Tahun Politik, Profesionalitas Wartawan Tengah Diuji

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 26 Feb 2018 23:17 WIB

Tahun Politik, Profesionalitas Wartawan Tengah Diuji

SURABAYA PAGI, Surabaya - Penggunaan media massa sebagai sarana atau alat kampanye dari para peserta Pilkada Serentak 2018 memang tidak terhindarkan. Hal yang sama juga berlaku bagi Provinsi Jawa Timur yang pada kesempatan tersebut juga mencari Gubernur baru demi keberlanjutan pemerintahan. Peran serta media massa tersebut, menurut Sekretaris PWI Jatim Eko Pamudji, memang juga tidak dapat dipungkiri. Pasalnya, ia melihat bahwa posisi media memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi opini publik. Dalam demokrasi modern pun kampanye melalui media massa ini merupakan cara primer. Partai politik dan para kandidat melakukan promosi terhadap produk politik yang akan mereka pasarkan ya melalui media massa ini. Selain itu, pesan media massa ini juga bersifat umum. Sehingga bisa menjangkau khalayak yang luas serta menembus berbagai lapisan masyarakat, kata Eko di acara diskusi yang diprakarsai oleh KPU Jatim, Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia(LSISI), dan Universitas Airlangga pada Hari Senin (26/2) tersebut. Di sisi lain, Ia juga tidak memungkiri bahwa keterlibatan media massa dalam suatu politik praktis memiliki sisi dilemma tersendiri. Salah satunya adalah bisa terjadi bias dalam hal fungsi dan peran media massa. Karena media itu di satu sisi harus bisa menjadi kontrol, tapi kondisinya tidak akan mudah ketika mereka juga dimanfaatkan oleh para peserta Pemilu untuk berkampanye, jelasnya. Relasi media dan politik praktis juga bisa melahirkan hegemoni media. Apa itu? Yakni pemanfaatan media untuk memelihara kekuatan yang dapat memelihara kekuatan dimana pada akhirnya adalah berkontribusi pada pengendalian yang dilakukan oleh penguasa, tambah Eko. Lalu bagaimana solusi untuk hal tersebut? Menurutnya, profesionalisme dari para jurnalis bisa menjadi salah satu jawaban. Kerangka utamanya adalah mengacu pada UU Pers 40/99 dimana para jurnalis bekerja dengan payung kode etik jurnalis. Nah kode etik itu yang akan menjadi rambu-rambu mereka dalam bekerja, ungkap Eko. Karena secara kode etik, wartawan ini menjaga keseimbangan. Baik antara massa maupun kepentingan politik lainnya, pungkasnya. Pada kesempatan yang sama, Riko Abdiono selaku wartawan politik di Harian Surabaya Pagi juga menegaskan bahwa para jurnalis harus berani untuk mengambil posisi netral di tahun politik ini. Pasalnya, menurut pria yang juga Ketua Kelompok Kerja Wartawan di DPRD Jatim itu, para pewarta atau jurnalis memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, dalam kaidah pemberitaan seringkali muncul idiom bad news is a good news. Kalau memang ingin meraih pembaca dengan cara tersebut sesungguhnya tidak masalah. Hanya saja dalam kaitan ini akan sangat bijak kalau tidak menyangkut dengan berita hoax, fitnah, cabul, sadis, dan berita dusta, kata pria yang sudah layak disebut wartawan senior tersebut. Terkait dengan keterlibatan media dalam distribusi black campaign, Riko merasa bahwa optimisme akan media massa yang tidak terlibat dalam penyebaran kampanye dengan model tersebut masih bisa diharapkan. Biasanya, media ini pikir-pikir kalau menerima kerjasama politik dengan desain seperti itu. Taruhannya besar. Pengalaman saya pun menunjukkan bahwa memang seringkali para tim sukses dari peserta Pemilu mendekati jurnalis atau bahkan langsung Bos Media untuk melakukan deal terkait pemberitaan black campaign. Tapi, seringnya, mereka ini gagal, bebernya. Tapi kembali lagi, memang ada satu dua yang mau menerima kerjasama dengan model begitu. Oknum itu akan selalu ada. Namun, yang begitu akan sulit dideteksi karena dilakukan dengan kerjasama silent operations, pungkas Riko.ifw

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU