Home / Peristiwa : Kali ini Dialami RS National Hospital, RS Khadijah

RUMAH SAKIT DI SURABAYA DIGUNCANG MASALAH

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 31 Jan 2018 04:06 WIB

RUMAH SAKIT DI SURABAYA DIGUNCANG MASALAH

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Entah siapa pemicunya, pengelola rumah sakit, tenaga medis, dokter atau pasien, saat ini minimal ada empat rumah sakit di Surabaya dan Sidoarjo yang menjadi sorotan publik. Ternyata kasus yang diadukan advokat Yudi Wibowo, yang merasa istri keduanya dilecehkan seorang perawat di National Hospital, bukan satu-satunya kasus yang mencederai dunia kesehatan di Surabaya. Kasus istri kedua advokat Yudi, kini ditangani Polrestabes Surabaya. Sebelumnya, seorang dokter Nasional hospital dilaporkan calon perawat ke Polda Jatim, dengan dugaan pelecehan seksual. Kini muncul kasus kematian pasien di RS Siti Khodijah Sidoarjo dan RSU Dr. Soetomo Surabaya. Sebelum empat kasus ini, muncul laporan pasien wanita muda bermesraan di mobil seorang dokter spesialis di parkiran RS Premier Surabaya. Kasus pasien wanita muda yang cantik ini diselesaikan secara kekeluargaan. Laporan : Firman Rachman, Narendra Bakrie, Ibnu F Wibowo, Sugeng Purnomo, Narendra Bakrie Keluarga Gultom Nah, diantara kasus yang menyangkut tenaga medik itu, ada nasib malang yang dialami keluarga kecil asal Surabaya. Keluarga ini semula bahagia. Mereka adalah keluarga pasangan Pengalaman Gultom dan Agustina Pasaribu, yang tinggal di Rungkut Tengah V/10 B Surabaya. Bagaimana tidak, sang anak tercinta, Muhammad Ibrahim Gultom, meninggal dunia setelah sempat tiga hari dirawat dan ditangani tim dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Terkesan Grusa-grusu Dengan terbata dan pandangan kosong, Gultom, ayah almarhum menceritakan kronologi singkat kepada Surabaya Pagi. Waktu itu, sang anak didiagnosa panas dan radang tenggorokan saat berada di rumah sakit Prima Husada, Wadung Asri, Gedongan, Sidoarjo. Setelah empat hari dirawat di rumah sakit tersebut, bocah berusia 2,4 tahun itu hendak dipulangkan karena kondisi kesehatannya membaik. Namun di hari ke empat, dokter rumah sakit Prima Husada, menyarankan agar Ibrahim dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo. Tak berselang lama, Minggu (5/11/2017) Ibrahim tiba di IGD RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Dari keterangan Gultom, tim dokter yang menangani anaknya tersebut dinilai tidak profesional, pasalnya ada beberapa tindakan medis yang terkesan grasah-grusuh dilakukan. "Saya waktu itu lihat, kejadian sangat cepat. Kami semua panik. Ada satu dokter perempuan yang meminta saya tanda tangan tanpa ada penjelasan. Karena panik saya pun akhirnya menandatangani surat yang isinya apa, saya juga tidak paham mas," ujar Gultom kepada Surabaya Pagi, Selasa (30/1) siang. Bukan Malah Membaik Setelah mendapat tindakan medis, bukannya membaik, kondisi Ibrahim sang buah hati tercinta keluarga kecil itu tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 11.30 WIB. Dengan berat hati dan hanya mendapat penjelasan singkat, Gultom membawa jenazah putra bungsunya itu ke rumah duka. Banyak Suntikan Kecurigaan Gultom, terhadap penanganan medis yang dilakukan tim dokter menyeruak, ketika ia melihat kondisi jenazah sebelum dikafankan. Gultom, melihat kejanggalan yang terjadi pada tubuh anaknya itu. "Ada banyak sekali bekas suntikan hingga lebam di paha sebelah kanan dan kirinya. Selain itu juga ada di bagian pantat Ibrahim. Padahal itu kan kurang cairan katanya kenapa ada suntikan-suntikan di paha," imbuh pria asal Medan itu. Meninggalkan Jam Kerja Atas dasar itu Gultom, mempertanyakan tindakan medis sekaligus meminta penjelasan dan resume medis Ibrahim selama tiga jam dirawat di IGD RSUD Dr. Soetomo itu. Alih-alih tenang dan puas akan mendapat jawaban baik dari pihak rumah sakit, Gultom justru harus berkali-kali menerima jawaban yang tidak jelas dari RSUD Dr. Soetomo. Sejak 12 November tahun lalu, ia berjuang meninggalkan jam kerjanya hanya untuk mencari tahu kepastian penyebab buah hatinya itu meninggal. "Tanggal 12 saya datangi IGD, kemudian diarahkan ke kantor RSUD Dr. Soetomo di jalan Prof Dr. Mustopo. Saat saya datang ada petugas jaga itu menyuruh saya ke humas. Di humas saya disuruh buat surat yang ditujukan ke Direktur Rumah Sakit. Selang empat hari saya kembali memasukkan surat itu, namun belum ada jawaban sampai saat ini," keluh Gultom yang tak bisa menahan sesak kehilangan putra tercintanya itu. Gultom tak menyerah, pasca suratnya dilayangkan, ia mendatangi kembail kantor tata usaha Rumah Sakit milik Pemprov Jatim ini. Disitu, ia kembali mendapatkan jawaban yang tak memuaskan. "Saya disuruh ke bagian rekam medis, saya diberikan nomor telepon kantor, katanya disuruh ke bu Kasiani. Sudah tidak terhitung saya telepon itu nomor jawabannya aneh mas tidak pasti," gumamnya. Jawaban yang diterima Gultom cukup mencengangkan, dari bagian rekam medis, Kasiani, mengaku tidak ada berkas nama anaknya yang dimaksud. Setelah beberapa kali di telepon barulah ada tanggapan dan meminta Gultom agar menunggu. "Saya tidak tahu sampai kapan. Saya hanya ingin penjelasan dari pihak rumah sakit, itu hak kami, keluarga. Itu anak saya, saya masih ingat betul kejadiannya. Banyak dokter muda yang waktu itu menangani, seolah kelinci percobaan saja anak saya mas. Saya harus berjuang buat almarhum," tandasnya. Dr. Pesta Parulian Sementara itu, saat dikonfirmasi perihal kasus tersebut, pihak rumah sakit melalui Humas sekaligus Kepala Instalasi PKRS, dr. Pesta Parulian M.E., Sp.An., menuturkan belum menerima tembusan surat yang dilayangkan atas nama pasien Muhammad Ibrahim Gultom melalui ayahnya Pengalaman Gultom. Padahal seharusnya, surat tersebut sudah tersampaikan sejak tanggal 12 November lalu. "Belum, saya belum terima berkas suratnya. Harusnya kalau untuk kasus yang berat memang saya prioritaskan untuk ditindak lanjuti," kata Pesta saat dihubungi Surabaya Pagi via telepon. Setelah menutup telepon, tak lama, Pesta kembali menghubungi Surabaya Pagi dan menyatakan jika surat tersebut baru saja dibacanya. Mas iya, ini baru saya terima suratnya, tapi ini permintaan keluarga kan minta rekam medis, kami tidak bisa memberikan dan mengarahkan ke bagian rekam medis. Tapi kalau untuk penjelasan kenapa itu sakitnya, kemudian apa penyebab sampai meninggalnya kami bisa jelaskan. Coba pihak keluarga bisa datangi kami kembali untuk soal ini," imbuh Pesta. Kegagalan Rumah Sakit Tindakan medis bukanlah perkara yang mudah dan harus ditangani oleh orang profesional di bidangnya. Bagi Gultom, ini adalah wujud kegagalan rumah sakit dalam melayani pasien maupun keluarga pasien. Sebab sudah dua bulan lebih, informasi yang diinginkan Gultom tak pernah digubris oleh pihak RS Dr. Soetomo Surabaya. DPRD Prihatin Ketua Fraksi Demokrat DPRD Jawa Timur, Agus Dono Wibawanto, mengaku sangat prihatin dengan maraknya kasus penyimpangan dalam pelayanan medis. Perkara tersebut, menurutnya juga tengah menjadi perhatian bagi kalangan DPRD Jawa Timur. "Tentu itu akan terus kita pantau. Hearing terkait kasus tersebut juga tengah dikaji untuk dilakukan. Kami akan meminta penjelasan Dinas Kesehatan terkait kenapa itu bisa terjadi dan bagaimana pengawasannya selama ini," kata Agus Dono kepada Surabaya Pagi, Selasa(30/1) kemarin. "Tapi, bisa juga tidak hanya berhenti di Dinkes saja. Lembaga terkait, Rumah Sakit yang bersangkutan, ini juga bisa panggil pejabatnya atau misal Direktur Utamanya untuk menjelaskan langsung," tutur pria yang juga anggota Komisi E DPRD Jatim tersebut. Di sisi lain, Agus Dono menegaskan bahwa kejadian-kejadian tersebut harusnya segera menjadi pelajaran bagi semua pihak yang berada di lini pelayanan kesehatan. Terlebih lagi, perlu ada revolusi serta perhatian yang lebih serius pada pola rekrutmen tenaga kesehatan. "Jangan hanya dilihat kualifikasi teknisnya saja. Tenaga kesehatan ini yang dihadapi manusia dan bukan mesin. Tentunya kualifikasi psikologis mereka juga harus dinilai secara mendalam. Bagaimana mereka memperlakukan pasien ketika sedang lelah misalnya. Jadi harus dinilai secara menyeluruh. Jangan asal-asalan. Ini agar kejadian yang sudah-sudah tidak terus terulang," tegas anggota DPRD asal Kota Batu tersebut. Lebih lanjut, Agus Dono juga menghimbau agar semangat Pemerintah dalam revolusi pelayanan kesehatan juga selaras dengan jasa pelayanan kesehatan di sektor swasta. "Pemerintah kan sudah alokasi APBD 10 persen untuk kesehaan misalnya. Ya itu harusnya semangatnya juga harus selaras dengan yang ada di swasta," jelasnya. "Intinya, perkara pelayanan kesehatan ini sangat penting untuk masyarakat. Dalam praktiknya, tidak boleh setengah-setengah. Harus total dan kontrol yang menyeluruh agar tidak merugikan masyarakat," pungkas Agus Dono. Kurang Tepat Kasus dugaan penelantaran pasien di RS Siti Khodijah Sidoarjo dipandang Kabid Penanganan Kasus YLBHI-LBH Surabaya Hosnan, perlu dicermati lebih lanjut. Ia memandang bahwa penelantaran yang dilaporkan oleh keluarga korban agak sedikit kurang tepat. "Dia kan sudah rawat inap toh, artinya tidak ditolak atau dibiarkan hingga meninggal. Sehingga kalo menurut saya penelantarannya agak sulit. Pasal 531 KUHP atau pasal 190 UU kesehatan tidak bisa diterapkan. Karena pertolongan pertama dan seterusnya sudah dilakukan," kata Hosnan ketika ditemui, Selasa(30/1). "Selanjutnya, pada saat di RS, apakah tindakan medik telah dilakukan oleh pihak RS (perawat dan dokter) sesuai dengan yang semestinya? Ini mungkin harus dipastikan," tambahnya. Apabila terbukti ada tindakan medis yang tidak sesuai maka menurut Hosnan ada kategori malpraktek yang dilakukan. Pertanggungjawaban hukum terkait hal itu pun juga bervariasi tergantung pada dampak dari tindakan tersebut. "Kalau memang terjadi tindakan yang tidak sesuai dengan SOP, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek. Pertanggungjawaban hukumnya tentu sesuai dengan akibat yang ditimbulkan mas. Jika berakibat kematian, maka sangat mungkin dikenakan pertanggungjawaban pidana," jelas Hosnan. "Pasal yang memungkinkan untuk diterapkan adalah pasal 359 KUHP. Pasal ini sering disebut sebagai pasal kealpaan. Untuk menentukan ini, IDI saya kira harus berperan aktif," tegasnya lebih lanjut. Di luar pasal tersebut, Hosnan juga mengatakan bahwa ada pasal lain yang bisa dikenakan pada kasus di RS Siti Khodijah tersebut. "Bisa pula dijerat dengan pasal 84 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan Mas," katanya. "Ini bunyi Pasal 84 UU tentang Tenaga Kesehatan: (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun," jelas Hosnan lebih lanjut Pada kesempatan yang sama, pria berkacamata tersebut juga mengatakan bahwa YLBHI-LBH Surabaya berharap agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi. Terlebih lagi setelah beberapa waktu sebelumnya kejadian pelecehan seksual juga terjadi di National Hospital Surabaya. "Untuk itu, RS atau fasilitas kesehatan yang ada harus berbenah dalam hal memberi layanan kesehatan. Pasien harus betul-betul dilayani dengan baik sesuai dengan standar minimum yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Peristiwa yang terjadi belakangan ini harus menjadi pembelajaran bagi RS atau faskes agar terus memperbaiki layanannya," pungkas Hosnan. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU