Home / Surabaya : Jeritan Warga Stren Kali Jagir yang Dihantui Pengg

Tiap Warga Dipungut Rp 100 Ribu, Masih Digusur juga

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 25 Feb 2018 23:31 WIB

Tiap Warga Dipungut Rp 100 Ribu, Masih Digusur juga

SURABAYAPAGI.COM, - Dengan dalih mempercantik kota, Pemkot Surabaya melakukan penggusuran terhadap bangunan yang dianggap liar. Di Stren Kali Jagir, misalnya. Setelah puluhan bangunan dibuldozer, kawasan ini dipoles dengan mural. Meski berbenah, warga tetap saja ketar-ketir digusur lagi oleh Pemkot Surabaya. Mengapa? ------- Laporan : Firman Rachman Tepat di sebelah selatan Rumah Instalasi Pengolahan Air Ngagel II PDAM Surya Sembada, warga yang tinggal di Stren Kali Jagir ini terus berbenah. Sekarang, wajah stren Kali Jagir terlihat berwarna, dengan hiasan mural dinding PDAM sepanjang 200 meter. Meski demikian, beredar kabar jika Pemerintah Kota Surabaya masih akan membersihkan stren kali Jagir sepanjang kurang lebih 3000 meter. Atau terbentang dari Pintu Air Jagir Wonokromo hingga jembatan Nginden. Kawasan sepanjang itu akan ditertibkan karena dianggap kumuh. Sebelumnya, Pemkot Surabaya sudah menggusur bangunan yang ditemppati 48 kepala keluarga pada 2016 silam. Kholik, salah satu penduduk pemukiman Bratang Perintis membantah jika kampungnya disebut kumuh. "Kalau kumuh iya, tapi dulu mas. Sekarang kan bisa sampean lihat, agak bersihan. Kami juga pakai paving jalan hasil iuran warga setempat," kata Kholik kepada Surabaya Pagi, kemarin (25/2/2018). Kholik menyebut, ia telah puluhan tahun menempati bangunan semi permanen tersebut. Kini ia masuk di usia ke 40 tahun sejak ia lahir. "Bapak saya almarhum, sudah menempati ini sejak tahun 50an. Dulu seng, sama gedhek mas. Sekrang sudah lumayan bisa di kasih batu bata ini mas, sudah dua puluh tahunan kira-kira," cerita pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul barang rongsok itu. Meski telah berbenah, Kholik tetap saja resah. Sewaktu-waktu Pemerintah Kota Surabaya yang menjadi momok penggusuran akan mengeksekusi rumah yang sudah ia tinggali dengan anak cucunya itu. "Sudah generasi ketiga ini. Belum punya rumah selain di Madura. Kerjanya di sini semua. Ya jangan digusur lah. Kita ini kan juga bayar iuran," ungkapnya. Kholik enggan memyebut kepada siapa dia dan ratusan warga lainnya itu membayar. Yang pasti, setiap bulannya mereka mengeluarkan uang sebesar 50-100 ribu rupiah. "Iya macem-macem kalau saya 100 ribu mas. Ada yang koordinir, tapi jangan lah saya gak mau ngomong mas," cetus Kholik yang menolak tunjuk hidung siapa yang melakukan penarikan uang itu. Kesenjangan Sosial Potret kesenjangan sosial di Surabaya memang sangat jelas terlihat. Anwar, pria asal Tuban yang juga menempati rumah yang dikontraknya di Bratang Perintis menyebut jika hari-harinya sebagai tukang service panggilan itu hanya sebatas cukup dan tak berlebihan. Anwar yang sudah berusia 50 tahun itu, masih mengontrak rumah semi permanen di tempat tersebut dengan biaya Rp 5 juta per tahunnya."Rumahnya ya asbes sama seng mas. Di Surabaya tinggal sama istri. Tapi kadang istri pulang lama di Tuban, karena ada anak di sana," katanya. Meski demikian, baik Anwar dan Kholik bersepakat agar pemerintah kota Surabaya tidak menggusur mereka tanpa adanya solusi seperti 48 rumah yang diratakan pada 2016 lalu. "Iya harapan kami, kita ini kan wong cilik mas. Mbok ya pemerintah, bu Risma (Walikota Tri Rismaharini, red) itu tahu kesulitan ekonomi kami. Di sini juga kami swadaya untuk bersihkan kali. Jaga bantaran kali juga. Tolong lah, kasih solusi kalau misalnya mau digusur. Di sini gak ada suratnya memang, ada yang surat putih saja," tutup Kholik. Wajah Surabaya memang terus dibenahi oleh sang arsitek Tri Rismaharini. Namun, ada sisi lain yang harus diperhatikan selain Surabaya dengan tamannya. Yakni, ribuan kepala rakyat miskin yang menjerit lantaran lemah secara ekonomi. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU