"Sumbu Semakin Pendek" di Pilpres

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 01 Mar 2019 13:47 WIB

"Sumbu Semakin Pendek" di Pilpres

Jaka Surtrisna-Teja Sumantri, Tim Wartawan Surabaya Pagi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu legislatif (Pileg) yang digelar serentak 17 April 2019, makin dekat. Namun, masih terjadi persoalan hingga membuat pesta demokrasi lima tahunan itu berpotensi kacau. Selain maraknya hoaks dan kampanye hitam di media sosial (medsos), perusakan spanduk dan baliho, bahkan kerusuhan pun nyaris pecah. Seperti kericuhan pada acara Prabowo subianto yang menyampaikan pidato kebangsaan di Grand Pacific Hall, Sleman, Yogyakarta, Rabu (27/2/2019). Ini mengindikasikan eskalasi politik makin menguat dan emosi massa makin cepat tersulut. Sebelumnya, terjadi pembunuhan di Sampang, Madura, yang diduga dipicu perbedaan pilihan calon presiden yang diekspresikan lewat media sosial. Diskenariokah kondisi ini? ------- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berharap masyarakat saling menahan diri mendekati pelaksanaan Pemilu 2019, karena suhu politik yang makin memanas. "Ini kan masih satu setengah bulan (menjelang Pemilu 2019), semua supaya berhati-hati, setiap harinya eskalasi makin menguat, emosi-emosi juga makin cepat tersulut, sumbu semakin pendek," kata Mahfud di sela acara Forum Desentralisasi Asimetris Indonesia (Fordais) di Yogyakarta, Kamis (28/2/2019). Mahfud berharap perbedaan dalam pilihan politik tidak memicu permusuhan yang berujung pada kekerasan fisik maupun psikis, seperti teror, ancaman melalui telepon, serta penyebaran hoaks atau kabar bohong. "Karena apa pun sesudah 17 April (pemungutan suara) kita harus bersatu lagi," tandas tokoh asal Madura, Jatim ini. Ini disampaikan Mahfud MD menanggapi kericuhan yang terjadi di acara Prabowo di Yogyakarta. Kericuhan diduga karena ada dua orang yang membawa spanduk Jokowi-Ma`ruf Amin saat ada konvoi sepeda motor pendukung Prabowo-Sandi. Melihat ada yang membawa spanduk Jokowi-Ma`ruf, rombongan konvoi kemudian mengejar dua orang itu. "Soal ada orang kampanye lalu memberi alternatif lain yang kampanye nomor 01 yang dilewati bilang nomor 02, ya, tidak apa-apa juga, to. Namanya pesta demokrasi yang penting jangan emosi dan supaya mengendalikan diri semua," cetus pakar hukum tata negara (HTN). Menurut Mahfud, kasus kericuhan tersebut panitia penyelenggaranya harus bertanggung jawab. Aparat keamanan juga harus sigap untuk menjamin keamanan dan kenyamanan menjelang pemilu. "Nah, itu saya kira yang paling harus bertanggung jawab adalah penyelenggaranya untuk berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat," papar mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur ini. Pendidikan Politik Gagal Pengamat Politik LIPI, Syamsuddin Haris menyoroti maraknya hoaks dan kampanye hitam. Baik dilakukan calon legislatif, calon presiden dan pendukungnya. Ia melihat persoalan itu sangat berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. "Tidak hanya mendidik, tidak mencerdaskan, tapi juga membodohi publik," katanya dalam diskusi publik bertajuk "Hak Konstitusional Pemilih dalam Negara Demokratis" Jenggala Center, Jakarta, Kamis (28/2/2019). Syamsuddin mengatakan, maraknya kampanye hoaks merupakan akumulasi dari gagalnya pendidikan politik yang dilakuakn partai politik, negara maupun elemen sivil socity. Contohnya, kampanye hitam tiga ibu-ibu di Karawang, Jawa Barat yang berkampanye anti-Joko Widodo (Jokowi). "Pendidikan politik untuk 2019 ini sudah tidak memungkinkan. Yang bisa kita lakukan menbatasi hoaks," tuturnya. Kemudian, persoalan eks koruptor yang kembali berlaga di pemilihan legislatif (pileg). Menurutnya, mereka tak layak untuk dipilih. Ia pun sangat mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merilis nama-nama caleg eks koruptor. "Karena ini, melukai perasayaan publik. Publik berhak tidak memilih," ujarnya. Sementara Peneliti Formappi, Lucius Karus menyoroti hoaks masuknya Warga Negara Asing (WNA) daftar pemilih tetap (DPT). Belum lagi persoalan adanya anak-anak muda yang pada 17 April genap berusia 17 tahun tapi tidak masuk DPT, serta rekam jejak anggota DPR. Lucius menilai, pangkal persoalan itu ada di DPR, karena tidak pernah memikirkan kualitas pemilu yang berintegritas. Ditambah, masalah undang-undang Pemilu baru dibahas menjelang pemilu. Sehingga, ia mensinyalir pemilu serentak nanti berpotensi kacau. "UU Pemilu dibahas menjelang pemilu. Ada Pasal 378 yang mengatakan, jika ada satu orang saksi yang melakukan protes setelah penghitungan suara di TPS, maka surat suara yang sudah dihitung itu dihitung lagi," tuturnya. Polisi-Bawaslu Disorot Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menilai kepolisian dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harusnya mengantisipasi pelbagai potensi rusuh dalam kampanye kandidat di Pilpres 2019. Hal ini disampaikan Hidayat menanggapi kericuhan yang sempat terjadi dalam acara pidato kebangsaan calon presiden Prabowo Subianto di Yogyakarta, Rabu (27/2) kemarin. "Kondisi-kondisi semacam ini hendaknya menjadi hal yang diantisipasi secara maksimal oleh polisi dan Bawaslu," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/2). Hidayat mengatakan, komitmen dan kinerja penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum di Pemilu 2019 mestinya lebih bagus. Sebab, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden berlangsung serentak untuk pertama kalinya. Menurut anggota Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno ini, kinerja aparat dan penyelenggara justru dipertanyakan jika kericuhan saat kampanye itu kerap terjadi. "Kalau terjadi kecolongan dan berulang-ulang, ini tentu sesuatu yang sangat disesalkan," tandasnya. Saat mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu berpidato, sejumlah massa mencoba menerobos masuk ke dalam gedung. Di antara massa pro-Prabowo yang bergerombol di luar gedung, terdapat pula yang membawa spanduk Jokowi-Maruf Amin. Tempo masih berusaha meminta konfirmasi kepada Polda Yogyakarta dna Bawaslu atas tudingan Hidayat Nur Wahid ini.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU