Risma Diduga tak Berdaya Hadapi Korporasi Bermodal Besar

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 17 Jul 2019 23:36 WIB

Risma Diduga tak Berdaya Hadapi Korporasi Bermodal Besar

Menelusuri Jejak Bangunan Cagar Budaya di Surabaya yang Kini Sudah Lenyap (2) Jejak bangunan bersejarah peninggalan Belanda di Surabaya tak hanya gedung-gedung perkantoran kuno. Namun diantara bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu justru hancur dan rusak. Seperti Toko Nam, Sinagog, Toko Metro dan Rumah Radio Bung Tomo. Ironisnya lagi, nasib bangunan cagar budaya di era Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Tak hanya rusak dan beralihfungsi menjadi bangunan yang hedonis seperti mall dan hotel. Tapi gedung bernilai sejarah itu juga tak terawat, seperti penjara Kalisosok. Bahkan, ada bangunan penting dan bersejarah yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga berpotensi dikuasai swasta. Salah satunya benteng yang dulunya menjadi tempat penyimpanan peluru, dikenal dengan nama Benteng Kedung Cowek di Kelurahan Kedung Cowek, dekat pesisir Pantai Kenjeran. Tim Investigasi Surabaya Pagi Coba tengok sejenak menengok salah satu bangunan cagar budaya di kawasan Surabaya utara ini. Bekas rumah tananan atau penjara Kalisosok, misalnya. Berdasarkan pantauan Surabaya Pagi, Selasa (16/7/2019), bangunan cagar budaya ini belum dirawat dengan baik. Padahal Penjara Kalisosok yang berada di jalan Kalisosok Surabaya ini sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui SK Walikota Surabaya No. 188.45/251/402.1.04/1998 dengan Nomer Urut 42. Penjara Kalisosok ini penjara peningalan Belanda. Banyak tokoh besar Indonesai yang pernah dipenjara di sini, diantaranya Soekarno (Bung Karno), WR. Suprtaman dan Kyai Mas Mansur. Pantauan di lokasi, kondisi Penjara Kalisosok dikelilingi tembok besar dengan tinggi sekitar 5-6 meter. Setiap ujung dan tengah dari tembok penjara ini terdapat pos pantau yang dulu berfungsi tempat pengawasan sipir terhadap tahanan. Sepintas Penjara Kalisosok ini sudah dirawat. Terlihat dari dinding penjara di sisi Jalan Kalisosok yang dicat putih. Namun jika diamati seksama, penjara ini tampak kumuh, rimbun dan fasad bangunan pun terlihat rusak. Ini terlihat dari sisi depan penjara, tepatnya dari gerbang pintu masuk di jalan Kasuari. Bangun ini kotor dan berlumut. Begitu juga kondisi sebagian atap penjara, sudah rusak dan belum ada perbaikan. Menurut warga sekitar, warga dilarang masuk Penjara Kalisosok oleh penjaganya, bahkan wisatawan ataupun turis asing yang ingin melihat penjara ini tidak diizinkan masuk ke dalam. Ngak boleh masuk sama yang jaga, bahkan orang kulit putih (bule) saja dilarang masuk ucap Ahmad, tukang becak yang ngetem di Jalan Kalisosok. Surabaya Pagi lantas mencoba untuk masuk. Dan benar, penjaga Penjara Kalisosok ini melarang. Nggak boleh masuk mas, kata penjaga penjaga Kalisosok saat Surabaya Pagi meminta izin masuk. Penjaga yang tak mau menyebutkan nama ini juga enggan menjelaskan alasannya, mengapa ada larangan masuk ke dalam. **foto** Benteng Kedung Cowek di kawasan timur Surabaya, juga tak jauh beda. Bahkan, peninggalan Belanda ini terancam hilang dan dikuasai investor atau pemilik modal. Pasalnya, saat ini bangunan ini belum ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya. Di sisi lain, lokasinya yang di pesisir utara Surabaya dan dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak, memiliki nilai ekonomi yang strategis. Pantauan Surabaya Pagi di lokasi, Selasa (16/7/2019), tampak ada pos penjagaan yang dijaga anggota TNI. Ternyata, berdasar informasi warga, lokasi ini masih wilayah militer yang diawasi oleh Kodam V/Brawijaya. Dari pintu masuk Pos TNI menuju Benteng sudah terbangun jalan lumayan bagus, meski belum beraspal. Sementara di area benteng tumbuh pohon-pohon besar seperti di hutan. Dari sini juga terlihat dua jembatan fenomenal, yakni Jembatan Suramadu dan Jembatan Suroboyo. Menurut Hasan, warga Nambangan, menuturkan Benteng Kedung Cowek atau Gudang Peluru ini bisa dimasuki oleh masyarakat umum, setelah ada pembangun sarana latihan tembak TNI. Dulu, masih kata Hasan, area Benteng Kedung Cowek dikenal banyak ranjau sisa-sisa peperangan, sehingga masyarakat yang masuk tanpa pengawasan TNI dikawatirkan kena ranjau tersebut. "Baru-baru uu saja dimasuki masyarakat umum, soalnya ada pembangunan tempat lapangan latihan tembak TNI. Kalau dulu nggak sembarangan bisa masuk," tutut Hasan saat ditemui Surabaya Pagi di tepi pantai Komplek Benteng Kedung Cowek. Pak Mat, penjaga tambak di sekitar benteng menambahkan, Benteng Gudang Peluru ini sudah sering dikunjungi anak sekolah. Bahkan kerap dijadikan lokasi foto prewedding. "Di sini nggak bisa sembarangan masuk, harus izin dulu ke petugasnya," ujar dia. **foto** Menurut sejarawan Kuncarsono Prasetyo, Benteng Kedung Cowek sengaja didirikan untuk mengantisipasi serangan militer dari wilayah utara laut Surabaya. Memang dari lokasi benteng kita bisa melihat pemandangan Selat Madura dan Jembatan Suramadu. Berdasarkan cetak biru dari museum perang di Belanda, Benteng Kedung Cowek dirancang pada tahun 1899 dan dibangun pada tahun 1910. Tetapi pembangunan benteng ini tidak selesai karena krisis moneter di tahun 1925, cerita Kuncar. Saat ini Benteng Kedung Cowek masih berdiri kokoh. Sayangnya, kondisi benteng kini tidak terawat karena banyak tumbuhan menjalar yang mengelilingi benteng. Keberadaan benteng yang seolah terabaikan ini membuat Kuncar dan para pegiat sejarah lainnya jadi gundah. Alasannya, benteng bersejarah itu belum berstatus sebagai cagar budaya. "Kalau belum berstatus cagar budaya, benteng itu sewaktu-waktu bisa dirobohkan oleh siapa saja tanpa ada sanksi hukum. Ini sangat mengkhawatirkan," tukasnya. Menurut Kuncar, benteng tersebut telah layak dijadikan cagar budaya sesuai UU 11/2010 tentang Cagar Budaya. Beberapa poin yang dimaksud di antaranya, bangunan yang telah berusia lebih dari 50 tahun, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, mewakili arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. "Sesuai UU, ada 4 poin syarat agar disebut situs cagar budaya. Kami rasa sudah memenuhi. Sejak tahun 2015 keberadaan benteng tersebut sudah mencuat, tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutannya," papar Kuncar. Kuncar mengatakan, saat ini status kepemilikan Benteng Kedung Cowek tengah menjadi polemik. Bahkan disebut-sebut dimiliki pihak swasta. Meski demikian, kata Kuncar, sebenarnya perkara kepemilikan benteng ini tidak menjadi soal dalam penetapan sebuah bangunan untuk menjadi cagar budaya. Tanpa status cagar budaya itu, Benteng Kedung Cowek berpotensi diratakan kapan pun. "Tanpa status bisa diratakan karena tidak ada perlindungan hukum," tegas Kuncar. Kuncar dan praktisi sejarah kota Surabaya lainnya pun mendesak Pemkot Surabaya untuk segera menetapkan status Benteng Kedung Cowek sebagai cagar budaya. "Kepemilikan nomor sekian, yang penting keberadaan benteng bersejarah itu terselamatkan," pungkasnya. ******* Pemkot Surabaya dinilai tak berdaya menghadapi korporasi dalam pelestarian cagar budaya di kota Pahlawan. Perusahaan bermodal besar dibiarkan bebas membangun kerajaan bisnisnya di atas lahan bangun bersejarah. Ini seperti tampak pada hancurnya Toko Nam, Toko Metro, Sinagog, Rumah Radio Bung Tomo, dan lain-lain. Menurut anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi Partai Demokrat, Mochammad Mahmud, dalam mengembangkan usahanya di atas lahan cagar budaya, mengindikasikan pengusaha maupun Pemkot tidak pernah melihat aspek sejarah yang dimiliki Surabaya. Hanya mempertimbangkan bisnis. Sedangkan Pemerintah Kota melakukan pembiaran. Dia (pengusaha/korporasi) nggak memandang itu cagar budaya atau bukan. Nggak ngurus. Pokoknya, yang penting bisnisnya lancar. Maka, dia rangkul penguasa (Pemkot Surabaya yang berwenang mengeluarkan perijinan, red), beber Machmud yang mantan wartawan ini. Dia juga mengkritisi, sisa bangunan Toko Nam yang kini berdiri tepat di atas trotoar, di depan Tunjungan Plaza (TP) 5. Menurut Mahmud Pemkot Surabaya berlaku tidak adil. Pasalnya, dia sering menemui banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang diusir Satpol PP jika berjualan di atas trotoar. Pemkot nggak berkutik (menghadapi pengusaha, red). Jangankan ditaruh di atas trotoar. Di tengah jaan, bahkan nutupi jalan pun dibiarkan. Coba kalau itu rakyat biasa. Kalau PKL di ikat semua. Itu fakta, kritik Machmud yang terpilih lagi untuk ketiga kalinya sebagai anggota DPRD Kota Surabaya pada Pileg 2019 (Caleg terpilih). Sayangnya, pihaknya sebagai legislator hanya bisa memberi saran. Tidak bisa mengeksekusi kebijakan secara langsung. Idealnya DPR buat Pansus cagar budaya. Tapi, DPR nggak bisa buat kebijakan yang langsung eksekusi. Pansus cuma merekomendasikan. Eksekutornya tetap Pemkot, kata dia. Dia menegaskan, tidak hanya di lahan bekas Toko Nam, setiap pengusaha terutama dari kalangan develper properti, entah itu Pakuwon atau Citraland, pemerintah selalu membantu dan memberi kemudahan. Meskipun, itu merugikan masyarakat.Contoh, Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT). Itu diarahkan melewati Pakuwon City di wilayah timur. Alasanya, Pakuwon membantu membangun jalan. Sebenarnya bukan membantu, itu memang menguntungkan pengembang. Pembeli yang mau beli di tempat lain nggak jadi. Karena dilewati JLLT, kata Mahmud. Kemudian, di Surabaya Barat dibangun Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB). Jalan di sana juga melewati Citraland. Kemudian di depan PTC diperlebar, juga dibangun waduk, yang tanahnya milik Pemkot. Alasannya untuk mengantisipasi banjir. Tujuannya, supaya penghuni apartemen melihatnya bagus. Tapi waduk itu tanahnya Pemkot. Terus perbaikan, semuanya pakai APBD. Jadi kita ini dikalahkan uang. Semua dikuasai. DPRD teriak - teriak pun, para pengusaha tetap lenggang kangkung. Karena pegang penguasa. Selain Pakuwon, Pemkot juga abai terhadap Citraland. Padahal, ada ribuan rumah yang tertutup aksesnya, karena pembangunan Citraland, tandas Machmud yang tinggal di Surabaya barat ini. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU