Home / Ekonomi dan Bisnis : Harga Kedelai Naik

Tempe di Pasar Tradisional Lenyap, Ukurannya Diperkecil

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 03 Jan 2021 21:48 WIB

Tempe di Pasar Tradisional Lenyap, Ukurannya Diperkecil

i

Tempat pengeringan tempe milik Gofur Rohim terlihat tertumpuk kosong tanpa Kedelai imbas kenaikan harga kedelai di Tenggilis Kauman Gang Buntu 27 Surabaya. Sp/Patrick cahyo

 

Menjelang pergantian tahun baru 2021, situasi pasar tradisional dipusingkan dengan kelangkaan tempe. Di berbagai pasar tradisional, hingga pusat pengrajin tempe di Surabaya, bahan makanan berbahan baku kedelai ini semakin langka. Bahkan, beberapa pengrajin tempe juga tidak memproduksi, karena kenaikan harga kedelai. Alhasil, harga tempe yang masih beredar, langsung melonjak naik. Berikut laporan tim peliput Patrick Cahyo, Kasyfi Fahmi dan Ria Sukma Sari, di beberapa pasar di Surabaya.

Baca Juga: Adventure Land Romokalisari Surabaya Ramai Peminat Wisatawan Luar Kota

======

Tak kaget, jika kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku berbagai aneka makanan atau minuman sangat berdampak bagi penjual serta pembeli di Surabaya, khususnya tempe. Tempe yang menjadi makanan khas Indonesia kini sangat sulit untuk didapatkan.

Dari pantauan Surabaya Pagi di beberapa pasar di Surabaya, sejak Sabtu (2/1/2021) hingga Minggu (3/1/2021) nyaris sulit ditemukan. Mulai dari Pasar Paing, Pasar Soponyono, Pasar Keputran, Pasar Asem tak ada stok. Bahkan, pengrajin di kampung Tempe Tenggilis dan di Banyu Urip Lor juga tidak memproduksi.

"Sudah tiga hari mas tidak ada yang kirim tempe kesini. Toko toko sebelah juga sama. Biasanya setiap hari ada yang kirim," ujar Wahab, pedagang sayur dan Tempe di Pasar Paing, Sabtu (2/1/2021).

Wahab menjelaskan, tidak sedikit pembeli yang bergegas pulang dengan tangan kosong karena tidak mendapatkan sebiji pun tempe. Ini menandakan bahwa, tidak hanya dikalangan penjual, peminat tempe dikalangan pembeli pun masih tinggi.

Bergeser ke Pasar Soponyono yang berlokasi di Jl. Rungkut Asri Utara Surabaya. Tak jauh berbeda dengan penjual tempe sebelumnya, penjual tempe di pasar andalan warga Rungkut ini juga merasakan hal yang sama. "Kayaknya sih besok (Senin, red) mas baru ada stok tempenya. Untungnya ini masih ada stok tahu. Tapi kalau stok tempe, jangan ditanya. Bisa dilihat sendiri. Sudah kosong tiga hari," ungkap Mad, Pemilik Toko Eni di Pasar Soponyono ini.

Dirinya mengatakan bahwa stok Tempe akan datang pada Senin (4/1/2021) hari ini, dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya. "Mau tidak mau kita juga harus menaikkan harga. Kita sebagai penjual juga tidak mau rugi. Tapi kita juga tidak bisa menaikkan harga yang terlalu tinggi, kasian pembelinya nanti," papar Mad.

Sebagai penjual, tentunya memiliki tujuan untuk mengambil keuntungan. Jika dilihat dari fenomena ini, keuntungan yang akan didapatkan nantinya, akan jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya karena para penjual juga masih memikirkan kemampuan seorang pembeli.

Fenomena menipisnya stok tempe di pasar juga dirasakan oleh pembeli dan penjual tempe yang beroperasi di Pasar Keputran. Pasar yang identik dengan kelengkapan sayuran hingga lauk pauk ini harus merasakan imbas atas kenaikan harga kedelai.

"Biasanya saya bisa kirim 500 biji tempe ke beberapa resto yang ada di Surabaya setiap hari nya. Coba saja dikalikan ada berapa resto yang saya kirim 500 biji per hari. Kalau sekarang, tidak ada yang saya kirim sama sekali mas," ungkap Aries, penjual tempe di Pasar Keputran.

Tak hanya itu, Aries juga mengatakan bahwa, "Sebenernya ada empat orang yang berjualan tempe disini. Tapi karena stok nya tidak ada, semuanya libur. Apa yang mau dijual kalau tidak ada stoknya?," ujarnya.

Penurunan omset penjualan Tempe yang didapatkan oleh Aries menurun drastis, terhitung mulai tiga hari yang lalu, yakni Jumat (1/1/2021).  "Besok (Senin hari ini, red) rencananya akan ada yang kirim mas. Tapi belum tau harganya, bisa bisa naik dua kali lipat," kata Aries. Harga tempe yang mulanya berkisar dari Rp.2.000 bisa melonjak hingga mencapai angka Rp.4.000.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Gelar Halal Bihalal

 

Sentra Kampung Tempe Mogok  

Kosongnya Tempe di beberapa pasar tradisional dikarenakan beberapa pengrajin Tempe ‘mogok’ tidak produksi. Alasan tidak produksinya karena bahan baku kedelai impor naik signifikan. Seperti yang dialami Gofir Rohim, 48 tahun, pengrajin Tempe di Sentra Kampung Tempe yang ditemui di Tenggilis Kauman Gang Buntu 27 Surabaya, Minggu (3/1/2021).

Tempat pengeringan tempe yang biasanya terisi penuh tempe kini tidak terlihat. Hanya tumpukan rak yang kosong berada di area depan rumah. Produksi tempe yang berada di sentra tersebut 8 (depalan) produsen sementara tidak produksi.

“Kita mogok produksi tanggal 30, 31, 1, 2, dan 3 ini mas. Tidak menjual barang ke konsumen. Hal ini tidak lepas dari kenaikan harga kedelai secara drastis setiap harinya. Meskipun ukurannya diperkecil berpengaruh pada jumlah produksi yang menurun, konsumen juga tidak mau harga dinaikkan otomatis memperkecil ukuran,” ujar Gofur saat ditemui di kediamannya, Minggu (3/1/2021). Menurut Gofur, sehari-hari, sebelum ada kenaikan signifikan, ia dan beberapa pengrajin di kampung Tempe bisa meproduksi 1 kuintal per hari.

Ia pun harus menghadapi harga kedelai impor yang terus merangkak naik menjelang akhir tahun. “Kami curiga dengan Pemerintah, hampir akhir tahun pasti mengalami kenaikan harga kedelai ugal-ugalan. Padahal sumber perekonomian dari produksi Tempe,” tegas Gofur, yang sudah menggeluti pengrajin Tempe sejak tahun 1985 ini kepada Surabaya Pagi.

Menurutnya, harga normal kedelai, diangka sekitar Rp 6.500 – 7.000 per kilogram. Kini, harga kedelai bisa menyentuh Rp 9.200 hingga Rp 10.000 per kilogram.

Baca Juga: Dispendik Surabaya Pastikan Pramuka Tetap Berjalan

 

Ukuran Tempe Diperkecil

Senada juga dialami oleh pengrajin Tempe di Banyu Urip Lor Surabaya, Devon Sumargiono. Pria yang sudah memproduksi Tempe sejak 1979 ini terpaksa harus mensiasati agar bisa memproduksi Tempe. Solusinya, menurut Devon, memperkecil ukuran Tempe yang ia produksi.

“Sejak harga kedelai impor naik, kita sesuaikan ukurannya. Kita buat lebih kecil, tetapi yah pastinya harga ngikuti kenaikan pasar,” kata Devon Sumargiono, yang ditemui di Banyu Urip Lor Surabaya, Minggu (3/1/2021).

Devon menjelaskan, agar tidak merugi, Tempe buatannya akan dijual Rp 9.200 per kilogramnya. “Harga awal seharga Rp 7.800 per kilonya. Bahkan, paling mahal pun Cuma Rp 8.500 per kilonya, mbak,” tambah Devon.

Imbas seretnya produksi pun sudah dirasakan sejak adanya pandemi Covid-19. Dimana, sebelum pandemi, Devon bisa memproduksi 50 kilogram kedelai sehari. Kini, hanya 25-30 kilogram perhari. "Karena jam rumah makan juga tutupnya tidak sampai dengan malam, jadi produksi saya turunkan," tuturnya. mbi/pat/ria/cr2/rl/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU