnya beliau menulis surat tersebut," jelas Achmad.

Secara akal sehat, apalagi dalam kontestasi politik seperti ini, apa masuk akal warga Surabaya meminta Bu Risma menulis Surat dengan ajakan berbondong-bondong datang ke TPS mencoblos paslon 01?

Siapakah warga Surabaya yang dimaksud? Apakah warga Surabaya itu merupakan tim Pemenangan Eri-Armuji yang diungkapkan oleh Jubir Tim Pemenangan Erji, Achmad Hidayat.?

Berarti, ada dugaan itu sebagai pembohongan dan akal-akalan tim Eri Cahyadi-Armudji, dengan “memalsukan” surat Bu Risma yang dikirim ke warga kota Surabaya.

Tim sukses Paslon Pilkada serentak 2020 Surabaya ini mengaku surat itu tanpa sepengetahuan Bu Risma. Juga tandatangan Bu Risma, diduga dipalsukan?!.

Lho dipalsu??!. Ini sudah tindak pidana pemalsuan.

Menurut hukum acara pidana dan KUHP, tindak pidana ini bukan delik aduan. Logika hukumnya untuk keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, dengan pengakuan jubir tim sukses Eri-Armuji, saatnya memeriksa tim sukses Eri-Armuji. Termasuk paslon nomor 01, dan Risma. Mengingat dalam hukum berlaku prinsip persamaan dihadapan hukum atau equality before the law. Asas ini adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Jadi Bu Risma, sebagai kepala daerah yang selama ini suka bicara taat hukum, perlu mendatangi Polda atau Polrestabes bahwa dirinya dirugikan oleh tim sukses Eri-Armuji yaitu menggunakan tandatangan di surat yang dikirim ke  warga kota Surabaya konon tanpa tandatangan aslinya.

 

***

 

Dalam hukum pidana, pemalsuan tanda tangan pejabat lembaga pemerintah dapat dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP. Ancaman  pidananya maksimal enam tahun penjara.

Baca Juga: Imigrasi I Surabaya Berhasil Terbitkan Hampir 10 Ribu Paspor

Isi lengkap Pasal 263 ayat (1) KUHP : Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan hutang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain mempergunakannya dapat mendatangkan suatu kerugian dihukum karena pemalsuan dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

Namun, untuk dapat dikenai sanksi pidana Pasal 263 (ayat 1) KUHP ini surat-surat yang palsu itu harus suatu surat yang : a. Dapat menerbitkan hak; b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian; dan c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang. Dengan penjelasan ini, maka tim sukses Erji yang kepada wartawan saya mengakui melakukan pemalsuan tandatangan dengan cara menscan tandatangan Bu Risma dapat dikenakan sanksi pidana yaitu Pasal 263 ayat 1 KUHP.

Lalu, siapa yang dirugikan atas pemalsuan ini?

Pertama, paslon 02, Machfud Arifin-Mujiaman. Mengingat dengan surat yang dikirim ke berbagai warga, telah merugikan hak-hak politiknya. Terutama merugikan calon pemilihnya yang akan dirayu oleh “Surat Bu Risma”.

Kedua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), lembaga independen yang mengawasi jalannya pesta demokrasi agar berjalan secara demokratis sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ketiga, Komisi Pemilihan Umum (KPU), menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota (Pasal 18 dan 19 huruf I, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum)

Keempat, Ketua Umum DPP PDIP Megawati, berpesan calon kepala daerah tidak melakukan keangkuhan, kepongahan dan sok aksi. (Pidato Megawati di sekolah calon kepala daerah (cakada) bagi kader yang mereka usung dalam pilkada serentak 2020, Minggu 13 September 2020 lalu).

Kelima, Presiden RI Joko Widodo. Presiden Jokowi berpesan calon kepala daerah harus saling beradu gagasan dan program yang meningkatkan kualitas demokrasi. (Saat membuka rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/9/2020).

Keenam, konon Bu Risma, yang diinvestigasi tim wartawan Surabaya Pagi, mengaku tidak tahu menahu soal surat direct mail untuk pilih Eri-Armuji.



***

 

Temuan tim Surabaya Pagi atas kasus direct mail menggunakan kop surat dan tandatangan Bu Risma, saya nilai bisa dua hal. Pertama sebuah konspirasi meraih kemenangan dengan menghalalkan berbagai cara. Dan Kedua, praktik demokrasi curang oleh tim paslon 01, Eri – Armuji.

Curang identik, tidak jujur. Dalam perilaku tidak jujur terdapat beberapa teori. Ada teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dan Teori Perilaku Rencanaan (Theory of Planned Behavior).

Secara teoritis, perilaku curang atau tidak jujur terdapat alasan mengapa orang tersebut dapat melakukan tindakan tidak jujur?.

Baca Juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum

Dalam teori Tindakan beralasan adalah sebuah teori dimana perilaku individu berasal dari niat individu tersebut. Niat tersebut muncul karena adanya sikap menerima dari invidu tersebut. Sikap individu tersebut dalam menerima sebuah tindakan disebebakan oleh norma subyektif yang ada dalam lingkungan individu tersebut.

Dalam teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention), dan perilaku (behavior). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian  yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting. Nah, tim sukses Eri-Armuji, mengapa tidak memiliki keyakinan dengan hasil survei yang diumumkan, sehingga memalsu tandatangan Bu Risma, dalam surat berkop Bu Risma?

Adakah tim sukses ini menghadapi tekanan sosial, sehingga selain berkampanye, juga membuat surat ke warga menggunakan nama wali kota Surabaya.

Lalu, dalam teori Rencanaan (Theory of Planned Behavior), Bu Risma, atau anak jubir tim sukses Eri-Armuji atau Eri Cahyadi sendiri melakukan tindakan tidak jujur curang tersebut karena memang direncanakan dengan matang agar bisa mengalahkan paslon 02, MA-Mujiaman.

Sebagai jurnalis muda yang sering berdiskusi dengan politisi lokal, saya menilai perbuatan curang semacam itu bagian  pragmatisme politik dalam demokrasi. Terutama terkait ingin menjadi  calon penguasa penerus Bu Risma, di pemerintahan kota Surabaya.

Pragmatisme dalam demokrasi curang yang dipraktikan tim sukses Eri-Armuji, bisa dibaca cara-cara ingin menang dalam pilkada serentak 2020 di Surabaya dengan menghalalkan segala cara.

Mengkaji praktik yang ditemukan tim Surabaya Pagi, cara yang dilakukan tim sukses Eri-Armuji, kuat dugaan mengabaikan asas kebenaran, kebaikan maupun kepantasan. Padahal, Eri-Armuji sama-sama muslim.

Dalam Islam kekuasaan adalah amanah sehingga seharusnya Eri-Armuji tidak berlomba-lomba dalam mengejar kekuasaan. Mengingat, dalam kekuasaan yang ditinggalkan Risma saat ini ada  beban berat yang akan ditanggungnya , baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Menggunakan demokrasi curang tersebut, saya temukan peristiwa yang kentara sekali ingin meraih jabatan wali kota Surabaya dengan menghalalkan segala cara. Praktik demokrasi curang ini tidak sesuai dengan etika hukum, politik dan moral.

Sebagai jurnalis muda yang berpendidikan ilmu hukum, saya berharap pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam skandal ini  menempuh jalur hukum. Agar skandal ini diusut da nada pelaku yang ditindak.

Termasuk menuntut agar paslon 01 Eri-Armuji dikenakan jerat diskualifikasi sebagai calon wawali dan cawawali dalam Pilkada serentak di Surabaya 2020.

Dasar yang saya temukan untuk diskualifikasi paslon yang diusung PDIP dan Risma adalah Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota. Pasal ini melarang petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain.

Bu Risma, meski tidak ikut dalam kontestasi pilkada serentak di Surabaya 2020, tetapi ia selalu bermanuver menggunakan brand sebagai petahana, “mendepak” kader PDIP asli, Whisnu Sakti Buana dan menggunggul-unggulkan birokrat kesayangannya, Eri Cahyadi. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU