Home / Hukum & Pengadilan : Larangan Shalat di Mushalla Apartemen Puncak Kerta

TERANCAM DI-AHOK-KAN

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 25 Jan 2018 01:15 WIB

TERANCAM DI-AHOK-KAN

SURABAYAPAGI.com, Surabaya Kasus larangan menjalankan ibadah shalat di Mushalla yang diduga dilakukan oleh Manajemen Apartemen Puncak Kertajaya, tak hanya disikapi anggota DPRD Kota Surabaya. Tapi sejumlah ormas Islam juga marah dengan larangan tersebut. Baik GP Ansor, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) maupun PW Muhammadiyah Jatim, melihat ada indikasi penistaan agama dalam kasus larangan shalat di mushalla apartemen milik pengusaha Netty Liana dan suaminya, Nanang Lesmana. Pasutri yang menjadi pemilik PT Surya Bumimegah Sejahtera ini pun terancam diperkarakan seperti kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. ----------------------- Laporan : Narendra Bakrie, Alqomar, Ibnu F Wibowo, Firman Rachman - Editor: Ali Mahfud ----------------------- Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sudirjo mendesak tokoh-tokoh Persatuan Umat Beragama melaporkan manajemen Apartemen Puncak Kertajaya ke pihak berwajib (polisi). Pasalnya, larangan menjalankan ibadah shalat di Mushalla Annur yang berlokasi di apartemen yang dikelola pengembang milik Netty Liana itu melanggar hukum dan HAM (hak asasi manusia). Menurut Sudirjo, larangan beribadah ini jelas melanggar Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Kebebasan beribadah itu sudah dijamin oleh konstitusi kita, tidak dibenarkan ada larangan beribadah seperti di Puncak Kertajaya itu, kata Sudirjo kepada Surabaya Pagi, Rabu (24/1/2018). Kami minta para tokoh Persatuan Umat Beragama ini melaporkannya ke Polisi. Karena ini, sudah merusak toleransi umat beragama dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa, lanjut Sudirjo menegaskan. Hal sama diungkapkan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jatim Najib Hamid. Ia mendesak agar penegak hukum segera ambil sikap. Karena perkara pelarangan ibadah bisa menjadi isu yang sangat sensitif. "Ini bukan hanya kewajiban Muhammadiyah untuk mengingatkannya. Tetapi, tanggung jawab semua warga bangsa. Maka aparat keamanan harus segera bertindak, jangan menunggu masyarakat menghakimi dengan cara mereka sendiri," cetus Najib. Di sisi lain, sikap manajemen dari apartemen Puncak Kertajaya tersebut juga dipandang Najib Hamid tidak sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia. "Itu tidak Pancasilais. Tidak layak pengelolanya hidup di Indonesia," tegasnya. Terpisah, Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Surabaya Farid Afif mengatakan, pihaknya sudah mendelegasikan PAC Ansor Sukolilo untuk menyelidiki dan mengusut tuntas kasus larangan ibadah shalat oleh Manajemen Apartemen Puncak Kertajaya. Jika terbukti ada larangan beribadah tersebut, itu sudah melakukan penistaan terhadap agama. Jika nanti pihak manajemen tidak bisa tabayun, langkah terakhir kita akan membawa kasus itu ke ranah hukum (melaporkan ke polisi, red), tandas Afif. Potensi Digugat MUI Jatim juga mengambil sikap sama. Sekretaris MUI Jatim Ainul Yaqin mengatakan hingga kini pihaknya menunggu klarifikasi resmi dari pihak manajemen Apartemen Puncak Kertajaya. "Karena MUI tidak memiliki kewenangan di bidang itu. Untuk itu kami memberikan rekomendasi kepada pihak penegak hukum yang berwajib untuk meminta klarifikasi. Hanya saja, hingga kini belum ada update lebih lanjut dari pihak berwajib," kata Ainul dikonfirmasi terpisah. Terkait pelarangan tersebut, Ainul memandang sudah secara jelas ada pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pihak manajemen apartemen Puncak Kertajaya. "Dalam UU kan sudah jelas itu tentang kebebasan beragama. Itu sudah jelas di pasal 29 ayat 2," cetusnya. "Jadi kalau itu benar (ada pelarangan). Maka sudah jelas ada pelanggaran yang dilakukan oleh pihak manajemen. Itu tidak bisa dibiarkan. Masa orang ibadah mau dihalang-halangi, kan nggak boleh begitu," tambah Ainul. Apabila tidak kunjung mendapatkan klarifikasi, Ainul mengatakan bahwa pengajuan gugatan hukum kepada pihak manajemen apartemen Puncak Kertajaya sangat dimungkinkan. "Karena begini, kasus ini sudah merebak. Jadi perhatian beberapa rekan LSM juga. Jadi sangat mungkin(menggugat) MUI kerja sama dengan LSM-LSM," ungkapnya. Isu Krusial Sekretaris PWNU Jatim Akhmad Muzakki yakin segenap pengurus NU Kota Surabaya akan segera mengajak semua pihak yang terkait untuk duduk bersama dan mengurai permasalahan yang terjadi di Apartemen Puncak Kertajaya. Pasalnya, hal itu memang sudah merupakan tugas dari NU. Menurut pria yang juga sosiolog asal UIN Sunan Ampel tersebut, masalah yang terjadi di Apartemen Puncak Kertajaya merupakan suatu tindakan yang mengancam keberlanjutan lingkungan secara sosiologis. Sebab, perlakuan tersebut justru merupakan bentuk diskriminasi yang dikutuk secara internasional. "Sekarang coba lihat, di negara barat pun, bentuk diskriminasi berdasarkan agama maupun warna kulit serta RAS sudah menjadi isu krusial. Kalau bentuk seperti ini terjadi di Indonesia kan ironis sekali. Terlebih kita ini kan mayoritasnya adalah pemeluk Agama Islam," tegas Muzakki. "Kalau ada yang melaporkan untuk melitigasikan, saya rasa juga hal itu bisa dimungkinkan. Gugatan ke pengadilan untuk itu sangat mungkin sekali," tambah pria yang juga Dekan Fisip UIN Sunan Ampel Surabaya itu. Kontraproduktif Di sisi lain, tingkah polah manajemen Apartemen Puncak Permai juga menurut Muzakki merupakan tindakan kontraproduktif yang justru akan merugikan mereka sendiri. "Dari berbagai sisi juga sangat kontraproduktif menurut saya. Misalkan ini, dari segi keberlanjutan bisnis saja. Dengan mendiskriminasi umat muslim seperti itu, apa mereka bisa dapat customer lagi dengan mudah? Jangan lupa pangsa pasar apartemen seperti itu adalah kelas menengah. Di Surabaya yang mayoritas muslim, kelas menengah yang beragam Islam itu jumlahnya banyak dan akan terus meningkat. Antipati karena sikap ini bisa sangat merugikan," tandas Muzakki. Kajian Hukum Kasus ini juga menjadi perhatian akademisi dan praktisi hukum di Surabaya. Abdul Malik, misalnya. Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jatim itu menegaskan ada indikasi penistaan atau penodaan agama terkait larangan ibadah shalat di mushalla Apartemen Puncak Kertajaya. Bagi pengacara senior itu, tindakan manajemen yang membuat larangan itu dinilai berlebihan dan melanggar HAM. "Ini sama dengan penistaan agama. Semua pihak harus tegas, jangan dibiarkan yang semacam ini ada," tandas Malik yang kebetulan tengah menjalankan ibadah umroh di Tanah Suci, saat dihubungi via Whatsapp-nya. Lebih lanjut, Malik meminta seluruh pemilik kewenangan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan, bila perlu, pencabutan ijin operasional harus dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. "Itu sudah melanggar aturan. Pemkot, polisi, DPRD kota wajib memanggil pemilik (Netty Liana, red). Bila perlu ijin dibekukan, karena aturan fasum sudah jelas. Indonesia mayoritas Islam. Pemilik bila tidak mengikuti aturan perundang-undangan diusir saja. Keluarkan dari Indonesia. Sebelum masyarakat Islam marah, sepantasnya polisi bertindak. Penistaan agama jelas unsur pidana," imbuh Malik. Tak hanya Malik, praktisi hukum yang juga akademisi Unair Surabaya, Wayan Titip Sulaksana juga angkat bicara. Bagi Wayan, dengan melarang seseorang atau karyawan yang notabene dibawah aturan manajemen tetap tidak bisa dibenarkan. Siapapun yang ada di balik kebijakan itu harus dipidana. "Bisa dipidana itu, karena melarang karyawannya untuk melaksanakan ibadah shalat yang diwajibkan oleh agama Islam. Ini perbuatan diskriminasi umat Islam yang bisa memicu disintegrasi bangsa. Karenanya manajemen perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana," tambah Wayan. Jika benar ada unsur pidana penistaan agama, maka kasus di Apartemen Puncak Kertajaya ini berpotensi di-Ahok-kan. Pada 9 Mei 2017, Ahok divonis hukuman 2 tahun penjara atas kasus dugaan penodaan agama, karena pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 jelang Pilkada DKI. Perbuatan Ahok dinilai memenuhi unsur Pasal 156a KUHP. Awal Masalah Sebelumnya terungkap, Rudi mantan karyawan Apartemen Puncak Kertajaya mengakui bahwa dirinya yang membuat format pengumuman pelarangan shalat tersebut. Desain pelarangan itu secara lengkap tertulis ; 'PENGUMUMAN, Management, Engenering, dan Vendor tidak boleh melaksanakan Sholat Jum'at di MushollahApartemen Puncak Kertajaya'. Selebaran itu berstempel warna hijau bertuliskan Puncak Kertajaya Apartements. Rudi secara terang mengakui bahwa dialah yang membuat tulisan pengumuman tersebut. Namun, saat itu dia hanya menjalankan tugas dari Anne, Koordinator Office apartemen melalui asisten Anne. "Tapi, pengumuman itu, belum sempat ditempelkan. Baru wacana. Saya juga tidak tahu, kok bisa wacana pengumuman itu, sampai tersebar ke penghuni," aku pemuda ini. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU